Kamis, 12 November 2009

KENAPA BUKAN ULANG HARI?

Tak akan lama lagi, Anjani merayakan ulang tahun yang ke-10. Saya tahu, anak pertama kami exiting akan merayakan ulangtahunnya dengan mengundang saudara-saudara kami ke rumah. Sengaja kami menganjurkan ulangtahun kali ini tidak dilakukan di restoran fast food atau country club dekat rumah.

Sebelum memilih dirayakan di rumah, kami sudah memberikan pilihan pada Anjani merayakan ulangtahun di sebuah sekolah kolong jembatan. Kebetulan saya mengenal pengelola sekolah gratis kolong jembatan, yakni Ibu Rossy dan Ibu Ryan. Dua wanita luar biasa ini sudah mengizinkan kami merayakan ulangtahunnya di sekolah yang murid-muridnya mayoritas anak para pemulung itu. Namun dengan berbagai alasan, kami tidak jadi melangsungkan ulang tahun di sekolah bernama Sekolah Darurat Kartini itu.

“Ada baiknya kita tetap menyumbang ke sekolah itu, tapi perayaan ulangtahunnya dilakukan di rumah saja,” jelas istri saya. “Kebetulan sudah lama tidak mengadakan kumpul-kumpul keluarga.”

Kami akhirnya sepakat. Anjani pun setuju. Dalam beberapa hari, perayaan ulangtahun itu akan dilaksanakan. Sambil menunggu hari-H, entah kenapa anak pertama saya ini bertanya hal yang menurut saya “aneh”. Meski “aneh”, pertanyaannya membuat saya jadi berpikir lagi. Pertanyaannya sebenarnya sederhana saja, kenapa semua orang menyebut perayaan tanggal dan bulan yang sama pada seseorang disebut “ulang tahun”? Kenapa bukan “ulang tanggal” dan “ulang bulan”? Bukankah yang diulang bukannya “tahun”, tapi “tanggal” dan “bulan”?

Aneh memang pertanyaan Anjani itu. Tapi sekali lagi ada benarnya juga. Sebab, mengapa kata “ulang tahun” disebut untuk sebuah perayaan yang berulang-ulang setiap tahun. Logikanya, kalo yang berulang-ulang itu tahunnya, maka si orang yang berulang tahun atau biasa disebut Birthdayman atau Birthdaygirl nggak akan gede-gede. Umurnya ya segitu-gitu juga, yakni 0 tahun. Betul nggak?

Angka akan dihitung sejak tahun, dimana si Birthdayman atau Birthdaygirl lahir. Contoh Birthdayman lahir tahun 1945. Pada saat ia merayakan ulang tahun di tahun 2009 ini, maka kalo kita mengatakan “ulang tahun”, maka tahun yang diulang ya tahun 1945 dong? Meski kepala si Birthdayman sudah botak, kumisnya sudah miring sebelah, matanya sudah keriput, tetap saja umurnya 0 tahun. Wong yang diulang tahunnya aja, kok, bukan tanggal dan bulan?

“Sudah dari sononya begitu, Kak,” jawab saya seperti orangtua yang frustrasi nggak mendapatkan jawaban. Namun saya berusaha menjelaskan lagi alasan mengapa akhirnya seluruh dunia menamakan “ulangtahun” sebagai bentuk ucapan bagi mereka yang merayakan tanggal dan bulan di tahun itu.

Saya menjelaskan begini. Kalo kata “ulang tahun” diganti dengan “ulang tanggal” atau “ulang bulan”, memang akan terdengar janggal. Coba kita dengar sama-sama ucapan selamat dari seorang rekan yang merayakan tahun berkut ini.

“Selamat ulang tanggal dan bulan ya!” .

Terlalu panjang bukan? Nah, pada saat menyanyikan lagu “ulang tahun” yang kemudian diganti dengan “ulang tanggal” dan “ulang bulan” pun juga nggak enak kedengarannya.

“Selamat ulang tanggal dan bulan... kami ucapkan...
Selamat ulang tanggal dan bulan.... kita kan doakan...
Selamat sejahtera... sehat sentosa...
Selamat panjang umur dan bahagia.....”

Kalo semua orang menjalankan “ulang tahun”, yang bingung adalah instansi-instansi pemerintah. Seperti kita ketahui, setiap kali ada formulir –misalnya formulir membuat KTP atau SIM- kita diharuskan mengisi sebuah kolom yang menanyakan soal usia. Kalo semua orang mengisi usianya 0 (baca: nol tahun), padahal tahunnya beda-beda, maka akan sangat membingungkan bukan? Itu soal administrasi, bagaimana soal mempertanyakan fisik kita?

Kalo 0 tahun diterapkan, sementara kita sudah uzur, ya nggak matching dong? Tapi ini lebih baik kali ya daripada umur 0 tahun (yang dalam arti “ulang tahun” sebenarnya umurnya sudah 50 tahun), tapi kelakuannya masih 0? Maksudnya, kelakuan mereka yang berulangtahun masih kebayi-bayian, yang masih harus menyusui, digendong, ditepuk-tepuk pantatnya, ngompol, ngiler, nggak bisa ngomong, nangis di malam hari, ngajakin main di malam hari, pake pempers, pake kaos kaki bayi, pake kereta bayi, dan lain sebagainya.

Terus terang saya nggak tahu siapa yang bisa dipersalahkan dalam konteks istilah “ulang tahun”. Barangkali kalo ada yang harus dipersalahkan, saya lebih menyalahkan Penerjemah dari Indonesia zaman dimana kata “ulang tahun” belum beredar. Kok begitu? Yaiyalah! Coba Anda terjemahin kata “ulang tahun” ke dalam bahasa Inggris. Artinya “birthday” kan? Bukan “birthyear”. Kalo dipenggal-penggal: “BIRTH” berarti lahir dan “DAY” adalah hari, jadi “hari lahir”. Ini barangkali yang membuat Anjani jadi bertanya-tanya soal “ulang tahun”. Kebetulan ia memang suka sekali bahasa Inggris. Saya yakin pertanyaan soal kata “ulang tahun” itu dari kata “birthday”.

“Jadi nggak mungkin diganti ya, Pap?” tanya Anjani yang masih penasaran dengan istilah “ulang tahun” ini.

“Mungkin bisa diganti. Tapi barangkali harus disediakan bubur merah bubur putih dulu kali ya,” ucap saya asbun alias asal bunyi menutup pembicaraan dengan Anjani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar