Senin, 30 November 2009

SUPAYA LEBIH PEDE

Sore lalu di hari Minggu, kami berencana melakukan “jabul”. Padahal hujan deras banget. Nggak cuma di sekitar Cempaka Putih, tetapi kabarnya merata di seluruh Jakarta dan New York City. Namun kami terpaksa harus "melawan" hujan. Kalo enggak, "jabul" nggak bisa terlaksana.

Oh iya, pasti Anda bingung dengan istilah “jabul”. Mahkluk apakah sih "jabul" itu? Berkaki empatkah? Bernafas dengan insangkah? Bukan mahkluk, kok. Jabul itu sebenarnya singkatan. Ini cuma diketahui oleh kalangan terbatas, terutama keluarga kami. Kepanjangannya sih sederhana, yakni “belanja bulanan”.

Jabul merupakan aktivitas resmi keluarga kami yang memang belum tercatat di Rekor Muri, apalagi Guiness Book of World Record. Tetapi kami selalu rutin melakukannya saban bulan. Biasalah, habis gajian ya belanja kebutuhan rumah tangga kita dong.

Buat kami, belanja bulanan memang menjadi aktivitas yang dianaogikan kayak rekreasi. Bukan kami jarang rekreasi ke tempat-tempat rekreasi, lho. Tetapi, oleh karena hypermart yang menjadi tempat belanja kami luas, seringkali kami bisa melakukan aktivitas gokil-gokilan. Saya bisa menari bersama kedua anak kami, kejar-kejaran, main petak umpet, dan aktivitas lain yang seru.

Sebelum pergi ke salah satu hypermart yang saban bulan kita kunjungi yang ada di dekat rumah kami, Khaira wanti-wanti. Ngerti kan wanti-wanti? Wanti-wanti itu asal katanya “anti”. Oleh karena ditambah kata “w” di depan kata “anti”, jadinya ya “wanti”. Oleh karena “wanti” sendirian, maka ditemanilah “wanti” lagi, sehingga menjadi “wanti-wanti”. Ngerti kan sekarang? Back to wanti-waniti yang diucapkan anak kedua kami ini.

“Ma, nanti kalo ke toko beli Happy Jus ya?” kata Khaira yang mengucapkan itu berkali-kali.

Happy Jus?” ucap istri saya rada heran.

Tumben nih anak minumannya Happy Jus. Itu kan minuman yang nggak ada vitamin-vitaminnya. Ya, paling-paling zat pewarna, zat perasa, ditambah gula, terus dicari adonan agar rasanya mirip jus. Kami memang sudah tahu deh tricky-tricky-nya minuman kayak begini. Dibilang jus, padahal bukan.

Biasanya Khaira itu paling doyan susu. Bukan susu yang berwarna merah, hijau, kuning, atau hitam, tetapi susu murni yang dihasilkan dari sapi-sapi pilihan. Sapi yang diperas oleh pemeras sapi sampai payudaranya kendor. Nah, ketika anak kami pengen banget Happy Jus, kita malah heran.

“Adik bener mau Happy Jus?” tanya istri saya meyakinkan anak kami.

“Iya, Ma. Jangan lupa nanti belikan adik Happy Jus ya...”

“Kenapa sih Adik mau beli Happy Jus?”

“Supaya Adik lebih pede!”

Lah, ternyata anak kami ikut-ikutan jadi korban iklan. Iklan Happy Jus! Yang tag line-nya: HAPPY JUS, BISA BIKIN PEDE! Pantas ngotot mau minum Happy Jus. Ya terpaksa kali ini kami kabulkan keinginannya, once in a lifetime. Mending lah minum Happy Jus daripada minum jus-nya Happy Salma.

MOGA-MOGA BISA JADI ORANG KAYA LAGI...

Buat kami, pengalaman menginap di hotel mahal di kamar termahal luar biasa banget. Sebab pasti nggak semua orang mengalami. Apalagi orang seperti kami yang bukan konglomerat, tetapi golongan yang masih hitung-hitungan dalam mengeluarkan uang.

Namun pasti buat para konglomerat, mereka mudah menginap di kamar terbaik yang pernah kami rasakan ini. Wong mereka nggak masalah dengan uang, kok. Kami nggak iri dengan mereka, lho. Itu rezeki mereka. Tapi bukan berarti rezeki kami cuma sekali seumur hidup menikmati kamar ini juga, ya nggak? Tuhan pasti Maha Mendengar dan Maha Pemberi Rezeki.

Sebagai bentuk motivasi diri, kami sengaja memamerkan video kamar kami, ketika berada di kamar termahal di hotel Ritz Carlton, SCBD, Jakarta. Moga-moga video ini bisa memotovasi kami lagi, buat mencari uang dan akhirnya bisa menginap di hotel dan kamar termahal seperti ini lagi. Soalnya seperti yang saya sudah ceritakan, bahwa buat membayar hotel ini butuh sebulan gaji. Ah, moga-moga aja bisa menjadi orang kaya lagi ya.

Barangkali Anda pun juga ikut-ikutan termotivasi atau jangan-jangan Anda nggak butuh sebulan gaji buat menikmati kamar kayak begini. Cuma butuh sehari atau beberapa jam. Kalo benar begitu, Anda memang luar biasa! Eit, asal hasil uang yang Anda dapatkan bukan dari hasil korupsi, lho! Kalo hasil korupsi, mending Anda ke laut aja!


BUKAN SULAP, BUKAN SIHIR

Inilah video hasil karya anak kami yang pertama: Anjani. Lewat handphone milik saya, dia mencoba menjadi Sutradara. Meski sederhana dan nggak terlalu sempurna, tetapi teknik membuat objek menghilang rupanya sudah dikuasai olehnya. Moga-moga ini modal dia buat jadi Sutradara.

Bukan sulap, bukan sihir. Abracadabra!





Sabtu, 28 November 2009

FROM DUREN TO KUPAT TAHU - a story of Idul Adha from Tebet

Nggak semua rumah menikmati sate kambing, domba, atau sapi hasil pemberian masjid. Apalagi mereka yang kebetulan nggak tergolong mustahik atau orang-orang miskin, ya jangan berharap banyak mendapatkan jatah daging qurban. Seperti keluarga kami. Memang sih kami bukan keluarga konglomerat, tetapi bukan juga mustahik. Oleh karena itu, dalam Idul Adha, guna memeriahkan acara, keluarga kami menikmati sajian yang bebeda. Sajian ini berlangsung di House of Ayah atau populer dengan Rumah Ayah di Tebet Timur, salah satu kakak kami.


Duren yang sangat menggiurkan. Kalo saja nggak pernah masuk rumah sakit gara-gara duren, barangkali saya pasti bakal ikut menikmati duren ini.

Di rumah ini, tersedia menu yang nggak beda dengan kambing, yang bisa meningkatkan kadar kolesterol tinggi, yakni duren. Ada tiga duren gede-gede yang diimport dari Thailand, dimana dinikmati oleh keluarga besar Pak (alm.) Soemakto Djuwono yang mayoritas memang penggila duren.

Selain duren, sajian yang nggak kalah nikmat adalah kupat tahu. Apakah kupat tahu itu? Bagi yang bukan asli Magelang, pasti rada asing dengan makanan ini. Tetapi kalo Anda berasal dari Maluku, pasti mengetahui makanan ini. Lho katanya Magelang kok berubah jadi Maluku? Sebab, salah satu anggota keluarga (alm.) Soemakto Djowono berasal dari Maluku, yakni Om Petrus Ririhena. Dia nggak suka duren, tapi kalo dikasih kupat tahu, habis disikat.




Saya sendiri sudah insyaf menjadi penggila duren. Kalo saja nggak sakit parah sampai masuk rumah sakit, barangkali saya akan ikut nimbrung menikmati duren import dari Thailand ini. Gara-gara duren, saya sampai menginap dua minggu di rumah sakit Tebet sekitar tahun 2004. Daripada masuk rumah sakit lagi, mending cukup melihat saudara-saudara saya, termasuk istri saya menikmati duren bukan?

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Jumat, 27 November 2009

FOTO MODEL SEPEDA LIPET

Terus terang dahulu kala saya pernah berniat jadi foto model. Entah setan apa yang merasuk ke otak saya sampai nekad pengen jadi model. Bukan profesi modelnya yang salah, tetapi saya yang salah. Salah karena punya wajah pas-pasan, bahkan dahulu kala ada yang bilang jelek.

Meski dianggap jelek, saya memberanikan diri mengirim foto ke salah satu majalah remaja yang dahulu kala seringkali menyelenggarakan kontes wajah ganteng. Sebenarnya bukan cuma wajah ganteng yang menjadi kriteria pemilihan model yang dilakukan oleh majalah yang sekarang sudah almarhum ini, yakni tinggi dan kesempurnaan tubuh. Kalo soal attitute dan jantan atau betina si calon model, wah itu nomor dua.

Beberapa waktu lalu, saya kesampain juga jadi model. Keponakan saya yang kebetulan hobi fotography mengontrak saya buat jadi modelnya. Nggak sampai kontrak eksklusif sih, tetapi cukup minum sebotol teh botol dan gorengan. Kenapa pilih saya, karena saya dianggap masih terlihat ganteng dan suka bersepeda. Objek fotonya kali ini memang kendaraan yang bergerak. Jadilah saya foto model sepeda lipat atau yang biasa dikenal dengan sebutan "seli".

Inilah beberapa foto hasil jepretan keponakan saya. Mohon jangan lihat hasil fotonya, tetapi objek yang difoto. Sebab, objek yang difoto itu mantan calon model yang telah gugur di medan perang. Meski nggak sempat jadi model, saya tetap dikenal oleh banyak orang sebagai titisan Anang Hermansyah. Padahal saya males banget disama-samakan dengan Anang. Saya lebih suka disamakan dengan Krisdayanti. Lebih cantik dan mirip Barbie! Nah, lho?! Lagipula banyak orang bilang saya masih sedikit lebih ganteng dibanding Anang. Kebetulan aja beda nasib.

Berikut ini beberapa pose saya tanpa make up alias natural. Venue pemotretan ini berada di seputar Senayan dengan waktu sore hari. Kalo Anda kagum terhadap objeknya, mohon maaf objeknya nggak dijual atau disewa, karena property of right-nya sudah ada yang punya.












all photos copyright by Wahyu

KOK KAMBING BUTA BISA LOLOS PANITIA QURBAN SIH?

Berkat anjuran sang guru, Khaira ngebet banget sholat di masjid dekat sekolahnya, di masjid At-Taqwa. Bertahun-tahun hidup, baik saya maupun istri belum pernah sholat di masjid yang berada di kompleks Universitas Negeri Jakarta, Rawamangun, Jakarta Timur ini. Biasanya kami sholat Idul Fitri maupun Idul Adha di lapangan Rawasari Country Club atau yang beken disebut sebagai Arcici yang ada di Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat.

Selama ini anak kami memang patuh sekali pada gurunya, yakni Ibu Lina. Khusus mengajak sholat di masjid At-Taqwa, alasan mengapa kami sekeluarga diajak sholat Idul Adha di masjid ini adalah, karena kelas anak kami menyumbangkan seekor kambing hasil sumbangan kolektif. Sumbangan ini di luar sumbangan pemberian kambing secara pribadi, lho. Artinya, kambing yang berasal dari sumbangan kelas Khaira merupakan hasil uang anak-anak kelas yang dikumpulkan. Sementara masih ada orangtua murid di kelas Khiara yang secara pribadi menyumbangkan kambing.


Tiap kendaraan bermotor yang parkir buat sholat di sekitar masjid At-Taqwa dipunggut retribusi sebesar Rp 5.000, yang katanya buat shodaqoh. Memang sih dikasih karcis kayak begini, tetapi di karcis itu nggak ditulis nominal angka Rp 5.000. Ini kebiasaan di Indonesia, pake karcis, tetapi nggak transparan. Auditnya jadi susah dan menimbulkan lubang-lubang buat pungutan liar.


Menurut Ibu Lina, sumbangan dari kelas-kelas lain uangnya nggak mencapai jumlah yang layak buat dibelikan kambing. Sementara kelas Khaira berhasil mengumpulkan dana lebih dari satu juta. Tentu Anda tahu harga rata-rata kambing buat qurban saat kan? Ya, minimal harganya bisa mencapai Rp 900 ribuan. Itu pun ukurannya relatif kecil.

Kami sampai di masjid At-Taqwa sekitar 06.45 wib. Limabelas menit sebelum pelaksanaan sholat Idul Adha. Sebetulnya kalo sholat Ied, dianjurkan oleh Nabi Muhammad di lapangan terbuka. Sebenarnya di depan masjid ada lapangan bola yang dahulu kala –saat masih di SMA- pernah saya pergunakan buat main bola. Tetapi oleh karena tanahnya agak lembab dan sedikit becek, maka panitia melakukan sholat sunnah dua rakaat ini di dalam masjid.

Kelar sholat, seperti biasa ada ceramah. Pagi itu yang bertindak sebagai khotib adalah Ustadz H. Nazmuddin. Seperti biasa kami tetap mendengarkan ceramah, meski banyak orang yang meninggalkan masjid setelah sholat. Entah mereka ngerti, pura-pura nggak tahu, atau memang cuek, bahwa kesempurnaan dari sholat Idul Adha adalah mendengarkan sholat. Artinya, kalo habis sholat nggak mendengarkan ceramah, ya nggak sempurna sholatnya. Nah, kami ingin mendapatkan nilai sempurna di mata Allah.


Tipikal orang Melayu, terutama Indonesia, pada saat dengar ceramah cari tiang dan senderan. Kalo mata sudah nggak kuat, bisa tidur dengan bersandar. Ini nggak cuma pas sholat Ied. Perhatikan kalo tiap Jum'at, banyak orang yang berbondong-bondong masuk masjid lebih awal tetapi ingin mencari tempat paling belakang supaya bisa bersandar di tembok. Bukannya maju paling depan, kok malah cari tembok ya? Aneh!

Dalam ceramahnya, Ustadz H. Nazmuddin menjelaskan kembali napak tilas sejarah Nabi Ibrahim A.S. Bahwa acara penyembelihan hewan qurban ini adalah buat mengenang kembali peristiwa yang terjadi pada Nabi Ibrahim. Buat mengetahui tingkat keyakinan dan keimanan Nabi Ibrahim, Allah memberikan wahyu kepadanya agar menyembelih anaknya, yakni Ismail.

Betapa pilu hati Nabi Ibrahim menerima wahyu dari Allah tersebut. Kenapa? Sebab, putra yang sangat disayangi ternyata harus direlakan buat disembelih. Namun kecintaan pada Allah nggak boleh dikalahkan oleh kecintaannya pada anaknya. Apalagi Ismail juga mantab dan ikhlas menerima cobaan, sebagaimana dikatakan lewat firman Allah SWT dalam Surah As-Saffat ayat 102:

Ibrahim berkata: “Hai anakka, sesungguhnya aku melihat mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu”. Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Berkat keteguhan hati Nabi Ibrahim, akhirnya Allah mengutus Malaikat Jibril menggantikan Ismail dengan seekor domba dari surga.Domba itulah yang kelak disembelih dan daging-dagingnya dibagikan kepada para fakir miskin.


Kambing yang matanya buta. Kok kambing cacat bisa diterima oleh pantia qurban di masjid At-Taqwa ya? Bukankah nggak boleh? Selain kambing bermata buta ini, ada domba yang saya temukan kakinya patah.


Dalam ceramah, Ustadz H. Nazmuddin juga mengingatkan lagi, bahwa kalo kita mau berqurban, kesempatannya bisa sampai tiga hari, yakni dari selesai mengerjakan sholat Isul Adha sampai dua berikutnya. Jadi nggak ada kata terlambat buat berqurban dan berqurban itu punya banyak makna, salah satunya semangat berbagi kepada sesama yang kebetulan berasal dari golongan kurang mampu.

Barangsiapa baginya ada kemampuan (lapang rizkinya) akan tetapi dia tidak mau berqurban, maka hendaknya ia mati dalam keadaan menjadi Yahudi atau Nasrani (atau keluar dari Islam).


Kelar sholat, kami melakukan inspeksi ke tempat berkumpulkan hewan qurban. Menurut panitia At-Taqwa, jumlah sapi yang terkumpul di masjid ini adalah 6 ekor sapi dan 60 ekor kambing dan domba. Jumlah segitu jauh dibanding dengan masjid dekat rumah saya yang berhasil mengumpulkan 3 ekor sapi dan 10 ekor kambing. Maklumlah, masjid kecil dan berada di kampung.


Lapangan sepakbola At-Taqwa dilihat dari dalam masjid At-Taqwa. Sebetulnya Nabi Muhammad mensunnahkan sholat Ied di lapangan terbuka. Tetapi karena tanahnya basah dan ada yang becek gara-gara hujan, maka dipergunakan masjid sebagai tempat sholat.

Seperti Anda ketahui, hewan-hewan yang diqurbankan adalah hewan-hewan yang memiliki beberapa kriteria, antara lain sehat secara fisik. Artinya, hewan qurban nggak boleh sakit dan nggak boleh cacat. Makanya, biasanya Pemerintah Kota (Pemkot) dalam hal ini Dinas Kesehatan akan memeriksa kondisi hewan qurban. Namun kayak-kayaknya tahun ini nggak melakukan uji kualitas dari hewan-hewan qurban deh. Prinsipnya, kalo hewan qurban kelihatan sehat wal afiat, ya layak dijadikan hewan qurban. Namun ketika kami melihat ke lokasi di tempat kambing, kami melihat ada seekor kambing yang matanya buta. Kelihatannya nggak masalah, tetapi cacat yang dialami oleh kambing menjadi aspek utama dalam penyerahan hewan qurban. Kok kambing buta bisa lolos panita qurban sih? Harusnya nggak boleh terjadi, nih!

Anyway, kami nggak bisa menyaksikan hewan qurban hasil dari sumbangan kolektif anak kami, karena pemotongan seluruh hewan baru berlangung jam 09:00 wib, sementara waktu yang terlihat di jam tangan saya menunjukkan pukul 07:35 wib. Artinya masih lama waktu buat menyaksikan pemotongan hewan. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk langsung ke rumah orangtua kami dan menikmati opor ayam plus ketupat yang nyummi banget.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Rabu, 25 November 2009

BOHONG APA BENER?

Hujan cukup deras di Jakarta pagi ini. Seperti biasa, kami tetap mengantarkan anak-anak ke sekolah. Padahal kami -terutama saya- berharap sekolah anak kami libur. Soalnya cukup malas juga melihat hujan deras begini, yang sebenarnya lebih asyik dimanfaatkan buat tidur. Namun, karena sekolah nggak ada pengumuman libur dan mengantarkan anak ke sekolah adalah kewajiban yang nggak bisa ditawar-tawar lagi, ya dengan semangat 45, kami berhasil mengalahkan kemalasan.

Sebenarnya acara antar-mengantar anak ke sekolah itu banyak manfaatnya. Selain kita dipaksa buat bangun pagi, juga sebagai sarana komunikasi. Hal terakhir itu yang sangat saya suka: KOMUNIKASI. Well, kita semua tahu, sebagai orangtua yang (sok) sibuk, komunikasi kita selalu by phone atau by SMS. Mending masih sempat by phone atau by SMS, yang sering terjadi nggak pernah. Orangtua-orangtua metropolitan aktivitasnya berangkat pagi, pulang malam. Jarang ketemu dengan anak-anak. Nah, dengan acara antar-jemput, di waktu pagi, komunikasi kita bisa face to face.

Banyak hal yang bisa kita bicarakan saat mengantar anak. Topiknya bisa serius, bisa santai. Bisa gabungan keduanya: serius dan santai yang lazim kita kenal dengan sebutan SERSAN. Kebetulan pagi ini topiknya santai dan masih berhubungan dengan masalah hujan yang terjadi pagi ini.

Anda tentu tahu, kalo sudah turun hujan di Jakarta ini, banyak sekali air yang menggenang di jalan. Di sekitar rumah saya pun begitu. Kalo kita naik mobil dan ban mobil kita melintasi genangan air tersebut, pasti akan menimbulkan cipratan, ya kan? Kebetulan beberapa kali melewati jalan, ban mobil kami menimbulkan cipratan. Kalo genangannya tinggi, maka cipratan airnya banyak.

Rupanya cipratan-cipratan air tersebut membuat anak-anak kami suka. Kata mereka mirip kayak permainan air yang ada di Dufan atau di Taman Safari. Nggak heran mereka terus meminta kami buat melintasi jalan yang tergenang. Tetapi kami bilang, cipratan itu sengaja kami lakukan, karena kita harus buru-buru dan genangan yang ada di jalan nggak bisa kita hindari.

"Tapi asyik, Pap," kata Anjani, anak kami pertama.

"Iya!" Khaira ikut-ikutan nyeletuk.

Kami berusaha menjelaskan lagi, bahwa kalo di pinggir genanggan air itu nggak ada orang, barangkali kami bisa melakukan. Tetap kalo ada orang, kasihan orang itu, pasti akan terkena cipratan air. Kita harus menghormati pejalan kaki.

"Soalnya Mama pernah kena cipratan mobil," jelas istri saya mencoba mengajak anak kami memiliki perasaan yang sama seperti kami.

"Mama bohong apa bener, nih?" kata Khaira, anak kedua kami, dengan wajah polos tanpa bermaksud menggoba.

"Ya, benar, lah! Masa Mama bohong?"

"Habis nggak ada di foto!"

Kami pun tertawa terbahak-bahak atas pernyataan Khaira itu. Kami terkejut, bisa-bisanya anak kami ngomong kayak begitu, yang kami pikir cukup cerdas. Dia anggap, semua yang diomongkan kami harus ada buktinya. Salah satu bukti yang paling masuk akal, ya foto.

"Jadi sekarang ini apa-apa harus pakai foto ya, Dik?"

"Iya, dong!"

MIRIP ANANG

Entah sudah berapa puluh orang yang mengatakan, saya mirip Anang Hermansyah. Buat Anda yang belum kenal siapa itu Anang, lebih baik saya beri tahu. Ini saya lakukan supaya Anda tahu, dengan begitu Anda jadi tahu.

Anang Hermansyah itu adalah mantan suami Kridayanti. Krisdayanti itu adalah penyanyi yang sudah digolongan sebagai seorang Diva. Tahu dong Krisdayanti? Kalo nggak tahu juga, Anda benar-benar kebangetan! Masa Anang nggak tahu, Krisdayanti nggak tahu juga? Manusia macam apa Anda ini? Apa kata dunia?



Sebenarnya saya nggak suka kalo disama-samakan dengan Anang, karena beberapa orang mengatakan saya lebih ganteng daripada Anang. Kalo ada orang yang mau muntah dengan statement saya yang cenderung percaya diri itu, saya berani mempertanggungjawabkan, kok! Kata orang, saya memang ganteng kayak sekuteng yang belum mateng. Ya, setidaknya ini dikatakan oleh istri dan kedua anak saya.

Meski dikatakan mirip Anang, saya nggak bangga dengan status tersebut. Selain karena lebih ganteng dari Anang, saya merasa lebih mahir membuat keluarga kami bahagia sejahtera lahir bathin. Konflik-konflik dalam rumah tangga yang pasti selalu terjadi, Alhamdulillah berhasil saya selesainya dengan istri. Bukan cuma konflik kecil, tetapi konflik besar pun kami sempat kami dapatkan, dan berhasil dilalui, dan nggak sampai membuat kami bercerai.


Lebih cantik istri saya daripada Krisdayanti. Lebih orisinil. Nggak ada plastik di seluruh anggota tubuhnya, karena bersyukur dengan pemberian Sang Pencipta.

Saya juga nggak bangga dikatakan mirip Anang, karena kami beda kemampuan. Anang mampu menjadi pencipta lagu, penyanyi, dan mendapatkan Krisdayanti sebagai istri. Sementara, saya adalah karyawan, penulis, dan mendapatkan seorang istri yang jauh luar biasa daripada seorang Diva. Kenapa luar biasa? Bersyukur dengan segala pemberian Allah, termasuk bantuk tubuhnya, hidungnya, kulitnya, dan anggota tubuh lain. Semua masih orisinil. Saya pun masih orisinil, nggak ada satu anggota tubuh yang dioperasi. Meski hidung saya rada pesek, saya nggak akan mau dioperasi sehingga memiliki hidup yang mancung mirip Petruk. I love the way I am.

Saya lebih bangga menjadi diri sendiri, bukan bangga karena dimirip-miripkan dengan seorang public figure. Nggak penting juga gitu, lho! Bangga terhadap istri dan anak-anak saya yang selalu men-support saya. Kebanggaan inilah yang memacu adrenalin saya untuk tetap mempertahankan Indonesia ini sampai titik darah terkhir, maksudnya mempertahankan keutuhan keluarga saya yang tercinta ini, meski harus ber-ROCK N' ROLL ria.

Selasa, 24 November 2009

OLEH-OLEH DARI SEX SHOP

Sebuah kotak berukuran 5x5 cm itu cukup eye catching. Warna hijau muda yang menjadi warna dasar kotak itu sungguh menarik mata. Tutup kotaknya pun lucu, bergaris-garis aneka warna: merah, biru, dan putih.

Dari kotaknya saja, barangkali bisa membuat kita penasaran isi di dalam kotak itu. Barang berhargakah? Yang harganya mahal? Atau cuma sebuah barang murahan yang nggak penting?

Buat saya nggak penting lagi harga atau jenis barangnya. Tetapi saya lebih melihat dari perspektif lain, yakni itikad membelikan oleh-oleh. Yes! Kotak beserta isinya ini adalah oleh-oleh temen saya yang baru melancong ke Singapura dalam rangka dinas kantor.


Ini dia mug yang diberikan teman saya yang berdarah Batak.

Saya dan barangkali ada di antara Anda, seringkali malas atau nggak pernah sama sekali membeli oleh-oleh, bukan cuma buat teman, tetapi keluarga. Membeli oleh-oleh memang bukan kebiasaan saya atau kalo dalam bahasa gaulnya: BUKAN GUE BANGET! Saya bukan tipikal orang yang berinisiatif membelikan oleh-oleh tiap pergi ke luar kota. Nggak heran tiap kali pergi dinas, selalu diingatkan oleh istri agar beli oleh-oleh.

Nah, back to basic, beberapa waktu lalu temen saya memberikan sebuah oleh-oleh yang menurut saya luar biasa. Sebuah mug yang ada gambar seorang wanita seksi menggenakan hot pants. Lucunya lagi, pantat si wanita itu menonjol ke luar, sehingga kita bisa memegang pantat wanita ini tanpa harus takut dituntut gara-gara dianggap melecehkan.



Kalo ini bukan oleh-oleh dari Singapura, tetapi dari orangtua saya yang baru pulang dari Jember, tape manis yang uenak.


Kata temen saya yang memberikan oleh-oleh, mug ini dibeli di sebuah sex shop. Walah! Entah apa yang membuatnya berpikir saya ini termasuk sex addicted atau sex maniac. Namun saya menghargai banget jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur di medan perang, lho kok? Maksudnya menghargai efford teman saya yang membelikan oleh-oleh ini.

Selain saya, ada teman-teman lain yang juga diberikan oleh-oleh, dimana belinya juga di sex shop. Nah, kebetulan satu teman saya yang diberikan oleh-oleh ini memang gila sex. Bukan cuma suka mengkoleksi video-video porno atau langganan panti pijat plus-plus, tetapi tampangnya cukup pas buat dijadikan bintang film BF. Anda tahu oleh-olehnya apa? Sebuah payudara yang terbuat dari karet seukuran bola tenis, yang kalo dipegang-pegang oleh kita begitu lembut, indah, berseri (kayak iklan produk sampo?).


Payudara-payudaraan oleh-oleh teman saya yang diberikan kepada fakir miskin, eh bukan ding! Diberikan kepada salah satu teman saya yang memang tergila-gila pada kehidupan seks.

Kayak-kayaknya, payudara mainan itu akan selalu dibawa oleh teman saya bermuka mesum itu kemana pun ia pergi, asal jangan dibawa ke masjid aja. Kebayang kalo dibawa ke masjid, payudara palsu itu jatuh dari kantong bajunya, lalu menggelinding ke jamaah di sampingnya. Mending kalo jamaah di sampingnya nggak terangsang, coba kalo jamaah itu nggak jadi meneruskan sholat dan langsung pegi ke WC. Wah, berbahaya tuh!


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Senin, 23 November 2009

HARUSNYA "MEMANUSIAKAN" MANUSIA, BUKAN HEWAN

Bukan rahasia lagi, mereka yang punya peliharaan hewan selalu punya sikap berlebihan. Berlebihan dalam konteks ini adalah perawatan hewan yang dipelihara. Si pemilik hewan peliharaan seringkali jauh lebih “memanusiakan” binatang ketimbang manusia yang ada di sekitar mereka.

Tetangga saya punya burung yang suaranya keren banget. Saya nggak tahu jenis burungnya apa, karena saya nggak peduli. Sungguh nggak peduli. Yang pasti, siulan burung itu mantap punya. Kabarnya burung ini sering juara konteks siulan burung. Nah, tetangga saya ini tiap pagi, sore, dan malam selalu merawat burung ini, sampai-sampai “burung” dan istrinya sendiri nggak pernah dirawat.

Ada lagi cerita dua teman saya. Temen saya yang satu punya seekor anjing, satunya lagi memelihara kucing. Pernah seekor anjing sakit, begitu juga kucing. Waktu sakit dua binatang itu memang nggak bersamaan, tapi yang saya mau share di sini, gara-gara si kucing dan si anjing sakit, dua teman ini ikut-ikutan sakit. Dengan berbagai cara, ia mencoba menyembuhkan binatang peliharaan mereka ini. Mereka nggak peduli jumlah uang yang dikeluarkan, yang penting si anjing dan si kucing sehat wal afiat.


Ini dua Asisten yang sudah lima tahun ini berada di rumah kami. Kami bersyukur mereka betah di rumah, sementara banyak keluarga yang setiap tahun gonta-ganti asisten. Barangkali mereka berdua mengganggap kami sebagai majikan yang "memanusiakan" mereka. Nggak cuma kami, kedua anak kami pun "memanusiakan" mereka berdua.

Kalo ceritanya cuma sampai menyembuhkan kedua binatang itu, ya it’s ok. Tetapi kalo Anda tahu, prilaku dua teman saya ini jauh berbeda ketika mengetahui ada Pembantunya sakit atau Saudaranya kritis. Mereka cuek bebek, tuh! Bagi mereka, baik Pembantu atau Saudara nggak penting. Inilah yang saya sebut sebagai "memanusiakan" hewan ketimbang "memanusiakan" manusia. Lebih peduli pada hewan daripada mahkluk sejenis.

Gara-gara "memanusiakan" hewan, harga hewan jauh lebih tinggi daripada harga seorang manusia. Si manusia yang memelihara hewan atau biasa memanusiakan binatang berani membeli hewan dengan harga berapa pun juga. Apalagi kalo hewan yang dibeli atau nantinya akan dipelihara disangkut pautkan dengan hoki diri mereka. Kalo beli hewan A, maka hokinya gila-gilaan. Kalo beli hewan B, bisnis bakal lancar. Sementara harga Asisten di rumah, terkadang jauh lebih murah dari hewan.

Padahal Asisten kerjanya terkadang lebih berat daripada sang Majikan. Sebelum Majikan pulang, Asisten akan menjaga anak-anak si Majikan, sehingga kerjanya nggak cuma 8 jam, tetapi lebih. Inilah yang menjadikan Asisten tangan kanan si Majikan, dimana tanggung jawab di rumah cukup berat. Sementara penghargaan terhadap Asisten seringkali nggak seimbang dengan tanggung jawabnya. Ironis bukan?

Sabtu, 21 November 2009

HAJJAH KHAIRA DAN IMPIAN KAMI

Khaira kini sudah bergelar Hajjah. Kalo mendapatkan undangan atau mengisi buku absen, nama panjang anak kami ini akan semakin panjang: Hajjah Khaira Saskia Aryasatya. Tetapi biasanya orang biasa memanggil dengan nama singkat Hajjah Khaira atau Ibu Haji.

Pagi ini bersama teman-temannya, ia sudah melakukan thawaf ifadhah, yakni mengelilingi ka’bah sebanyak 7 (tujuh) kali. Lalu melemparkan jumratul Aqabah dengan menggunakan batu kecil ke sebuah tiang sebanyak 7 (tujuh) kali juga. Sebelumnya, mereka membaca talbiyah selama melakukan ihram sampai melempar jumrah Aqbah. Mereka membaca: labbaika-llahumma labbaik. Labbaika laasyariika laka labbaik. Innal hamda manni’mata wal-mulka laa syariika laka (Aku datang menyambut panggilan-Mu yaa Allah. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Aku sambut panggilan-Mu, dan hanya Engkaulah yang memiliki kerajaan. Tidak ada sekutu bagimu).

Kelar jumrah Aqbah, Khaira dan teman-temannya berdoa dan diakhiri dengan melaksanakan sholat dua rakaat. Tepat pukul 10:00 wib, rangkaian acara thawaf itupun selesai. Khaira yang termasuk peserta jamaah haji di kloter 3 ini, resmi bergelar Hajjah, sebuah gelar yang diimpikan hampir seluruh umat Islam di dunia ini.



Sebagai orangtua, saya sedih. Saya dan istri belum naik haji, kok justru anak saya yang pegi ke rumah Allah? Bukan kok! Khaira tidak sedang berada di Makkah buat berhaji. Ia dan teman-temannya sedang melakukan acara manasik haji yang diselenggarakan oleh sekolahnya di TK At-Taqwa Sabtu ini. Jadi, gelar Hajjah yang berada di depan nama Khaira belum pantas disandang, termasuk pangilan Ibu Haji. Wong Khaira juga belum married!

Manasik haji adalah sebuah program, dimana anak-anak dikenalkan dengan aktivitas yang dilakukan oleh jemaah haji di seluruh dunia ini, ketika mereka berada di Mekkah. Mereka dikenalkan sebagaimana tahap-tahap yang sudah saya sebutkan di atas, yakni melakukan rangkaian acara thawaf sampai akhirnya menjadi haji yang sempurna.

Dalam melaksanakan manasik haji, anak-anak harus mengenakan pakaian seolah pakaian yang dikenakan jamaah haji pada saat ihram, yakni mengenakan pakaian putih-putih. Kalo yang pria mengenakan kain yang diselempangkan di bahu sampai ke betis, sehingga bahu kanan terbuka. Lalu menggenakan kaos kaki putih dan sandal jepit. Sementara buat anak-anak perempuan, semua aurat tertutup, kecuali wajah. Alas kakinya sama seperti yang dikenakan anak laki-laki, yakni mengenakan kaos kaki dan sandal jepit.



Kami beruntung bisa punya waktu melihat aktivitas manasik haji ini. Sebenarnya sih sudah beberapa kali kami menghadiri acara manasik haji, setidaknya ini yang kedua. Yang pertama ketika Anjani masih di TK Ar-Rahman. Anak kami yang pertama ini sempat melakukan manasik di TK-nya yang dulu itu. Namun kok rasanya manasik yang kali ini yang dilakukan di sekolah Khaira makin menguatkan impian kami buat pergi haji ya? Inilah yang namanya hidayah?

Kelar mengikuti acara di sekolah Khaira, di mobil saya dan istri berdoa. Semoga dalam beberapa tahun ini, kami bisa melaksanakan ibadah haji sesuai perintah Allah yang kelima. Tentu kami juga nggak mau sekadar berangkat ke tanah suci dan menjadi haji. Yang utama justru setelah naik haji, yakni berbuat sesuatu yang terbaik buat orang-orang di sekitar kami, terutama membimbing anak-anak kami menjadi orang yang dibanggakan oleh kami dan semua orang.

Jumat, 20 November 2009

KAYAK JURUS PENCAK SILAT

Keluarga kami termasuk kategori keluarga bahagia. Saking bahagianya, tidur kami pun cukup bahagia. Indikator kebahagiaan dalam tidur ditandai dengan gaya kami pada saat tidur. Bukan cuma anak-anak kami -Anjani dan Khaira- yang punya gaya saat tidur, saya dan istri pun seringkali melakukan hal yang sama.

Sebelum saya melanjutkan cerita soal gaya kami saat tidur, ada baiknya saya ceritakan terlebih dahulu soal kamar kami. Bahwa di rumah, kami punya tiga kamar tidur. Satu kamar tidur di bawah yang diperuntukkan dua asisten kami, dan dua kamar tidur buat saya dan istri serta kedua putri kami.



Meski anak-anak kami sudah dibuatkan kamar, mereka tetap saja suka tidur di kamar kami. Bukan karena kamar tidur mereka angker atau mereka takut tidur sendirian di kamar mereka, tetapi setidaknya ada dua alasan mengapa sampai mereka lebih senang tidur di kamar kami.

Alasan pertama, AC kami kami lebih dingin dari AC kamar anak-anak kami. Saya pikir alasan mereka nggak masuk akal. Kenapa? Kami membeli AC kamar kami bersamaan dengan pembelian AC buat kamar anak-anak kami. Artinya, sama-sama beli baru di waktu dan jam yang sama. Tetapi setelah beberapa saat berada di kamar anak kami, memang sih ada perbedaan suhu yang dihasilkan dari AC kamar kami dengan AC kamar anak-anak. Padahal angka celcius-nya sama. Misalnya angka di remote AC kamar kami dipasang 20 derajat celcius, kami coba pasang di AC kamar anak-anak juga segitu. Tetapi pada saat kami rasakan, memang lebih dingin suhu AC di kamar kami.

Kalo alasan pertama kayaknya kurang tepat, maka alasan kedua lebih tepat. Kebetulan saya pun suka dengan alasan ini, yakni kebersamaan. Bahwa meski spring bad di kamar kami nggak berukuran raksasa (kurang lebih 155 cm X 2,5 meter), tetapi kedua anak kami lebih suka "umpel-umpelan" (baca: berdesak-desakan)dalam satu ranjang. Dengan berdesak-desakan inilah yang menyebabkan kehangatan. Enak kan?



Nah, ketika berdesakan di dalam satu ranjang, anak-anak kami melakukan aksi bermacam-macam gaya tidur. Kadang kaki berubah menendang kepala orang lain. Itu baru soal kaki, soal perubahan posisi tidur pun menarik. Pada awal tidur, Khaira menghadap ke Utara, sementara pada saat pagi hari, ia sudah pindah menghadap ke Selatan dan di kaki kami. Sama halnya dengan Anjani, yang seringpula pindah posisi.

Saya yakin, mereka nggak sadar melakukan itu. Tetapi sadar nggak sadar, yang biasa menendang, diminta pertanggungjawabannya. Paling tidak memberikan minyak tawon pada orang yang kena tendangan. Entah itu kepalanya yang benjol atau kakinya yang bengkak, yang terpaksa harus diolesin minyak tawon itu.

Kamis, 19 November 2009

KAYAK MASUK KOMPLEKS ABRI

Tiap kali antar Anjani ke sekolahnya di SD Negeri Rawamangun 12 Pagi atau dikenal dengan SD Lab School, saya selalu mencari trik-trik baru. Trik ini guna menghindari dari kemacetan yang terjadi di jalan Pemuda. Sebab, kalo sudah macet, yang paling stres adalah anak kami. Kalo anak kami sudah stres, kami pun ikut-ikutan stres.

"Ayo dong, Pap buruan!"

"Lah, kan di depan mobil kita ada mobil? Memangnya kamu mau bertanggungjawab kalo Papa tabrak mobil di depan?"

Nggak salah juga sih Anjani meminta saya untuk buru-buru, karena kalo telat, ia mendapatkan hukuman tidak boleh masuk di jam pelajaran pertama. Which is itu akan menjadikan putri kami ketinggalan pelajaran. Kasihan kan? Tetapi keterlambatan ini juga bukan karena salah saya 100%. Sebab, saya sudah berusaha menurunkan ego saya terpaksa nggak mandi ketika mengantarkan Anjani. Kalo saya harus mandi, maka waktu menunggu putri kami terlalu lama, padahal ia sudah siap lahir bathin buat berangkat sekolah. Kasihan kan kalo ia sudah siap, sementara saya masih mandi? Padahal waktu mandi bisa digunakan buat mengejar waktu masuk sekolah yang secara legal tertulis 06.30 wib, namun pada prakteknya 07:00 wib.



Kalo Anda pernah melancong melewati jalan Pemuda, jalan dua arah (Pemuda menuju Pulogadung dan Pemuda menuju Pramuka) sama-sama macet. Kemacetan ini jelas gara-gara mobil-mobil pengantar anak sekolah. Anda tahu, buat berputar arah, dari arah Pramuka berputar ke Pemuda buat menurunkan anak di depan gerbang Universitas Negeri Jakarta (UNJ) bisa memakan waktu 10-20 menit. Saya jarang mendapatkan mukjizat berutar arah cuma menghabiskan waktu 5 menit. Itu jarang, sangat jarang terjadi. Nah, oleh karena itulah kami, para pengantar biasanya menggunakan siasat.

Siasat pertama, menurunkan anak di bawah jembatan penyebrangan. Jadi, mobil berhenti pas di bawah jembatan penyeberangan yang persis berada di depan kompleks UNJ, dan si anak diminta buat berjalan dari situ menuju ke kelas. Lumayan juga sih jaraknya, 100 meter. Namun siasat ini menghemat waktu 10-20 menit, ketimbang berputar balik.



Surat kesepakatan ini dibuat oleh dua pihak, yakni pihak sekolah dalam hal ini Kepala Sekolah (H. Yitno Suyoko) dan pihak warga yang diwakili oleh Ketua RT 008/ RW 014 kelurahan Rawamangun, Jakarta Pusat (Jumhawan). Nama terakhir yang menjadi Ketua RT 008 nggak lain adalah kakak kelas saya ketika masih bersekolah di Labs School ini.


Biasanya, menurunkan anak di jembatan penyebarangan ini akan terjadi kalo si pengantar melihat suasana putaran balik crowded banget. Mobil-mobil yang mau berputar nggak bergerak sama sekali. Antreannya pun panjang. Kalo putaran balik kebetulan kosong, ya dengan senang hati para pengantar akan berputar balik dan menurunkan anak-anak mereka dengan normal.

Siasat kedua biasanya berputar masuk ke dalam kompleks kampus UNJ, yakni melalui jalan Daksinapati. Namun ini juga nggak menjamin waktunya akan lebih cepat daripada berputar lewat jalan Pemuda. Sebab, kalo lagi padat, antreannya juga panjang. Apalagi kalo berjumpa dengan anak-anak yang berlari pagi, wah terpaksa kita kudu bersabar-sabar menunggu gerombolan siswa-siswi berlari pagi. Ini biasanya terjadi pada hari Jum'at.

Kalo lagi kosong, masuk ke kompleks kampus UNJ enak banget. Mobil bisa berada di depan gerbang sekolah. Tetapi sekarang-sekarang ini nggak mungkin, karena akses masuk menuju ke gerbang ditutup gara-gara ada pembangunan gedung baru bekas Teater Besar yang terbakar itu. Jadi anak yang diantar juga harus berjalan beberapa meter menuju ke gerbang dan kemudian sampai ke kelas.

Siasat ketiga, dahulu saya biasa masuk ke kompleks dosen IKIP. Ini kami lakukan kalo terjadi antrean yang panjang di kompleks kampus UNJ. Jadi, mobil saya masuk ke area kompleks dan numpang parkir di jalan dekat gerbang sekolah. Namun siasat ini nggak akan mungkin lagi. Kenapa? Kayak-kayaknya warga protes terhadap para pengantar yang memanfaatkan areal kompeleks mereka, sehingga nggak ada lagi pengantar -kecuali penghuni kompleks- yang diizinkan menurunkan anak-anak mereka di areal kompleks.

Saat ini, masuk kompleks dosen IKIP Jakarta memang sudah kayak masuk kompleks ABRI. Percaya nggak percaya, banyak aturan yang diterapkan oleh penghuni kompleks, yang setahu saya masih banyak teman-teman saya yang bermukim di sekitar situ. Begitu ada mobil "asing" yang coba-coba masuk ke kompleks, Security kompleks langsung menegur dan meminta si pengendara mobil untuk mengurungkan niatnya masuk ke kompleks.



Saya memang bisa membayangkan kekesalan para penghuni kompleks yang merasa terganggu dengan para pengantar yang memasuki areal pemukiman. Tetapi saya jadi merasa asing dengan pemukiman ini. Padahal bertahun-tahun saya sekolah di Labs School, dari SD sampai SMA, nggak ada satu pun warga yang protes sebagaimana saat ini terjadi. Dahulu, kapanpun saya membawa mobil, memarkirkan mobil, atau nongkrong berlama-lama di kompleks ini, nggak ada satu pun warga yang cemberut. Namun saya yakin, penghuni kompleks ini banyak yang sudah berbeda. Dari generasi sosial ke generasi yang lebih moderen. Ah, entahlah.

Padahal saya yakin, ada beberapa penghuni yang masih saya kenal, teman saya maksudnya. Dimana mereka pasti nggak akan keberatan kalo saya numpang parkir sebentar buat mengantarkan anak saya ke sekolah dan kemudian saya pergi lagi ke kantor. Tetapi Security di depan kompleks, yang pasti sudah didaulat buat menjaga keamanan, termasuk menjaga para pengantar anak sekolah agar tidak masuk ke kompleks, sudah mencegah orang-orang seperti kami.



Jadi mohon maaf kalo apa yang saya lihat sekarang ini, yakni aturan-aturan yang diterapkan di kompleks ini mirip kayak saya masuk ke kompleks ABRI. Selain nggak boleh parkir kecuali penghuni, nggak boleh duduk-duduk di sebuah tempat di areal kompleks. Saya jadi berpikir, ini cuma guyonan aja, jangan-jangan nantinya kalo masuk ke kompleks ini harus buka kacamata, buka helm, matikan lampu, atau membuka kaca pada saat melintas di pos security.

Sampai kini, siasat demi siasat terus saya cari agar bisa memuaskan anak kami bisa tidak terlambat sekolah. Selain menggunakan motor bertenaga AKI yang ramah lingkungan, kami juga sudah mencoba bersiasat memutar balik di dekat Arion. Ini kalo kebetulan putaran balik nggak bergerak sama sekali. Meski sedikit lebih jauh dan melewati dua lampu merah, tetapi arus kendaraan berjalan terus. Kalo dengan menggunakan siasat ini, kami biasanya menghabiskan waktu 7-12 menit.

DEMI MENGALAHKAN INTAN

Kesadaran menjadi pemimpin ternyata bisa tumbuh dengan sendirinya. Ini dialami sendiri oleh putri kedua saya, Khaira. Ia ingin sekali memimpin teman-teman sekelasnya. Keinginan ini selalu saja diucapkan setiap hari. Sebagai orangtua, tentu saja saya harus mengakomodir keinginan Khaira. Toh, keinginan tersebut cukup positif.

Sebagai pemimpin kelas, seorang murid akan mengatur teman-temannya berbaris. Seperti di Taman Kanak (TK) lain, sebelum masuk kelas, murid-murid wajib berbaris dengan rapi. Biasanya pemimpin akan memberi aba-aba dengan kata-kata: “siap”, “gerak”, “lencang muka”, “maju”, dan “jalan”. Setelah benar-benar rapi barisannya, sebelum masuk kelas, pemimpin juga berkewajiban memimpin baca doa.

Terus terang, ketika seumuran Khaira, saya tidak pernah punya keinginan jadi pimimpin kelas, bahkan ketika duduk di SD sampai SMU, saya pun tidak tertarik menjadi ketua kelas. Sebab, pikir saya, menjadi pemimpin atau ketua kelas itu ribet. Harus ini dan itu. Nah, saya itu malas kalo mengerjakan ini dan itu. Barangkali saat itu jiwa kepemimpinan saya belum tumbuh, sebagaimana Khaira sekarang ini.

Kalo melihat latarbelakang saya yang ogah jadi pemimpin ketika seusia Khaira, pasti Anda sudah bisa menebah dari mana asal jiwa kemimpinannya tumbuh. Yap! Pastilah dari istri saya. Memang benar, istri saya ini tergolong wanita yang senang berorganisasi. Sampai sekarang pun ia aktif berorganisasi. Sedikitnya ada dua organisasi yang ia ikuti, yakni pertukuran pemuda kapal Asean dan toastmaster.

“Siapa yang datang lebih awal, akan jadi pemimpin,” kata Bu Lina.

Begitulah ucapan guru Khaira di TK. Bu Lina dan guru-guru lain di TK anak kami ini memang menerapkan aturan, mereka yang menjadi pemimpin harus datang lebih awal ke sekolah. Ini artinya, Khaira harus datang lebih awal sebelum teman-temannya hadir. Kalo jam sekolah resmi untuk TK adalah pukul 07:00 wib, maka Khaira harus datang 06:30 wib, at least 06:45 wib.

Buat saya, bangun pagi butuh tantangan ekstra. Bukan saya malas bangun pagi, bukan. Wong saya rata-rata bangun pukul 04:15 WIB -sebagaimana alarm dua handphone saya yang selalu saya set sebelum tidur- untuk melakukan kewajiban saya sholat subuh. Tapi masalahnya, setelah bangung subuh, saya tidur lagi. Kalo sudah tidur lagi, malas banget bangun. Apalagi kalo malam sebelumnya, saya harus shooting atau pulang larut malam, bahkan larut pagi, wah, males banget kalo dibangunin pagi-pagi.

“Pap, adik sudah siap!”

Selalu saja Khaira membangunkan pada saat saya masih betah untuk tidur. Saya masih senang bergumul dengan guling kesayangan saya dan selimut tebal. Padahal sebenarnya pada saat dibangunkan, waktunya nggak pagi-pagi banget, yakni pukul 06:00 wib. Sayang sekali, jam segitu mata masih terpejam dan sulit terbuka. Namun sebagai bentuk tanggung jawab plus komitmen sebagai orangtua, saya mau nggak mau harus memaksakan diri bangun pagi. Walhasil, dalam kondisi setengah hidup, saya menggantarkan Khaira sekolah.

“Papa mandi dulu apa enggak?” tanya Khaira.

“Kalo mandi kenapa? Kalo nggak mandi kenapa?” tanya saya balik.

“Kalo mandi jangan lama-lama ya, Pap!”

Warning putri kedua saya ini cukup beralasan. Pasalnya, tiap kali saya mandi dulu, pasti akan telat. Pengalaman-pengalaman sebelumnya sudah membuktikan. Baru mengusap-usap sabun ke badan dan muka, anak kami selalu memanggil: “Sudah belum mandinya, Pap?”. Mending panggilanya itu sekali atau dua kali, ini mah berkali-kali, sampai saya keluar kamar mandi baru berhenti panggilan itu. Bahkan pernah baru masuk ke kamar mandi, sudah ada panggilan agar segera menyelesaikan mandinya.

Supaya tidak terlambat, saya terpaksa mengalah. Sebagai tanda mengalah, saya tidak mandi pagi. Cukup cuci muka, cuci kaki, dan langsung tidur, eh salah, maksudnya langsung masuk mobil.

Nyatanya di dalam mobil, persoalan tentang “harus buru-buru”, belumlah selesai. Saya dipaksa oleh Khaira agar ngebut sengebutnya. Sekali lagi, ini agar tidak telat dan tentu saja agar bisa mengalahkan teman-temannya, sehingga putri kedua saya ini menjadi pemimpin kelas. Walhasil, saya seringkali membawa mobil dengan kecepatan 60 km/ jam ke atas di tengah kepadatan lalu lintas.

Bukannya ketakutan, Khaira malah justru ketawa cekakak-cekikik melihat cara saya membawa mobil. Saya malah sering diminta anak saya ini melakukan zig-zag. Katanya, mirip roller coaster. Halah!

Saya anggap Khaira memang anak yang pemberani. Padahal karakternya nggak tomboi-tomboi amat. Bahkan ia cenderung feminin, karena masih menikmati item-item yang berhubungan dengan feminin: boneka, suka banget berpenampilan ala Princess, dan juga sering berdandan. Meski feminin, Khaira suka banget main trampolin, flying fox, dan permainan yang menantang nyali.

“Asyik! Intan belum datang!”

Begitu sampai di pelataran parkir sekolahnya, Khaira selalu saja mencari sebuah mobil Daihatsu warna hitam. Mobil itu adalah mobil Intan. Siapakah Intan? Intan nggak lain adalah teman sekelas Khaira yang menjadi pesaingnya menjadi pemimpin. Selama ini putri saya selalu dikalahkan oleh Intan. Padahal rumah Intan jauh dibanding rumah kami.

“Ih, Intan begitu sih,” kata Khaira, kecewa begitu melihat Intan datang lebih dahulu dibanding putri kami.

Lucu juga sih, Intan yang pertama datang, malah dipersalahkan oleh anak kami. Saya sih ketawa-tawa saja mendengar kekecewaan Khaira, karena sesungguhnya kalimat kekecewaannya nggak pantas diberikan pada Intan. Sebab, nggak ada aturan siapa yang bangun lebih pagi, nggak boleh datang ke sekolah lebih awal, ya nggak? Ya, namanya juga anak-anak.

Berkali-kali, Khaira mencoba untuk mengalahkan Intan, namun selalu saja kalah. Padahal saya tahu banget, putri kami ini selalu bangun pagi, yakni pukul 04:30. Buat saya, anak kecil bangun jam segitu luar biasa banget! At least mengalahkan Papa dan Mama-nya yang sehabis subuh tidur bablas nggak bangun lagi kalo nggak dibangunin anak-anaknya.

Kekalahan demi kekalahan menancapkan jiwa fighter-nya. Ia harus mengalahkan Intan. HARUS! Dengan mengalahkan Intan, ia akan menjadi pemimpin. Memang nggak ada nama temannya yang lain yang menjadi pesaing beratnya selain Intan. Tapi jangan salah duga, yang membuat Khaira luar biasa, meski kesal selalu dikalahkan Intan, namun Khaira berteman dekat dengan Intan. Ini artinya apa? Artinya, meski ada kompetisi, jiwa sportif kudu terjaga. Hebat juga ya anak-anak zaman sekarang?

Dan suatu pagi, Khiara gembira bukan main. Mobil Daihatsu warna hitam milik orangtua Intan belum nampak. Saya dicium habis-habisan oleh Khaira, karena berhasil membawa mobil dengan supercepat dan datang lebih awal ke sekolah. Saya puas kalo Khaira puas. Sebab, keinginannya untuk jadi pemimpin di kelas jelas akan terwujud. Nggak apa-apalah naik mobilnya kayak kesetanan. Nggak apa-apalah saya bela-belaain belum mandi, mata setengah terbuka, nyawanya pun belum sepenuhnya terkumpul, karena masih ngantuk. Semua demi Khaira.

Tapi....

“Khai, kayaknya Intan sudah datang deh,” kata saya pelan, karena mulai merasakan aura bakal nggak enak.

“Mana?! Mana?!” Khaira mencari-cari sosok Intan yang saya maksud itu.

“Itu!”

Benar, Intan sudah datang. Busyet! Kok tadi nggak kelihatan, sekarang tiba-tiba muncul? Jangan-jangan Intan itu mahkluk ruang angkasa kali. Saya dan Khaira saling bertatapan. Saya melihat raut wajah Khaira yang nampak kecewa. Sedih juga saya melihatnya.

“Tuh kan, Papa sih! Papa bangunnya nggak pagi-pagi. Besok Papa bangunnya lebih pagi lagi ya? Nggak usah mandi! Pokoknya adik harus mengalahkan Intan!”

Khaira, Khaira. Akan sepagi apa lagi ya saya dibangunkan putri saya ini demi untuk mengalahkan Intan itu? Apakah Khaira nggak tahu kalo Papa-nya ini memang sudah nggak sempat mandi lagi? Well, demi anak, saya rela melakukan apa saja!

MENANGIS, TETAPI BOHONG-BOHONGAN

MENYESAL NGGAK JAGO MATEMATIKA

Matematika adalah mata pelajaran yang paling saya benci ketika sekolah dahulu. Gara-gara nggak suka, nilai mata pelajaran ini selalu berwarna. Mending warnanya keren, ini mah warna merah! Padahal kata nenek-nenek peot, matematika itu penting banget. Bukan penting buat menyenangkan guru matematika atau orangtua kita, tetapi matematika memang berguna dalam kehidupan kita sehari-hari.

Percaya nggak percaya, sepanjang masih hidup dan bernafas, kita akan berhadapan dengan yang namanya matematika. Ketika beli sayur atau pakaian di departement store, kita akan menghitung uang kita, cukup kah atau berapa jumlah uang kembalian kita.

Selain hitung-menghitung, otak kita dituntut melakukan perhitungan dengan logika berpikir ala matematika. Oleh karena saya nggak suka matematika, logika berpikir saya terkadang tidak matematis. Nah, supaya anak-anak Anda nggak punya logika terbalik kayak saya, bimbinglah mereka agar menyukai matematika.

Kalo berhadapan dengan matematika, wajah Anjani seketika menjadi lesu, kurang bergairah, dan jadi males-malesan. Maklum, matematika memang bukanlah mata pelajaran fovaoritnya. Saya nggak menyalahkan anak saya ini, karena saya pun dahulu pasti akan melakukan hal yang sama. Males!


Mereka ini adalah juara matematika dan IPA di 6th International Mathematics and Science Olympiad (IMSO) tingkat SD tahun 2009

Saya sudah berusaha mencoba agar Anjani suka pada matematika. Setidaknya ada dua kursus matematika yang pernah dilakukan Anjani. Namun, saya sering kasihan juga. Hidupnya seperti dikepung oleh angka-angka. Bayangkan, setiap hari harus mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Lalu kapan menikmati masa kanak-kanaknya? Bukankah sebagai orangtua kita nggak boleh egois "memaksa" anak-anak kita terus belajar, sementara mereka mengorbankan masa kanak mereka? Inilah yang bikin saya kasihan. Gara-gara kasihan, ikut les ini-itu, saya pun memberikan pilihan pada anak kami.

"Les matematikanya mau diteruskan atau enggak?" tanya saya.

"Enggak," jawab Anjani lantang.

"Biar sudah nggak ikut les lagi, kamu harus tetap latihan berhitung ya? Papa dan Mama akan beli soal latihan. Kapan pun punya waktu untuk mengisi soal latihan, kamu harus

Foto di atas itu adalah foto para juara matematika dalam kejuaraan (IMSO) tingkat SD tahun 2009. Kalo memandangi wajah anak-anak ini, rasanya saya iri banget. Biar masih kecil, mereka ini jago-jago hitung kelas dunia, bo! Mereka ini berhasil mengalahkan beberapa peserta dari Singapura, Thailand, Afrika Selatan, Srilangka, maupun Taiwan.

Supaya anak-anak Anda nggak punya logika kayak saya, bimbinglah mereka agar menyukai matematika. Kalo belum suka matematika, sukai dulu guru matematikanya. Kalo gurunya nggak mau disukai oleh anak Anda, rayu agar guru matematika itu sadar kalo ia harus menyukai anak Anda. Kalo gurunya sudah suka dan anak Anda suka, pasti semua akan suka. Marilah kita bersuka-suka untuk matematika. Nah, lho!

Rabu, 18 November 2009

TERPENGARUH KOMIK JEPANG

Itulah kenapa saya sebal kalo pada akhirnya Anjani terpengaruh oleh komik Jepang. Kalo gambar, kini karakter orang-nya kayak komik Jepang alias mangga. Padahal saya ini sudah mengantisipasi dengan cara mempengaruhi putri pertama saya ini agar tidak menyukai komik-komik Jepang.

Sebenarnya saya sudah bersyukur Anjani nggak tergila-gila mengkoleksi komik-komik Jepang kayak teman-temannya. Tiap-tiap ke toko buku, saya nggak pernah melihat ia nongkrong di rak buku Jepang. Saya pun kebetulan mengarahkannya berada di bacaan yang lebih "sastra", misalnya buku-buku terbitan Mizan: Kecil-Kecil Punya Karya. Paling-paling kalo lagi pengen, ia cuma minta dibelikan komik serial Miiko karangan Ono Eriko. Kami mengizinkan. Pertama, komik Miiko ini nggak ada cerita-cerita yang "aneh", misalnya pacaran atau adegan kekerasan.

Terus terang kami concern dengan masalah pacaran anak-anak zaman sekarang yang sudah kelewatan. Meski cuma komik, tetapi sedikit banyak bisa mempengaruhi hasrat buat mencoba. Mencoba ciuman misalnya.



Meski nggak suka mengkoleksi komik Jepang, Anjani terpengaruh dengan mangga. Saya sudah berusaha buat mempengaruhi anak saya ini agar jangan terpengaruh karakter orang ala komik Jepang yang nggak ada hidung itu. Saya lebih suka karakter komik-komik kayak Beny and Mice, Om Pasikom, Panji Koming, Ali Oncom, atau Doyok. Buat saya "lebih manusia" dan Indonesia banget! Nyatanya pengaruh saya nggak begitu kuat. Anjani tetap menggambar karakter manusia ala komik Jepang.

"Kayak-kayaknya saya harus mencari startegi lain agar anak saya ini bisa dipengaruhi," pikir saya dalam hati. "Yang penting, anak saya jangan kayak anak-anak seusianya yang sudah di-branwashed komik-komik Jepang."

KEBANJIRAN ORDERAN KUE

Minggu-minggu ini istri saya sibuk berat. Alhamdulillah, beberapa orderan kue datang padanya. Jangan heran, hampir setiap malam, istri saya selalu tidur paling malam dan bangun lebih dahulu dari ayam berkokok.

Begitulah kesibukan pembuat kue. Rutinitas kayak begitu sudah biasa buat saya. Setidaknya setiap kali lebaran, rutinitas tidur malam dan bangun pagi pasti terjadi. Sebagai suami, saya sangat mendukung aktivitas istri saya ini. Pokoknya selama ia senang dengan kegiatannya, silahkan jalani.



Dukungan ini bukan sekadar memberi motivasi. Saya terkadang menjadi marketing yang mempromosikan kue-kue buatan istri yang kabarnya banyak penggemarnya. Maklumlah, enak. Sudah beberapa pesanan yang datang dari promosi saya ini. Buat akhir November 2009 ini saja ada dua birthday cake yang bakal digarap oleh istri saya, hasil promosi saya. Satu buat nenek-nenek yang merayakan ulangtahun yang 89, satu lagi buat anak kecil.

Selain promosi, saya pun terkadang bertugas menjadi pen-delevery service. Ibarat kata, mau ke ujung dunia, saya pasti akan mengantarkan orderan kue buatan istri saya. Sebuah kerjasama yang baik bukan? Anyway, kami bersyukur, karena istri saya kebanjiran order-nya adalah kue. Daripada kebanjiran air hujan yang masuk ke rumah kami, mendingan kebanjiran kue bukan?

HAMSTER AGAIN, HAMSTER AGAIN!

Akhirnya di rumah kami ada mahkluk lain, selain kami dan dua asisten kami. Mahkluk ini bukan mahkluk halus, tetapi sebuah hamster imut berjenis kelamin pria.

Sebenarnya kehadiran hamster di rumah kami bukan kali pertama. Sebelumnya, kurang lebih sekitar awal tahun 2008, anak kami pernah membeli hamster. Yang paling getol ingin memelihara hamster adalah Anjani. Putri kami ini memang penyayang binatang. Tentu saja binatang-binatang yang layak dipelihara, disukai olehnya. Nggak mungkin kan babi hutan atau jerapah jadi binatang peliharaan di rumah?

Namun entah bagaimana caranya, si hamster pertama yang dipelihara Anjani lepas dari kandang. Kami menduga sih hamster itu dimakan oleh tikus yang sering berkeliaraan di pekarangan rumah kami. Oh iya, tikus-tikus ini tidak termasuk binatang peliharaan kami, lho. Kebetulan aja mereka merasa nyaman hidup di pekarangan rumah kami dan membuat lubang-lubang tempat mereka tinggal. Nah, tikus-tikus yang gedenya segede anak kucing usia dua minggu inilah yang kami pikir paling bertanggung jawab atas hilangnya hamster yang bernama Hammy itu.



Meski nggak sampai mogok makan atau nangis tujuh hari tujuh malam, Anjani merelakan kepergian Hammy. Ia dan juga kami memang nggak menyangka kandang hamster yang kami letakkan di depan rumah bisa berakibat fatal terhadap eksistensi Hammy. Itu bisa memancing tikus-tikus buat menyantapnya. Padahal niat kami meletakkan Hammy beserta kandangnya di teras depan buat menjaga agar kotoran atau hawa binatang, termasuk bulu-bulu tidak beredar di dalam rumah. Ini akan menimbulkan penyakit, apalagi buat perempuan kayak anak kami.

Toksoplasma, begitu nama penyakit yang konon salah satunya akibat virus yang masuk dari bulu-bulu maupun kotoran binatang peliharaan. Istri saya pernah mengalami hal ini, karena waktu kecil di rumahnya ada beberapa peliharaan, mulai dari kucing sampai burung perkutut. Ada pula jangkrik dan laba-laba. Kalo tikus mah udah lumrah, nggak usah dipelihara muncul dengan sendirinya.

Hamster kedua yang saat ini dipelihara oleh anak kami bernama Hammy Stery. Aneh ya? Kalo kita membaca dengan cepat pengucapannya kayak "Ha Misteri". Anyway, hamster kedua ini bukan kami yang membelikannya, tetapi dapat dari teman baik Anjani yang bernama Sherli. Oleh karena Sherli takut Mamanya nggak mengizinkan memelihara hamster, karena di rumah Sherli sudah banyak binatang peliharaan, maka Sherli menghibahkan ke Anjani.

Sebenarnya hamster ini pun bukan punya asli Sherli. Ia juga dihibahkan oleh teman sekelasnya yang bernama Dado. Entah apa yang membuat si Dado memberikan Sherli hamster lucu, imut, dan menggemaskan ini. Barangkali si Dado naksir Sherli, sehingga hadiah yang cocok buat tanda kasih sayang bukan bunga, melainkan hamster, apalagi Sherli konon suka memelihara binatang peliharaan di rumah.

Hibah hamster yang diberikan Sherli pada Anjani membuat kedua anak kami ceria lagi. Kisah lama soal hamster yang digosipkan dimakan tikus itu sirna sudah. Tiap malam sebelum tidur, Hammy Steri selalu dicium terlebih dahulu. Tentu saja setelah mereka mencium kami. Kami yakin, mereka tetap menyayangi kami, meski sekarang ini ada hamster di keluarga kami.

SUTRADARA MASA DEPAN LAHIR DARI KAMAR

Pada tahun 1957, Steven Spielberg mulai tertarik dengan kamera film 8 mm yang ia dapat dari ayahnya. Kamera yang masuk jenis video camcorder digital ini digunakan Spielberg kecil buat merekam perjalanan kemah akhir pekan keluarga.

Dari kegemarannya merekam, nalurinya menjadi Sutradara tumbuh. Tak heran di masa kanak, ia sudah berhasil membuat film pendek durasi 3 menit berjudul Last Train Wreck. Dan di usia 12 tahun, Spielberg sudah menjadi Sutradara profesional.



Kisah hidup Spielberg pasti nggak sama dengan Sutradara-Sutradara lain. Namun, ketika melihat anak pertama kami yang gemar menyutradarai, rasanya nggak salah kalo kami berdoa pada Allah agar cita-citanya sebagai Sutradara terkabul. Nggak perlu kayak Speilberg atau orang lain, jadi dirinya sendiri.

Kami bilang, dengan media apapun dia pasti bisa menjadi Sutradara. Mau pakai handycam kek, camera digital yang ada videonya kek, atau camera handphone, yang penting terus latihan menjadi Sutradara. Lupakan UU Perfilman. Lupakan kesedihan soal Pasal-Pasal yang dianggap kurang akomodatif. Yang penting terus berkarya. Tak heran, untuk kesekian kali, anak kami 'bergaya' ala Sutradara. Seperti biasa, yang menjadi sasaran adiknya sendiri. Adiknya disuruh bergaya, dan anak pertama kali yang merekamnya. Yang penting berkarya!



Memang, kita nggak akan mungkin 100% bebas berkarya. Karena dibalik kebebasan kita, ada kebebasan orang lain. Dan orang lain belum tentu mengerti atau suka dengan kebebasan kita. Justru ketidakbebasan itu bisa menjadikan sebuah tantangan baru. Tantangan baru untuk Sutradara masa depan seperti anak kami yang pertama ini.

Selasa, 17 November 2009

LATIHAN (BENAR-BENAR) PENSIUN

Tentu buat pekerja keras, ketika masa pensiun sudah didapat, sungguh sulit sekali memberhentikan segenap energi dan pikiran buat fokus benar-benar pensiun. Pasti ada hal yang saya sebut sebagai culture shock atau gagap budaya, dari budaya bekerja keras jadi budaya menjadi 'orang rumahan'.

"Selama masih mampu dan produktif, masa nggak boleh tetap kerja?"

"Boleh, dong. Siapa yang melarang?"

Kata orang bijak, tetap semangat meski usia tak lagi muda. Bahkan Ustadz yang sempat ceramah di sholat Ied di lapangan sepakbola tempat saya sholat, mengatakan: "Selama kita berpikir tua, kita akan merasa tua. Isilah hidup kita dengan hal yang bermanfaat sampai akhir hayat kita."

Menurut saya, pernyataan Ustadz itu benar. Selama kita hidup, kita harus terus memberikan manfaat buat banyak orang. Tapi manfaat buat orang banyak bukan cuma urusan dunia aja, kejar pula akhirat. Mengejar materi sampai usia tua, itu tidak selalu bermanfaat. Namun menyumbangkan ilmu agar orang lain mengerti dan hal-hal positif lain, itu yang justru luar biasa. Ingat, doa yang terkabul yang akan membantu kita agar diringankan di alam kubur salah satunya ilmu yang bermanfaat, selain amal sholeh.

Pakdeku satu ini mencoba menurunkan ilmu golf-nya pada anak kami. Memang sih ilmu golf nggak penting, tapi buat anak kami cukup penting. Soalnya, anak kami ini pengemar main golf. Maksudnya main golf bohong-bohongan, bo! Dengan menularkan ilmu main golf, diharapkan anak kami jago main golf.




"Masih mending nantinya jadi pemain golf, daripada diajarin jadi Caddy, wah itu bukan ilmu bermanfaat namanya, tapi calon pengganti Rani tuh namanya..."

Pakde kami yang populer dengan sebutan 'Ayah' ini bukan saja ingin menurunkan ilmu ke anak kami, tapi sedang melatih diri buat benar-benar pensiun alias nggak bekerja lagi. Nggak heran, selain menurunkan ilmu golf pada anak-anak kecil, masa pensiun nanti akan dihabiskan buat memancing.

"Nggak apa-apalah memancing ikan, daripada memancing keributan bisa berbahaya, ya

LAIN TANGAN, BEDA RASA

Menularkan keahlian memasak sudah dilakukan Mbah Suwito Rejo sejak masih muda. Siapa saja orang yang ingin belajar, dilayani oleh pemilik mie Jawa yang terletak di Gunung Kidul, DI Yogyakarta ini. Bahkan Mbah Wito -begitu pria ini akrab sisapa- rela ditanggap oleh mereka yang ingin membuka mie Jawa selama sepuluh hari. Dalam sepuluh hari itu ia menularkan ilmu memasaknya.

“Jika pembelinya sudah stabil, saya tinggal,” ujar Mbah Wito.

Kisah tentang Mbah Wito di atas itu saya kutip dari tulisan Mawar Kusuma yang ada di Kompas, Minggu, 11 Oktober 2009 kemarin. Sebenarnya tulisan yang ada di rubrik Tren-Santap di halaman 16 ini isinya sama dengan tulisan-tulisan soal pembahasan kuliner di minggu-minggu sebelumnya, yakni ada sebuah warung atau tempat jajan yang mak nyos di sebuah daerah di Indonesia. Namun yang menjadi luar biasa dari tulisan berjudul Mi Jawa Incaran Pejabat ini adalah filosofi Mbah Wito yang menjadi pembuka note saya.

Selama 67 tahun membuka Warung Bakmi Mbah Wito di Dusun Kemoro Sari, Desa Piyaman, Wonosari, Gunung Kidul, Mbah Wito tak pernah ngoyo dalam berjualan. Ia sudah cukup puas mengelola satu warung dan tidak berniat sedikit pun membuka cabang atau mencari lokasi jualan yang lebih strategis. Lebih dari itu, sudah puluhan pemilik warung yang meminjam jasanya untuk minta ditularkan resep keberhasilan mie Jawa. Setelah mengerti dan pelanggannya banyak, barulah Mbak Wito meninggalkan pemilik warung tersebut.

Menurut saya Mbah Wito luar biasa. Kata orang sekarang, ia tidak pelit ilmu. Berbeda sekali dengan Pengusaha-Pengusaha -khususnya ilmu masak- di era digital sekarang ini. Sedikit sekali dari mereka yang menularkan ilmu mereka. Yang terjadi justru, mereka membuka cabang sebanyak-banyaknya dengan resep yang hanya diketahui oleh si pemilik usaha. Wajarkah?

Kalo saya menggunakan perspektif kapitalis, resep yang cuma diketahui si empunya makanan, jelas sangat wajar. Siapa yang mau resepnya dicontoh orang lain, dimana si Pemilik sah resep itu tidak mendapat keuntungan apa-apa? Konsep seperti itu memang menjadi konsep kapitalis, sebagaimana yang ditulis oleh Karl Marx dalam artikel Wages of Labour, bahwa dalam kapitalisme hubungan yang lebih manusiawi (gemeinschaft) berganti menjadi hubungan yang bersifat bisnis semata (gesselschft).

Tak ada satu manusia pun yang tidak mau untung. Ketika orang lain minta untuk diajarkan cara memasak, sebagaimana Mbah Wito mengajarkan kepada orang lain tanpa pamrih, kaum kapitalis memanfaatkan dengan cara bekerjasama, yakni membeli franchise atau waralaba. Mereka yang ingin berdagang mie Jawa kudu menyetorkan uang muka sebagai bentuk sistem waralaba tadi dan kemudian membayar royalty tiap tahun atau tergantung dari kesepakatan keduabelah pihak.

Sistem franchise tak hanya dilakukan oleh usaha-usaha makanan yang memang lahir dari negara kapitalis, seperti McDonnald, Kentucky Fried Chicken, atau fast food-fast food lain. Usaha masakan yang berasal dari negara Indonesia yang katanya Pancasila ini juga sudah ikut-ikutan melakukan model usaha franchise. Sebut saja Ayam Bakar Mas Mono, Es Teler 77, dan masih banyak lagi.

Entahlah mengapa saya tetap kagum dengan filosofi Mbah Wito. Filosofinya itu mengingatkan saya pada ucapan pendiri Natural Cooking Club (NCC) Fatmah Bahalwan, bahwa setiap orang memiliki keunikan tersendiri dan kemampuan berbeda, sehingga: “Lain tangan, pasti rasanya berbeda!”. Maksudnya, meski kita sudah memberikan resep pada orang lain 100%, tapi ketika orang tersebut meracik makanan atau kue, pasti rasanya beda, karena masing-masing memiliki kekhasan dan kemampuan beda.

Seperti juga Mbah Wito, ketika diceritakan oleh istri, saya kagum dengan komunitas NCC. Seluruh anggota komunitas ini tidak pelit ilmu masak. Semua resep diberikan seluruhnya. Tidak ada yang ditutup-tutupi alias disimpan. Yang menarik, resep yang diberikan itu gratis dan orang yang memberikannya tanpa pamrih. Luar biasa bukan? Klik aja sendiri di milis mereka: groups.yahoo.com/group/naturalcookingclub atau blognya di NCC.blogsome.com.

Sekadar info, NCC adalah komunitas yang berawal dari mereka yang punya hobi sama, yakni memasak. Oleh karena sering bertukar pendapat di internet, maka Fatmah Bahalwan dan suaminya Wisnu Ali Martono mendirikan NCC pada akhir tahun 2004. Beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 15 Januari 2005, NCC pertama kali mengadakan kursus cake decorating. Tanggal itulah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya NCC.

NCC termasuk milis yang aktif, dengan jumlah posting rata-rata mencapai 100 hingga 200 posting. Jumlah member milis menjelang akhir tahun 2005 saja mencapai 1300, yang tersebar di lima benua. Luar biasa bukan? Milis ini jelas berbeda dengan milis lain yang sekadar ajang curhat-curhatan tak penting atau bahkan kritik-kritik yang tendensius cenderung sarkas.

Mbah Wito dan NCC mengingatkan saya pada Riwayat Iman Bukhari dan Muslim: Qaala rasulullahi shallallaahu’alaihi wasallam: Idzaa maata ibnu aadama, inqath’a’amaluhu illa min tsalaatsin: Shadaqatin jaariyatin, au’ilmin yuntafa’ubih, au waladin shaalihin yad’uulah. Artinya: “Rasulullah S.A.W bersabda: Bila seseorang meninggal, terputus untuknya pahala segala amal kecuali tiga hal yang kekal: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang senantiasa mendo’akannya”.

Perhatikan! Riwayat Iman Bukhari dan Muslim tidak mengatakan soal royalti atau keuntungan dari sebuah usaha franchise. Yang ada justru ilmu yang bermanfaat yang justru kekal abadi. So, jangan pelit ilmu. Taburkan ilmu sebanyak-banyaknya pada orang yang membutuhkan. Berikan resep masakan atau kue yang Anda miliki. Tak perlu disembunyikan, karena tidak bermanfaat juga. Soal rezeki sudah ada yang ngatur. Ingat pula: lain tangan, beda rasa!

ANJANI MENARI TARIAN BLANTEK - a video

ANJANI MENARI TARIAN BETAWI: BLANTEK




BAKI CEMAL-CEMIL

Mungkin semua Jawara bikin cake tahu how to make a cup cake. Begitu dikasih margarin, gula halus, telur, tepung terigu, dan baking powder, otak Jawara masak langsung bepikir sebuah cake mini yang dibungkus dengan sebuah papper cup. Boleh jadi cup cake jadi. Tapi rasanya gimana? Bikin hiasannya gimana?



Soal rasa memang menjadi hal penting dalam dunia cake. Memang sih penampilan sebuah cake penting juga. Namun begitu Costumer udah beli “penampilan”, eh begitu dicoba nggak enak, udah dipastikan 100% si Costumer itu never go back again to buy your cake. Nggak heran kalo gw memaksa istri gw belajar, khusus mempelajari soal “penampilan” dan “rasa” cake. Ibarat kata, kalo sebelumnya cuma ngambil S-1 soal pembuatan cake, doi mengambil program Master (S-2).

“Kenapa elo aja yang nggak ngambil S-2?”

“Gw udah! Tapi bukan jurusan cup cake...”

Hasilnya?

Boleh diadu, Cong! Hiasan-hiasan di cup cake buatan istri gw, bikin gemesin. Lihat aja! Ada cake cake rasa cokelat dengan topping gurita, topping bayi, atau cuma bentuk tulisan nama sang anak yang sedang melakukan hajatan. Kayak-kayaknya, cake cake bukan lagi buat orang-orang gede. Justru anak-anak yang nggak suka slice (baca: potongan) kue tart atau cake satu rasa, misalnya cokelat atau keju, justru cup cake menjadi pilihan. Tanpa harus dipotong kayak kue tart, kita udah bisa merasakan kelezatannya. Bisa milih-milih pula rasanya dan topping-nya, ya nggak Cong?!

Saat ini cup cake produksi rumahan di tempat gw namanya BAKI Cemal-Cemil. Kata BAKI di situ merupakan singkatan dari kami semua. Kata "B" mewakili nama saya; kata "A" mewakili putri pertama kami; kata "K" merupakan kata pertama dari nama putri kami yang kedua; terakhir kata "I" buat istri tercinta.

Kalo ada anak elo yang ulang tahun atau elo ada hajatan, don’t be shy to order di BAKI Cemal-Cemil, lho. Semua cake dijamin halal. Semua cake juga udah melewati kotak kukusan, sehingga dijamin matang. Soal topping, elo tinggal pilih mau dibuatkan topping kayak apa. But please jangan yang susah-susah dulu, misalnya topping wajah Antasari Azhar lagi ditangkap atau foto Manohara Odelia Pinot lagi dugem. Itu syusah, Cong! Gw nyerah deh kalo elo order kayak gitu.

“Harganya?”

“Murmer!”