Rabu, 25 November 2009

BOHONG APA BENER?

Hujan cukup deras di Jakarta pagi ini. Seperti biasa, kami tetap mengantarkan anak-anak ke sekolah. Padahal kami -terutama saya- berharap sekolah anak kami libur. Soalnya cukup malas juga melihat hujan deras begini, yang sebenarnya lebih asyik dimanfaatkan buat tidur. Namun, karena sekolah nggak ada pengumuman libur dan mengantarkan anak ke sekolah adalah kewajiban yang nggak bisa ditawar-tawar lagi, ya dengan semangat 45, kami berhasil mengalahkan kemalasan.

Sebenarnya acara antar-mengantar anak ke sekolah itu banyak manfaatnya. Selain kita dipaksa buat bangun pagi, juga sebagai sarana komunikasi. Hal terakhir itu yang sangat saya suka: KOMUNIKASI. Well, kita semua tahu, sebagai orangtua yang (sok) sibuk, komunikasi kita selalu by phone atau by SMS. Mending masih sempat by phone atau by SMS, yang sering terjadi nggak pernah. Orangtua-orangtua metropolitan aktivitasnya berangkat pagi, pulang malam. Jarang ketemu dengan anak-anak. Nah, dengan acara antar-jemput, di waktu pagi, komunikasi kita bisa face to face.

Banyak hal yang bisa kita bicarakan saat mengantar anak. Topiknya bisa serius, bisa santai. Bisa gabungan keduanya: serius dan santai yang lazim kita kenal dengan sebutan SERSAN. Kebetulan pagi ini topiknya santai dan masih berhubungan dengan masalah hujan yang terjadi pagi ini.

Anda tentu tahu, kalo sudah turun hujan di Jakarta ini, banyak sekali air yang menggenang di jalan. Di sekitar rumah saya pun begitu. Kalo kita naik mobil dan ban mobil kita melintasi genangan air tersebut, pasti akan menimbulkan cipratan, ya kan? Kebetulan beberapa kali melewati jalan, ban mobil kami menimbulkan cipratan. Kalo genangannya tinggi, maka cipratan airnya banyak.

Rupanya cipratan-cipratan air tersebut membuat anak-anak kami suka. Kata mereka mirip kayak permainan air yang ada di Dufan atau di Taman Safari. Nggak heran mereka terus meminta kami buat melintasi jalan yang tergenang. Tetapi kami bilang, cipratan itu sengaja kami lakukan, karena kita harus buru-buru dan genangan yang ada di jalan nggak bisa kita hindari.

"Tapi asyik, Pap," kata Anjani, anak kami pertama.

"Iya!" Khaira ikut-ikutan nyeletuk.

Kami berusaha menjelaskan lagi, bahwa kalo di pinggir genanggan air itu nggak ada orang, barangkali kami bisa melakukan. Tetap kalo ada orang, kasihan orang itu, pasti akan terkena cipratan air. Kita harus menghormati pejalan kaki.

"Soalnya Mama pernah kena cipratan mobil," jelas istri saya mencoba mengajak anak kami memiliki perasaan yang sama seperti kami.

"Mama bohong apa bener, nih?" kata Khaira, anak kedua kami, dengan wajah polos tanpa bermaksud menggoba.

"Ya, benar, lah! Masa Mama bohong?"

"Habis nggak ada di foto!"

Kami pun tertawa terbahak-bahak atas pernyataan Khaira itu. Kami terkejut, bisa-bisanya anak kami ngomong kayak begitu, yang kami pikir cukup cerdas. Dia anggap, semua yang diomongkan kami harus ada buktinya. Salah satu bukti yang paling masuk akal, ya foto.

"Jadi sekarang ini apa-apa harus pakai foto ya, Dik?"

"Iya, dong!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar