Sabtu, 24 Juli 2010

"MAKANYA ADIK MAU PUNYA BAYI..."

Sekarang ini, setiap jam 4 sore, Khaira pergi ke rumah Nenek kami. Kebetulan rumah Nenek kami tidak jauh dari rumah kami. Jaraknya sekitar 500 meter dari rumah kami. Ya, beda Rukun Warga (RW) saja.

Kenapa harus pukul 4 sore? Sebab, di jam segitu, Tiara dimandikan. Siapa itu Tiara? Tiara adalah keponakan kami. Ia masih bayi. Umurnya masih 4 bulan. Gara-gara masih bayi, anak-anak kami suka main ke rumah Nenek (kami biasa memanggil dengan sebutan "Uti").

Di rumah Uti, Khaira memang hanya boleh melihat proses Tiara dimandikan. Oleh baby sitter-nya, anak saya belum diizinkan memandikan. Saya bisa maklum, usia 4 bulan masih rentan. Meski belum boleh memandikan, setiap kali Tiara dimandikan, mata Khaira berbinar-binar.

"Adik mau punya bayi, Ma," ujar Khaira.

"Kenapa adik mau punya bayi? Kan sudah ada adik Tiara?"

"Tapi kan adik Tiara nggak tidur di rumah sini. Jadi adik mau punya bayi, Ma"

Saya dan istri saling pandang-pandangan.

Jumat, 23 Juli 2010

JUS JAMBU BU KARDI

"Mah, nanti adik mau jus bu Kardi ya?"

Tiba-tiba Khaira berkata seperti itu, beberapa menit sebelum masuk ke kelasnya. Saya dan istri heran, kenapa kok tiba-tiba putri kedua kami ini minta jus. Jus-nya pun jus bu Kardi pula. What happened?

Kami pun tergerak hati untuk menyelidik. Penyelidikan pertama ke warung bu Kardi. Buat Anda yang nggak tahu who is bu Kardi, saya kasih tahu. Ia bukan selebriti papan atas atau public figure yang namanya kini populer. Ia seorang pemilik warung yang mangkal di dekat sekolah Khaira, yakni di SD At-Taqwa, Rawamangun, Jakarta Timur.

Sebenarnya nama bu Kardi sudah populer di lingkungan At-Taqwa. Kebetulan, At-Taqwa ini tidak hanya membuka sekolah SD, tetapi Kelompok Bermain (KB) dan Taman Kanak-Kanak (TK) pun ada. Nah, posisi warung bu Kardi berada di tengah-tengah antara gedung SD dan gedung TK. So, keharuman nama bu Kardi sudah tercium sejak Khaira berada di TK At-Taqwa.

Bu Kardi adalah perempuan kurus, tetapi lincah. Tiap meladeni pelanggan, ia begitu cekatan. Padahal pelanggannya banyak, lho. Mayoritas pelanggannya adalah ibu-ibu yang menunggu anak-anak mereka sekolah. Nah, kebayang betapa cerewetnya ibu-ibu ini. Kalo nggak minta diladenin duluan, ya minta sambel. Kalo nggak minta kembalian, ya minta bungkusan. Hebatnya, di warung itu cuma bu Kardi seorang diri yang meladeni.

Bu Kardi sudah bersuami. Kebetulan suaminya adalah Satpam di TK dan SD At-Taqwa. Kalo tidak bertugas, pak Kardi ikut bantu bu Kardi meladeni pelanggan. Kasihan soalnya kalo nggak dibantu, repot!

Di warung bu Kardi tersedia aneka makanan. Ada donat, lontong isi, tahu isi, ketan, nasi uduk yang sudah diplastikin, dan jus. Sambil sarapan pagi, saya dan istri pun menyelidiki tentang jus jambu bu Kardi ini.

Ternyata, sudah lama jus bu Kardi beredar di kalangan murid-murid SD At-Taqwa. Murid-murid At-Taqwa banyak yang langganan jus jambu ini, termasuk teman-teman Khaira. Itulah mengapa Khaira ingin menjadi pelanggan jus jambu bu Kardi seperti teman-temannya.

"Nanti Mama buatkan jus jambu di rumah ya?" rayu istri saya.

"Maunya jus jambu bu Kardi!" ngotot Khaira.

Menurut istri saya, kenapa jus jambu bu Kardi jadi idola, karena rasanya manis. Itu artinya, gulanya lebih banyak daripada rasa jambunya.

Untunglah, Khaira akhirnya mau dibuatkan jus jambu dari rumah. Tapi tetap pakai syarat. Diantarnya bertepatan dengan bu Kardi membawakan jus jambu ke teman-teman Khiara. Walah! Tapi kami ngerti kenapa Khaira menetapkan syarat seperti itu. Sebab, supaya ia berasa minum jus bersama teman-temannya.

Tepat pukul 10:00 wib, jus jambu buatan istri saya tiba di sekolah, bersamaan dengan jus jambu bu Kardi.

"De, ini jus jambunya?" ujar istri sambil menyerahkan jus jambu yang sudah dimasukkan ke dalam botol plastik bergambar Toy Story 3.

"Lho, kok jusnya dimasukkan ke situ (botol Toy Story maksudnya)," protes Khaira.

"Memangnya adik mau dimasukkan ke botol yang mana?" tanya istri saya.

"Mau gelas plastik kayak jus teman-teman adik..."

Oalah! Tetep! Nggak beli jus, gelas plastik tetap jadi syarat. Yang penting bu Kardi. Khaira-Khaira segitu nge-fans-nya sama bu Kardi...

BELAJAR KORUPSI DARI DALAM MOBIL

Pagi itu saya berhasil menjalankan mobil tepat pukul 06 lewat 5 menit. Dengan hitungan waktu berangkat ini, sudah dipastikan kami tidak akan terjebak kemacetan. Maklumlah, meski dari rumah kami di Cempaka Putih Barat ke sekolah Anjani dan Khaira di Rawamangun jaraknya dekat, namun seringkali kami berhadapan dengan kemacetan. Apalagi kalo kami baru menjalankan mobil dari rumah pukul 06.20, sudah diduga, Anjani akan terlambat.

Begitulah rutinitas yang sudah menjadi komitmen kami: mengantarkan anak-anak ke sekolah. Seperti di cerita-cerita saya sebelumnya, saya memang punya komitmen, setiap pagi wajib antar anak-anak sekolah whatever it takes! Mau badan pegal, mata ngantuk, tetap antar sekolah. Kenapa? Di saat antar sekolah, kami bicara menjalin komunikasi dengan anak-anak, termasuk dengan istri.

Apa saja bisa kami obrolkan dalam mobil. Soal grup Korea yang digila-gilai oleh Anjani, juga soal pacar-pacar Khaira. Pagi kemarin, kami ngobrol soal korupsi. Saya senang banget ketika Anjani bertanya soal korupsi. Sebab, kebetulan di hari sebelumnya, saya mendapat pengalaman soal korupsi.

"Pa, korupsi itu apa?"

Sebagai bapak dua orang anak yang berusia 11 tahun dan 6 tahu, tentu jawaban atas pertanyaan itu harus sesederhana mungkin. Nggak mudah lho menyederhanakan kalimat untuk anak-anak. Makanya saya pun memberi jawaban begini:

"Nak, segala sesuatu yang bukan milik kita itu tidak boleh diambil. Kalo kita ambil, itu namanya mencuri, mengerti?"

Anjani mengangguk. Rupanya anak saya kedua Khaira (6) juga ikut-ikutan mengangguk. Padahal tujuan saya menjelaskan ini cuma untuk putri saya pertama Anjani (11). Itulah yang bikin saya exciting. Artinya, pembahasan korupsi di dalam mobil menuju ke sekolah ini juga untuk Khaira. "Mantabs," pikir saya.

Lanjut saya, bahwa setiap orang yang mencuri adalah berdosa. Saya mencontohkan, kalo saya membuat program TV, ada uang untuk shooting program itu. Taruhlah Rp 500 ribu. Ternyata, untuk membuat program TV hanya membutuhkan uang Rp 350 ribu. Artinya, ada sisa uang Rp 150 ribu. Nah, sisa uang itu kan bukan milik saya, tetapi milik perusahaan TV itu.

"Kira-kira uang itu Papa harus kembalikan atau tidak?" pancing saya.

"Kembalikan," jawab Anjani.

"Kalo uang itu Papa ambil gimana?" pancing saya lagi.

"Itu namanya Papa mencuri!" ujar Khaira.

Saya tersenyum. Bangga. Anak-anak saya mulai tahu arti korupsi yang sangat sederhana.

Saya jelaskan lagi, bahwa saat ini banyak sekali orang yang ditangkap polisi, karena mencuri uang yang bukan milik mereka. Mereka itu sudah punya gaji, tetapi masih mencuri uang yang sebenarnya punya perusahaan atau tempat kerja mereka.

"Nah, itu yang dinamakan korupsi. Kalo orang yang melakukan korupsi dinamakan koruptor, mengerti?"

Anjani dan Khaira mengangguk bersama-sama.

Ketika bekerja di stasiun TV jadi broadcaster, saya sering sekali hampir terjebak dalam kasus korupsi. Saya jelaskan pada anak-anak, bahwa kesempatan saya korupsi di stasiun TV. Sebagai Executive Produser, saya berhak membuat anggaran untuk shooting dan mengalokasikan dana untuk ini dan itu, termasuk honor artis atau pengisi acara.

Beberapa teman saya (mohon maaf!) memanfaatkan jabatan untuk korupsi. Entah itu mengambil honor artis atau narasumber, maupun memasukkan program TV ke stasiun televisi tersebut, meski program tersebut tidak layak tayang. Terakhir, saat saya bekerja di lembaga kepemerintahan, saya pun sempat berdiskusi mengenai dana Bantuan Sosial (Bansos), dimana dana itu bisa dimanfaatkan sebagai celah untuk korupsi. Bayangkan! Dana Bansos per tahun Rp 500 juta. Kalo saya sudah biasa "maling", tentu akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang dari dana itu. Mencuri 10% sampai 20% dari dana itu lumayan kan?

"Kakak dan adik nggak mau kan Papa masuk penjara?" tanya saya seperti menguji.

"Ya, nggak mau lah!"

"Nah, makanya kita harus bersyukur. Meski Papa dan Mama tidak punya uang banyak, tetapi kita masih bisa punya mobil, punya rumah, bisa sekolahkan kakak dan adik, dan masih bisa jalan-jalan, ya kan?"

Anjani dan Khaira mengangguk.

Alhamdulillah, aank-anak kami sekarang mengerti korupsi. Saya sebagai Papa-nya dilarang oleh kedua anak kami masuk penjara, karena mencuri uang yang bukan haknya. Kalo mencuri waktu? Ah, anyway, ternyata belajar korupsi bisa dimana saja, termasuk di dalam mobil.

FIRST DAY AT SCHOOL

Senin, 12 Juli 2010 merupakan hari pertama Khaira masuk SD. Ini adalah hari yang sangat dinanti-nantikan olehnya. Maklumlah, setelah wisuda TKB, putri kedua kami ingin berkali-kali mengungkapkan kegembiraan akan bersekolah di SD.

"Kapan sih Pa, adik masuk sekolah?"

"Ma, sekolahnya tinggal berapa hari lagi?"

Buat kami aneh, kok nggak sabaran amat mau masuk sekolah aja. Yang sudah-sudah, kita malah stres kalo mau masuk sekolah lagi. Meski tahun ajaran baru, yang namanya sekolah seperti "hantu". Tapi Khaira tidak.

Seperti ketika kami memasukkan putri pertama kami Anjani masuk SD, segala persiapan dilakukan. Salah satunya jangan sampai telat masuk. Nggak heran, berbagai jam weker, alaram handphone, serta bel Blackberry dipasang, supaya kuping kita mendengar dan langsung mandi. Maklumlah, meski jarak antara rumah ke sekolah Anjani dan Khaira dekat (Cempaka Putih-Rawamangun), namun kita tetap memprediksi kemungkinan terjadi kemacetan.

Benar saja, kemacetan mulai terjadi. Hari pertama masuk sekolah ibarat momentum para orangtua mendedikasikan harinya untuk anak, apalagi kalo anak mereka baru pertama kali sekolah, entah di TK atau di SD. Biasanya, first day at school, para orangtua akan mencarikan kelas anak mereka, menunggu di depan kelas, mengabadikan anak mereka dengan kamera, melihat upacara, baris-berbaris, dan sampai memastikan anak mereka kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran pertama.

Saya pun dengan istri melakukan itu. Menguntit kemana pun Khaira dan teman-temannya pergi: berbaris di depan kelas, melakukan upacara bendera, dan masuk ke kelas kembali. Buat kami, first day at school ini mengingatkan kami ketika melakukan hal yang sama lima tahun lalu ketika putri pertama kami Anjani masuk SD.

NGEBET MASUK SD

Boleh jadi, attittute yang dimiliki Khaira cukup "langka". Betapa tidak, saya dan istri belum pernah merasakan sebuah kegembiraan saat kita mau masuk sekolah. Dahulu kala, setelah liburan selesai, yang terjadi justru penyesalan yang mendalam.

"Kok liburan cepat amat sih?"

"Duh, kayaknya sebentar amat liburannya..."

Begitulah komentar yang saya dan barangkali anda ungkapkan ketika besok sudah harus masuk sekolah. Namun hal ini tidak berlaku buat putri kedua saya Khaira. Ia malah exciting pada hari Senin tanggal 12 Juli 2010, sudah masuk sekolah.

Bahkan saking ngebetnya mau masuk sekolah, beberapa hari menjelang masuk, seragam putih merah-nya dipakai. Kalo istilah gaulnya "diperawanin". Seragam itu dipakai seharian, bahkan sampai dipakai untuk tidur segala. Ade-ade, segitu ngebet-nya mau masuk sekolah.

Analisa saya mengapa Khaira ngebet masuk sekolah, barangkali ia bakal memasuki suasana baru. Kalo dulu kurikulum sekolahnya masih banyak bermain, kini setelah masuk SD, ia sudah merasa lebih besar.

"Adik sekarang sudah jadi kakak-kakak," ujar Khaira.

Minggu, 11 Juli 2010

NGGAK SUKA PERTAMINA

Pada saat film Toy Story 3 diputar di bioskop, Shell berhasil menjadi salah satu produk yang "mendompleng" film animasi produksi Disney-Pixar itu. Sebenarnya dalam film, nggak ada scene atau cerita yang memperlihatkan logo Shell atau "kehebatan" pompa bensin ini. Namun, Shell tetap memanfaatkan momentum.

Momentum tersebut ternyata cukup mujarah. Anak-anak banyak yang meminta orangtua mereka mengisi bensin di Shell. Salah satu anak yang kena "sihir" ajaib Shell adalah putri kedua saya, Khaira.

"Pap, kalo ngisi bensin ke Shell ya?" kata Khaira mencoba mengingatkan saya.

"Lho, memangnya kenapa?" tanya saya sok heran, meski sebenarnya saya juga penggemar Shell.

"Soalnya Adik nggak suka Pertamina, sukanya Shell."

"Kenapa nggak suka Pertamina?" tanya saya memancing.

"Soalnya di Pertamina nggak ada boneka Toy Story-nya. Kalo di Shell kan ada..."

Selama ini Pertamina memang nggak pernah mengambil momentum-momentum yang sebenarnya baik buat merekrut pelanggan. Pertamina terlalu sibuk dengan "diri sendiri". Sibuk menaikkan harga, sibuk menambah jumlah pompa bensin, dan sibuk-sibuk lainnya. Padahal memanfaatkan momentum juga dibutuhkan.

Meski Toy Story 3 nggak ada hubungannya dengan Shell atau masalah bahan bakar, tetapi Shell cukup jeli. Shell melihat anak-anak termasuk pangsa pasar bensin. Kalo anak-anak suka, pasti orangtuanya terpaksa akan membelikan. Belum tentu setelah Toy Story 3 habis diputar di bioskop, orangtua yang sebelumnya mengisi bensin ke Shell akan menjadi pelanggan tetap. Tapi saya yakin, dengan 100 orang pelanggan dadakan gara-gara Toy Story 3, masa sih nggak ada 10-20 pelanggan baru Shell?

Pengalaman saya dengan anak saya agaknya menjadi sebuah pelajaran dari Pertamina agar orang-orangnya lebih kreatif lagi dalam mencermati pasar.