Minggu, 15 November 2009

KOK JUM'AT-NYA LAMA SEKALI SIH, PAP?

Tak ada yang paling mendebarkan yang dirasakan oleh seorang anak usia 5 tahun, selain menanti detik-detik perayaan ulangtahun di sekolahnya. Ini dialami putri kedua saya. Khaira, namanya. Maklumlah, ini baru pertama kalinya ia merayakan ulang tahun di sekolah, setelah dua tahun bersekolah di TK-nya sekarang ini.

Biasanya kami merayakan ulang tahun putri kami ini sambil berbuka puasa, tidak pada saat siang hari setelah pulang sekolah. Sebab, setiap kali ulangtahun, harinya bertepatan dengan bulan Ramadhan. Oleh karena itu, kami berjanji, perayaan ulangtahunnya diselenggarakan dua kali. Pertama dengan saudara-saudara pada saat bulan Ramadhan. Perayaan kedua, dilakukan di sekolah setelah Idul Fitri.

Hampir tiap saat, Khaira selalu mengingatkan kami soal ulang tahun. Ia takut kalo kami lupa. Padahal kami justru mencatat hari H-nya itu di setiap kalender, dimana di situ terdapat tanggal. Namun note tentang hari-H yang ada di kalender atau whiteboard belum cukup meyakinkan Khaira. Tidak heran, ia selalu saja menghitung hari demi hari dan mengingatkan kami dengan konsisten.

“Sekarang sudah hari Jum’at belum, Pap?”

“Belum. Sekarang masih hari Senin,”

“Kok lama sekali sih Jum’at-nya, Pap?”

“Adik tahu kan habis hari Senin itu hari apa?”

“Selasa! Habis Selasa, Kamis, Jum…..at. Hari Jum’at! Berarti tinggal tiga hari lagi ya, Pap?”

“Iya. Hari Jum’atnya memang tinggal tiga hari, tapi hari Jum’at perayaan ulangtahun adik masih dua minggu lagi…”

“Kok lama sekali sih Pap?”

Selalu saja ingin segera merayakan “hari besar”-nya lebih cepat dari schedule yang sebenarnya sudah kita sepakati bersama. Maklum anak-anak. Maklum pula seperti yang saya sudah jelaskan tadi, perayaan pertama di sekolahnya. Kalo lagi exiting, anak-anak memang sering begitu. Tapi buat kami, ke-exiting-nya itu sungguh menarik dan sering membuat kami tersenyum-senyum sendiri. Bahkan kalo otak jahil muncul, kami sering menggoda Khaira.

“Lho, kok adik gak siap-siap mau merayakan ulangtahun?”

“Memangnya ulang tahun adik sekarang, Ma?”

“Sekarang kan hari Jum’at. Memangnya adik lupa?”

“Jum’at ya Ma? Tapi sekarang kan bukan perayaaan ulangtahun adik. Mama aja belum buat kue buat adik…”

Meski seringkali dibohongi dengan maksud menggoda ke-exiting-annya, namun Khaira cukup pintar untuk tahu bahwa kami memang sedang menggoda. Ia sangat tahu dan bisa membedakan: mana yang serius kami ucapkan, mana yang sekadar joke. Alhamdulillah, anak kami cukup cerdas dalam hal ini.

Terus terang ketika berusia 5 tahun, saya dan istri belum pernah merasakan detik-detik proklamasi, eh maksudnya detik-detik menjelang hari ulangtahun. Kami tidak pernah merayakan ulangtahun. Boro-boro menikmati kue ulangtahun atau mendapatkan kado istimewa, mengajak teman-teman berpesta pora di sebuah kafe mewah atau hotel berbintang. Orangtua kami termasuk golongan menengah-bawah yang punya uang cukup buat makan, sekolah, dan sedikit ditabung.

Kami dan pasangan muda generasi baru seperti kami banyak yang “balas dendam”. Artinya, kami melupakan masa lalu yang “buruk” dan sedikit memanjakan keinginan anak sebagaimana dahulu kami pernah menginginkannya, tapi tidak bisa diwujudkan dengan alasan perekonomian keluarga. Buat Khaira, Insya Allah kami bisa meluluskan permintaannya merayakan ulang tahun, asal make sense. Dan yang membuatnya exiting menantikan perayaan ulangtahunnya ada tiga hal, yakni:

“Pakai baju princess, tiup lilin, dan buka kado!”

Sebetulnya Khaira tidak tergila-gila pada Princess Cinderella atau Barbie sebagaimana anak-anak perempuan lain. Putri kami lebih suka Pocoyo. Sebagian dari Anda pasti mengenal siapa itu Pocoyo, ya kan? Pocoyo adalah serial kartun animasi 3D berdurasi 7 menitan yang diperuntukan anak-anak pre-school. Kartun ini hasil karya David Cantolla, Luis Gallego and Guillermo GarcĂ­a Carsi. Kartun produksi Zinkia Entertainment ini ditayangkan di Disney Channel.

Memang nggak ada hubungannya Pocoyo, yang selalu mengenakan kaos, celana, dan topi biru itu, dengan sosok seorang Princess. Sekali lagi, Pocoyo bukan Princess. Ia tokoh imajiner, seorang anak kecil yang lugu, kadang sombong, dan kreatif. Meski nggak ada hubungannya, Khaira tetap ngotot ingin mengenakan baju Princess pada saat ulangtahun dan kue bergambar tokoh kartun itu. Kami mengerti keinginannya dan tanpa ba-bi-bu lagi, kami pun mengabulkan keinginannya.

“Nah, Mama sudah bikin kue ulangtahun, pasti besok adik ulangtahun...”

“Iya, dua hari lagi adik ulangtahun, karena dua hari lagi hari Jum’at,” jawab istri saya.

Putri kami ingin kue ulangtahunnya ada gambar Pocoyo-nya, terserah Pocoyo yang sedang bergaya apa saja. Yang penting ada Pocoyo dan teman-temannya, yakni Pato, Elly and Loula. Barangkali kalo Anda yang punya duit banyak, solusi membuat kue yang diminta anak Anda nggak masalah, karena Anda tinggal mampir ke toko-toko kue. Dan barangkali kami juga bisa melakukan itu, pasti! Beruntunglah istri saya pintar bikin kue. Istri saya mengambil keputusan untuk membuat kue sendiri. Nggak heran kalo dua hari sebelum hari H, menjadi masa sibuk bagi istri saya.

Selama dua hari, rumah kami bau adonan kue. Harum. Lucunya, setiap saat, Khaira selalu mengintip dan bertanya persiapan ulangtahunnya. Sebenarnya kami ingin membuat supprise pada dirinya soal kue Pocoyo. Sepertinya ia tidak terlalu exiting dengan surpprising. Ia lebih suka mengetahui proses kue ulangtahunnya sampai hasil akhir. Kami cuma bisa menggeleng dan tersenyum.

Finnally, hari-H pun tiba. Dengan gaun Princess yang kami siapkan, Khaira berdiri di depan teman-temannya. Di sampingnya berdiri kue tart Pocoyo yang diletakkan di sebuah meja. Ada pula papan berbentuk kerucut setinggi setengah meter, dimana di papan tersebut diletakkan 20 cup cake yang akan dibagi-bagikan ke teman putri kami. Semua kue buatan istri saya, termasuk bingkisan ulangtahun yang akan dibawa pulang teman-teman Khaira, yakni sebuah kue berbentuk telapak tangan dengan huruf-huruf sesuai dengan nama mereka. Lucu sekali.

Rupanya teman-teman Khaira lebih suka menatap kue tart bergambar Pocoyo, ketimbang aktif mengikuti acara ulangtahun, dimana Guru putri kami menawarkan siapa saja yang ingin menyanyi. Entah kagum atau penasaran dengan rasa kue tart tersebut, teman-teman Khaira terus melingkari kue tersebut. Saringkali si Guru harus “mengusir” murid-muridnya itu agar jangan terlalu mendekat, karena nanti hiasannya hancur atau kuenya jatuh dari meja. Ah, namanya anak-anak. Sudah diusir, mereka mendekat kembali.

Rasa penasan mereka akhirnya berakhir. Setelah berdoa, kami membagi-bagikan potongan kue ada ke-20 teman-teman anak kami. Ada yang pasrah mendapatkan potongan kue bergambar Sleepy Bird, teman Pocoyo. Ada pula yang request minta gambar Pocoyo. Selain ke-20 teman-teman Khaira, tentu kedua Guru Khaira pun kami beri.

Kami tersenyum melihat cara mereka makan. Coba Anda bayangkan orang yang tidak makan seminggu, ya seperti itulah mereka makan kue. Maaf, seperti rakus. Tak heran banyak di antara mereka yang mulutnya belepotan oleh krim kue. Lucu, tapi sungguh menyenangkan.

“Enak!”

“Aku suka kue cokelatnya...”

“Mau nambah, tapi perutku udah kenyang...”

Begitulah reaksi teman-teman Khaira ketika saya coba minta komentar kue buatan istri. Alhamdulillah, mereka puas. Istri saya pun puas. Kerja keras selama dua hari, tidak sia-sia. Banyak orang yang mengapresiasi. Terbayang kalo harus memberikan uang kepada Harvest, Cake Factory, atau toko kue lainnya, pasti harganya selangit untuk kue seukuran itu. Tapi untuk hari istimewa buat sang anak, buatan sendiri pasti lebih nikmat dan puas mengerjakannya. Apalagi banyak pujian soal kue buatan istri saya itu.

“Ibu kreatif sekali sih,” ucap Ibu Lina, guru anak kami yang turut memberikan komentar.

Alhamdulillah!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar