Senin, 22 Maret 2010

KHAIRA SI PENJUAL DONAT

Cerita di bawah ini adalah cerita yang didiktekan langsung oleh Khaira. Saya sama sekali tidak memperbaiki kalimat-kalimat yang diucapkan putri kamu kedua ini. Semuanya murni datang dari ucapan Khaira. Saya cuma menambahkan titik, koma, dan paragraf saja.

Judul cerita ini adalah KHAIRA SI PENJUAL DONAT. Judul ini juga asli dari gagasan Khaira. Saya nggak mengintervensi gagasannya. Selamat membaca!

Aku Khaira penjual donat. Aku akan membuat donat yang spesial untuk pelanggan. Uang yang dikasih oleh pelanggan akan ditaro di celenggan, karena aku mau beli permainan kesukaan aku.

Para yang mau donatku, uangnya banyak. Yang satu aku tabung. Yang satu, aku beli untuk beli permainan.

Aku senang mempunyai uang, karena aku penjual donat yang terhebat di seluruh dunia. Aku senang menjadi penjual donat.

Nanti kalo aku sudah besar, aku akan menjadi guru.



Ada lagi cerita Khaira yang didiktekan ke saya di malam yang sama. Entahlah kenapa tiba-tiba Khaira dapat ide dua kisah ini dalam satu malam. Sudah begitu, saya pula yang disuruh mengetik di komputer. Ah, tak apalah. Yang penting Khaira senang.

Judul cerita Khaira kali ini adalah BADUT KESAYANGANKU. Kenapa judulnya itu? Sebeb, selama ini Khaira punya beberapa boneka. Boneka badut adalah boneka kesayangannya. Kenapa sampai disayang? Silahkan membaca!

Aku suka boneka badutku, karena dia 'nyot-nyot'. Kalo aku tidur aku memakai badut kesayanganku. Jika kalo dia hilang aku tidak bisa tidur.

Semalaman aku tidur bersama binatang bonekaku saja. Yang lumba-lumba. Itu namanya Gezy. Karena dia juga 'nyot-nyot.

Aku sayang kepada semua binatang atau boneka yang 'nyot-nyot'.

Selesai deh. Cerita dari Nabi Muhammad.



Ini dia badut kesayangan Khaira yang selalu menjadi teman tidur.









Pasti setelah membaca kisah BADUT KESAYANGANKU ini ada kata-kata yang membuat Anda bingung, ya kan? Salah satnya 'nyot-nyot'. Apa sih 'nyot-nyot' itu? 'Nyot-nyot' adalah istilah kami ketika Khaira sudah menggosok-gosokan kulitnya ke kain si badut. Menurut Khaira, kain di badut itu lembut dan enak buat digosok-gosokkan ke kulitnya.

Itu memang salah satu kebiasaan Khiara, menggosok kulit tangannya ke kain yang lembut. Nah, pada saat mengosok, mulut Khaira monyong seperti ikan maskoki. Kebiasaan seperti itulah yang kami sebut sebagai 'nyot-nyot'. Biasanya kalo Khaira sudah melakukan adegan 'nyot-nyot', itu tanda-tanda putri kami ini akan tidur. Tentu saja tidur dengan badut kesayangannya itu atau boneka yang bahan bakunya enak buat digosok-gosok oleh Khaira.

"SOALNYA KATANYA KEMAHALAN."

Kisah ini masih soal donat. Maklumlah, kisah soal donat dan bagaimana Khaira berjualan cukup menarik kami sebagai bahan obrolan keluarga. Lebih dari itu, penjualan donat yang Khaira lakukan ini adalah baru pertama kali. Beda sama kakaknya, Anjani, yang sudah berkali-kali jualan kue buatan istri saya tercinta.

"Pap, tahu nggak? tadi bu Lina juga beli donat," kata Khaira.

"Oh ya? Wow?! Luar biasa banget! Hebat! Lalu temen-teman adik gimana?" tanya saya penasaran. Hebat banget Khaira bisa menawarkan jualan donatnya ke bu Lina. Oh iya, bu Lina ini adalah guru kelas Khaira.

"Widian nggak jadi beli, Pap," ucap Khaira.

"Lho kenapa?"

"Nggak tahu! Sebenarnya Levina mau beli, tapi dia nggak masuk."

Widian itu adalah teman sekelas Khaira yang beberapa hari sebelumnya tertarik buat membeli donat. Sedangkan Levina juga teman sekelas Khaira. Beda dengan Widian, kalo Levina sudah bayar Rp 2.000 buat beli donat. Ingat kisah saya sebelum ini kan? Dimana Khaira menerima uang Rp 2.000 dari Levina dan uangnya langsung masuk celengannya tanpa menyetor terlebih dahulu ke istri saya?

"Lalu siapa lagi yang beli donat adik?"

"Oh, Salma. OK. Salma beli berapa donat?"

"Salma ambil 5 donat."

"Wow, hebat sekali! Terus Salma bayar berapa dik?"

"Dua ribu."

"Lho, kenapa dua ribu? Harusnya kalo ambil lima donat bayarnya kan lima ribu? Adik tahu kan hitung-hitungannya?"

"Iya, adik tahu. Satu donat seribu, kalo lima donat limaribu. Tapi kata Salma, bayarnya dua ribu aja, soalnya katanya kemahalan kalo bayar 5000."

Walah! Ada-ada saja!

UANG DONATNYA DIMANA, DIK?

Tibalah hari Senin. Hari ini, Khaira sudah membawa donat yang sudah dibuatkan oleh istri saya. Ada sekitar dua kardus yang Khaira bawa, dimana masing-masing kardus berisi 5 donat.

"Hari ini adik jualan donat dong ya?" goda saya. "Moga-moga laku ya, Dik?"

Khaira cuma tersenyum. Nggak menjawab sepatah kata pun. Entahlah, nggak biasanya ia begitu. Padahal saya nggak sedang 'marahan' dengan putri kami ini, begitu pula dengan istri saya. Sebelum saya mencoba bertanya kayak begitu, saya nggak membuat Khaira bete, kok.

"Yang sudah bayar donat siapa aja, Dik?" tanya istri saya, yang seperti biasa duduk di kursi belakang di mobil kami.

"Levina," jawab Khaira singkat.

"Bayar berapa, Dik?" tanya istri saya lagi.

"Dua ribu."

"Lalu Adik mau kasih berapa donat ke Levina nanti?"

"Tiga donat," ucap Khaira.

"Lho, kok tiga donat? Kan harga satu donat 1000 rupiah, Dik? Kalo harga donat 1000 rupiah, berarti kalo 3 donat berapa, Dik?"

"Tiga ribu."

Matematika Khaira memang jago. Kami kira ia nggak mengerti hitung-hitungan soal donat di atas tadi. Kami pikir Levina enak sekali bisa mendapatkan tiga donat, tetapi bayarnya cuma Rp 2.000. Boro-boro mikirin untung, biaya produksi bikin donat nggak bakal nutup.

"Berarti nanti Levina kurang 1000 rupiah ya, Dik. Nanti adik bilang Levina ya?"

"Ya, Ma."

"Ngomong-ngomong tadi kan adik bilang Levina sudah ngasih uang 2000 ke adik. Nah, terus uang duaribu untuk beli donatnya ada dimana, Dik?"

"Dimasukkan ke tabungan adik."

Seketika kami tertawa terbahak-bahak. Mungkin buat Anda nggak lucu, tetapi kalo mendengar jawaban Khaira yang spontan soal duinya Levina, Anda pasti ngakak, apalagi melihat wajah polos Khaira. Dimana ia nggak ngerti kalo setiap menjual kue itu harus menyisihkan biaya produksi dan keuntungan. Ia nggak tahu kalo uang dari Levina itu harus diberikan dulu pada istri yang sebagai pembuat kue, baru setelah itu honor buat Khaira sebagai penjual diberikan. Khaira, Khaira, lucu banget sih kamu!

Sabtu, 20 Maret 2010

MAKSA BIKIN DONAT

Hari ini hari Jum'at. Seperti sekolah-sekolah lain, hari Jum'at merupakan hari terakhir anak sekolah belajar. Begitu pula buat Khaira. Memang sih ada sebagian sekolah yang belum meliburkan muridnya alias Sabtu masih masuk.

Biasanya kalo sudah masuk Jum'at, kedua anak kami langsung tanya: "Besok kita liburan kemana, Pap-Ma?" atau "Besok makan atau pergi ke mal mana, Pap-Ma?" Ya, biasalah, kalo kami nggak merencanakan pergi ke luar kota, biasanya weekend kami isi dengan jalan-jalan seperti kebanyakan keluarga. Kalo nggak ke makan di restoran, belanja di mal, atau liburan yang bermanfaat kayak ke museum.

Anehnya, weekend kali ini mereka nggak tanya begitu, khususnya Khaira. Putri kedua kami justru punya rencana lain. Apa itu?

"Ma, besok bikin donat ya?" tanya Khaira.

Lho, kok tiba-tiba minta dibikinin donat ya? Padahal hari sebelumnya kami nggak pergi ke J-co atau Dunkin Donnats yang harganya lebih mahal itu. Memang biasanya kalo kita habis pergi ke restoran, ada saja inspirasi untuk membuat makanan sesuai restoran itu. Misalnya ke Pizza Hut, baik Anjani maupun Khaira minta dibuatkan pizza atau spaghetty. Atau ke restoran ayam bakar, mereka minta dibuatkan babi bakar, eh salah ayam bakar. Maklumlah, istri saya jago masak. Jadi, mumpung jago masak, ya istri saya 'dikerjain' sama anak-anak buat urusan eksperiment masakan.

"Soalnya temen-temen ade ada yang pesen donat," tambah Khaira lagi.

Kalo istri saya harus bikin donat hari Sabtu, padahal hari Sabtu sekolah Khaira libur, maka donatnya jadi nggak enak. Jadi basi. Hal inilah yang coba ingin dijelaskan istri saya pada Khaira.

"Nggak bisa sayang," ucap istri saya. "Besok Minggu ya bikin donatnya?"

"Kalo begitu Mama tidur dulu aja, nanti malam bangun lagi buat bikin donat ya?" atur Khaira yang masih juga nggak mengerti.

"Nggak bisa sayang. Donat itu nggak bisa lama-lama. Nanti donatnya basi. Masa temen-temen adik mau dikasih donat basi?"

"Kalo begitu Mama bikin donatnya pagi-pagi aja," ucap Khaira masih maksa. Yang dimaksud pagi-pagi adalah hari Jum'at pagi.

"Nggak bisa sayang. Bikin donat itu nggak bisa sebentar. Nanti kalo pagi bikin donat, Mama nggak bisa antar adik dong?"

Obrolan soal donat pun berakhir. Kami sudah mengantarkan Anjani dan Khaira ke sekolah, setelah itu kami pergi kerja. Seperti biasa, sebagai suami yang baik (ehem!), saya antar istri terlebih dahulu, baru ngurusin urusan saya.

Beberapa jam kemudian. Biasanya di film kalo mempercepat durasi pakai kalimat seperti itu kan? Misalnya NEXT 2 YEAR atau AFTER 3 YEARS LATER. Nah, khusus kisah donat ini, saya pakai kalimat: BEBERAPA JAM KEMUDIAN.

Sore hari sepulang kerja, saya bejumpa lagi dengan Khaira. Eh, kok pakai kata-kata 'lagi' ya? Harusnya kan nggak usah? Wong pasti ketemu tiapa hari. Maksudnya pulang kerja orang pertama ketemu adalah putri saya ini yang bernama Khaira. Belum juga bernafas dengan teratur, Khaira langsung menodong saya.

"Pap, besok bantu Mama bikin donat ya?" ajak Khaira. "Soalnya teman-teman adik banyak yang pesan, nih."

Duh, maksa banget sih nih Khaira. Nggak lihat Papa-nya masih ngos-ngosan pulang kerja kali ya? MAsih persoalan donat pula! Nggak istri saya, saya pun jadi dipaksa buat bantu bikin donat. Padahal saya tahu, bikin donatnya bukan hari Sabtu besok, tetapi masih lusa.

Untunglah kami punya jatah kesabaran lebih dari 1 juta. Tiap dipaksa oleh anak-anak kami, nggak pernah marah-marah atau protes. Desakan atau paksaan dari anak kami, kami tanggapi dengan senyum. Namanya juga anak-anak. Kadang mereka belum ngerti kalo sesuatu hal itu nggak bisa diburu-buru. Kudu direncanakan dengan matang.

Minggu, 14 Maret 2010

MAIN PASIR DI ANCOL

Tiba-tiba saja Khaira ingin main pasir. Keinginan ini terus terang sudah lama nggak saya dengar. Saya nggak tahu angin ribut apa yang membuat putri kedua kami ini nafsu banget ingin main pasir.

"Coba tanya Papa sana," kata istri saya pada Khaira.

Setiap kali salah satu anak kami ingin minta sesuatu atau ingin pergi ke tempat mana pun, selalu minta izin terlebih dahulu. Tergantung siapa orang yang pertama kali diajak bicara. Kalo yang pertama kali diajak bicara adalah saya, maka saya minya anak saya tanya ke istri saya. Sebaliknya begitu, kalo anak saya bicara dengan istri, maka saya yang akan ditanya terakhir.

"Boleh nggak adik main pasir di Ancol, Pap?"


Saya ingin sekali membuat goyonan begitu Khaira memohon kayak begitu. Saya ingin bilang, kenapa harus di Ancol? Main pasir kan nggak harus pergi ke Ancol. Main pasir bisa di toko matrial yang jual pasir. Kita bisa pergi ke situ dan main pasir di toko itu. Tetapi itu tergantu dari izin si pemilik matrial, diizinkan atau malah diusir. Yang pasti sih nggak mungkin diizinkan.

Baiklah kalo nggak diizinkan main pasir di toko material, gimana kalo saya belikan pasir di toko matrial segerobak lalu pasir diletakkan di halaman saya? Itu juga kayaknya nggak membantu ya? Masa halaman rumah saya yang asri itu mau ditimbun pasir? Kayaknya nggak ok banget, deh! Oleh karena nggak berkutik lagi, ya kayaknya Ancol jadi pilihan terakhir.

"Baiklah! Besok kita ke Ancol ya..."

Jauh sebelum permohonan main pasir ini, sebetulnya kita sempat melakukan hal yang sama. Tetapi peristiwa itu sudah lama sekali. Ya, kira-kira ada sekitar 200 tahun yang lalu. Eh, becanda kali! Nggak mungkin 200 tahun, wong kita aja umurnya belum sampai segitu dan kayaknya nggak mungkin. Lagipula 200 tahun yang lalu Ancol belum seperti sekarang. Masih jadi tempat jin buang anak.

Akhirnya sampailah juga kita di Ancol. Ketika kami ke Ancol, kendaraan di pintu masuk belum sepadat biasanya. Maklum, barangkali hari masih terlalu pagi buat mereka yang berrekreasi ke Ancol. Waktu di jam tangan istri baru menunjukan pukul 09.45 wib.

Seperti orang yang sedang merindu, begitu menginjakkan kaki di pantai Ancol, Khaira langsung berlari munuju pasir putih. Bersama Anjani dan asisten kami Ayeh, mereka membuat istana pasir. Mumpung mereka fokus pada permainan pasir-pasiran itu, kesempatan saya dan istri buat pacaran. Hahaha, menikmati angin Ancol yang sepoi-sepoi. Widih! Romantis banget! Kayak di Bali gitu, euy!

KUNJUNGAN SALMA KE RUMAH

Salma adalah teman sekelas Khaira yang paling akrab. Saking akrabnya, dua anak ini nggak bisa dipisahkan satu sama lain. Ibarat pepatah, ada gula ada semut. Ada Khaira ada semut. Eh, salah! Maksudnya dimana ada Khaira, ya di situ pasti ada Salma.

Sejarah bagaimana mereka menjadi akrab sebenarnya tejadi baru lebih dari setahun ini, ya ketika Khaira dan Salma selalu satu kelas di TK At-Taqwa, Rawamangun, Jakarta Timur, yakni dari kelas A1 dan sekarang di B2.


Khaira dan Salma sedang mengisi soal yang saya buat di whiteboard.

Di dalam kelas, mereka berdua selalu satu meja. Nggak cuma semeja, tetapi juga selalu bergandengan kalo jalan. Kebetulan ukuran tubuh mereka sama. Yang nggak kompak cuma celana dalam. Nggak mungkin kan celana dalam mereka sama? Misalnya kalo Salma pakai celana dalam warna pink, Khaira kudu menyamakan celana dalamnya dengan warna pink. Atau tuker-tekeran. Ah, itu mah najis tralala!

Sabtu ini, rumah kami kedatangan Salma. Mamanya mengantarkan Salma pagi-pagi. Oleh karena Salma mau datang pagi-pagi, Khaira membangunkan kami pagi-pagi juga. Sebetulnya setiap hari kami memang bangun pagi-pagi. Kami bangun 4.35 wib. Tetapi hari, hari dimana kami harus bangun pagi-pagi juga kebetulan hari Sabtu.

Buat kami, Sabtu harus menjadi satu dari tujuh hari yang menjadi hari 'termalas' di seluruh dunia, khususnya di pagi hari. Kita memang tetap sholat Subuh, tetapi habis sholat Subuh, ya tidur lagi, bo! Sampai waktu yang ditentukan. Nggak olahraga? Kalo Sabtu jarang berolahraga, tetapi kalo Minggu, itu wajib! Nah, ketika Khaira meminta kami bangun pagi di hari Sabtu, bukan main sebal rasanya.

"Masih pagi, Dik," jawab saya di atas ranjang, dengan intonasi malas.

"Salma mau datang, Pap," ucap Khaira.

"Lalu kenapa?"

"Adik mau mandi dan kita harus menyambut Salma."

Busyet! Nih anak sok ngatur amat ya? Kecil-kecil sudah ngatur Papa dan Mama-nya. Pake acara menyambut Salma segala pula. Tapi sebagai Papa yang mencoba baik, saya kudu menghormati anak saya yang ingin menghormati kedatangan sahabatnya itu. Ya, terpaksa saya ber-rock n roll lagi deh! Maksudnya, mandi pagi di hari Sabtu nan cerah ceria.

Salma pun datang. Eng ing eng!

Setiap kali teman-teman anak saya datang ke rumah, saya dan istri selalu berusaha menjadi temen-teman mereka juga. Ini memang strategi saya supaya kami bisa dekat dengan mereka, begitu juga sebaliknya. Alhamdulillah, kehadiran kami nggak menganggu mereka.

Ketika Salma datang, saya pun berusaha menjadi teman Salma. Khaira antusias banget menjadikan saya partner saat bermain, begitu juga Salma. Kadang saya pun membuat permainan yang mencoba mengajak mereka berinteraksi. Bermain sambil belajar.

"Sekarang cepat-cepatan isi soal ya?" ajak saya. "Siapa yang cepat, jadi juara."

Dan saya pun membuat soal di whiteboard, yakni sebuah hitung-hitungan sederhana. Baik Khaira maupun Salma diberikan spidol masing-masing untuk mengisi hitung-hitungan sederhana yang saya buat.

Saya juga membuat permainan lain, yakni tebak-tebakan meniru salah satu program di Disney Channel, yakni memasang-pasangkan gambar yang tepat. Di sebelah kiri misalnya gambar payung, sedang gambar di sebelah kanan gambar awan yang ada air hujan. Nah, kalo kedua gambar itu tepat, maka ditarik garis ke gambar yang tepat itu.

Seru, pokoknya main dengan teman-temannya anak kami! Ya, meski kadang saya sebagai orangtua harus ikutan joged ala High School Musical, saya nggak peduli, yang penting bisa dekat dengan mereka.

Minggu, 07 Maret 2010

HORE! ADIK JUARA!

Setelah mengidam-idamkan piala, akhirnya Khaira dapat juga. Tarian yang ia dan teman-teman di sekolahnya tarikan di Ancol, berhasil meraih juara. Nggak tanggung-tanggung, juara pertama, bo! Bukan se-Jakarta Timur, Pusat, atau Selatan. Tetapi juara tari tingkat Jakarta. Luar biasa, bukan?!

Sebenarnya kemenangan ini sudah diprediksi. Setidaknya ada dua prediksi yang menguatkan sekolah TK At-Taqwa menjadi juara. Pertama, guru tarinya membuat strategi yang nggak terpikirkan oleh kami sebagai orangtua murid. Perlu diketahui, TK At-Taqwa mengirimkan dua tarian. Nah, kedua tarian ini dipisahkan dalam dua panggung berbeda.


Piala Khaira dan teman-temannya nari di Ancol. Akhirnya impian menjadi kenyataan, punya piala, euy!

Prediksi kedua, tentu saja anggota penari sudah cukup berlatih menarinya. Setiap hari, mulai Senin sampai Jumat, setelah selesai sekolah sekitar pukul 10.30 wib, mereka berlatih.

"Ibu-ibu yang nonton takjub. Anak-anak menari dengan penuh semangat dan percaya diri," ujar istri mengomentari tarian yang bawakan Khaira beserta teman-temannya di Ancol dalam rangka Bina Prestasi se-Jabotabek ini.



Piala itu kini dipajang di samping piala Anjani, yang kebetulan piala kejuaraan menari juga saat Anjani di TK Ar-Rahman, Kuningan dahulu kala. Sebenarnya piala Anjani itulah yang menjadi salah satu motivasi Khaira buat terus menari dan mendapatkan piala. Alhamdulillah, impian putri kedua kami ini terwujud juga.

"Nanti kalo piala adik nggak cukup, pialanya ditaro dimana, Pap?" tanya Khaira.


Piala Khaira (kiri) dan piala Anjani (kanan). Dua-duanya piala dari lomba tari. Kebetulan istri saya memang mantan penari profesional.

Lucu juga anak ini, baru dapat satu piala, sudah menghayal akan mendapatkan beberapa piala lagi dan menurutnya nggak akan ada tempat lagi buat meletakkan piala-piala itu.

"Adik ikut lomba aja terus dan dapat piala, baru nanti Papa dan Mama pikirkan akan meletakkan piala-piala adik, ya?" ujar saya mencoba bernegoisasi.

"Iya, tapi piala-piala adik nanti ditaro dimana?"

Halah! Cape, deh!

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Kamis, 04 Maret 2010

IKANNYA MATI, PAP...

"Papa, adik dapat ikan," kata Khaira dari seberang telepon.

Ikan? Saya heran. Benar-benar heran. Setahu saya pagi tadi Khaira pergi ke sekolah, bukan memancing atau menjala ikan di laut. Oh iya, bukan cuma ke sekolah, tetapi melakukan outbond di Cibubur, tepatnya di Telaga Arwana Cibubur (TAC). Tapi kenapa bisa dapat ikan ya?

"Pokoknya papa cepat pulang ya?"

Lucu juga putri kedua saya ini. Kebiasaannya memang begitu. Setiap ada sesuatu yang akan ditunjukan pada saya, saya selalu didesak buat segera pulang ke rumah. Nggak cuma perkara ada ikan ini, tetapi sebelum-sebelumnya, ia juga sempat mendesak saya pulang dari kantor buat melihat apa yang akan ia tunjukan ke saya.

"Oh iya, kalo pulang jangan lupa bawa makanan ikan ya, Pap," pinta Khaira.

"Baik sayang," jawab saya.



Saya membayangkan, Khaira sedang menikmati ikan yang saat ini menjadi 'tamu' di rumah kami. Ia memercikkan air di bak agar ikannya bisa kesana kemari. Ketika telepon, saya lupa menanyakan jenis ikan yang ada di rumah. Tapi, ah, kayaknya nggak penting juga, karena Khaira pasti nggak ngerti. Buat dia, jenis ikan apapun ya namanya tetap ikan. Maklumlah, anak 5 tahun. What do we expect? Yang penting jangan ikan hiu atau ikan lele aja.

Sayang seribu kali sayang, ternyata saya nggak bisa memenuhi janji. Saya nggak bisa pulang cepat. Ada beberapa pekerjaan yang kudu saya selesaikan di kantor. Terlalu malam pula saya ngecek ikan yang digembar-gemborkan oleh Khaira. Ya, terpaksa pagi harinya saya ingin melihat ikan itu.

Penasaran juga sih. Ikannya kira-kira seperti apa ya? Gedekah? Kerenkah? Benar-benar penasaran. Tapi ya nggak bisa melakukan apa-apa selain menunggu pagi hari dan melihat dengan jelas ikan itu.

Kukuruyuuuuuuukkk!!!!

Saya buru-buru menjumpai Khaira. Sebelum saya mengantarnya ke sekolah, ia harus mengajak saya melihat ikan itu.

"Mana ikannya, Dik?" tanya saya.

"Papa bawa makanan ikannya nggak?" tanya Khaira balik.

"Maaf ya, Dik, Papa nggak sempat beli. Tapi nanti Papa pasti beli, deh. Tapi sekarang Papa mau lihat ikannya. Dimana ikannya, Dik?"

"Ikannya mati, Pap," ujar Khaira.

Selasa, 02 Maret 2010

DUA PRIA DI ANTARA 15 IBU

Setidaknya judul di atas menggambarkan kejadian hari ini. Bahwa saya adalah salah seorang bapak dari dua bapak yang hadir menyaksikan anak kami menari di Taman Impian Jaya Ancol di Selasa ini. Saya dan seorang bapak, berada di antara 15 ibu yang mendampingi anak mereka menari.

Banggakah?

Pastilah! Saya berani jamin, semua anak ingin orangtua mereka melihat diri mereka tampil dalam suatu aktivitas, entah itu pertandingan olahraga atau pentas seni. Bukan cuma pada saat Sabtu atau Minggu, tapi pada saat weekdays, mereka ingin papa dan mama mereka eksis. Alhamdulillah, saya dan istri berhasil melihat Khaira tampil dalam sebuah perlombaan tari. Bukan main wajahnya ketika kami berdua ada dan melihat ia berlanggak-lenggok di panggung Pasar Seni Ancol.


Saya (berkacamata) menjadi supir teman-teman Khaira yang hendak berlaga di lomba nari Ancol.

Buat kami, sebisa mungkin setiap event 'besar', seperti perlombaan olahraga atau pentas seni, kami prioritaskan buat hadir berdua. Apalagi kalo pada saat menerima rapot, wah kami kudu hadir berdua lah yau. Nggak ada acara yang lebih penting daripada menerima raport anak. Nggak ada pekerjaan lebih utama ketimbang hadir ke sekolah buat mengambil raport. Sebab, kami ingin sama-sama mendengar apa kelebihan dan kekurangan anak kami.

Hari ini, pentas seni, dimana Khaira dan kewan-kawannya akan berlomba dengan sekolah-sekolah lain. Tentu jadwal menari sudah diketahui kami jauh-jauh hari. Itulah mengapa kami sudah siap sedia datang. Kebetulan saya bisa punya waktu setengah hari, dan istri kebetulan cuti. Kalo misal nggak mendapatkan izin dari atasan, kami tetap berusaha buat hadir melihat Khaira manggung. Kami yakin, kehadiran kami lebih penting daripada sekadar mendapatkan uang. Ngapain juga cari uang buat anak, sementara event yang dibutuhkan kehadiran kita nggak bisa kita berikan pada anak kita?

Seru! Seru banget! Sebelum pentas pun banyak kejadian yang bikin saya terharu plus bangga. Bahwa ternyata saya sangat dicintai oleh Khaira. Bahwa ia tahu siapa bapak-nya, apa kebiasaan saya, tingkah laku saya, dan mengenai saya, saya, dan saya lain.

"Papaku mah suka foto," kata Khaira pada teman-temannya di dalam mobil.

Pagi itu, mobil kami memang ditumpangi oleh teman-temannya Khaira. Ada tujuh orang yang ada di dalam mobil kami. Saya dan istri di bangku depan. Di bangku tengah ada empat orang anak, termasuk Khaira. Sisanya di bangku belakang ada tiga orang anak. Semua anak berjenis kelamin wanita. Mereka sudah didandani dengan memakai kostum tari.




Dalam perjalanan, saya sengaja menghidupkan CD yang berisi lagu-lagu anak. Eh, rupanya lagu itu menarik minat anak-anak menyanyi. Memang sih ada yang malu-malu, nggak menyanyi. Tapi dari ketujuh anak, rata-rata menyanyi. Nggak heran, di dalam mobil terjadi kehebohan yang luar biasa. Heboh yang dimaksud adalah berisik saudara-saudara. Tetapi saya suka. Kami suka kehebohan itu, karena dengan begitu mobil kami menjadi bermakna. Maksudnya apa ya?

Entah kenapa, tiba-tiba di tengah mereka menyanyi, kostum salah seorang teman Khaira copot. Kalo nggak salah kerudungnya deh. Nah, kebetulan kami nggak bisa membantu membetulkan. Maklumlah, mobil sedang melaju, sehingga butuh konsentrasi. Eh, Khaira mengluarkan kata-kata yang buat saya sangat menyejukan dan saya yakin kata-kata itu jujur, keluar dari hatinya.

"Nanti aja dibenerin kostumnya sama papaku," ujar Khaira. "Papaku kan jago!"

Terus terang saya nggak berpikir kata 'jago' yang anak kami maksud adalah saya mirip ayam jago. Atau saya sering minum jamu cap jago. Saya percaya, kata 'jago' yang Khaira maksud ya, saya adalah papa yang membanggakan buatnya. Widih! Kok narsis ya? Ah, terserahlah. Anda nggak boleh ngiri, tetapi Anda pasti bisa dan jauh lebih 'jago' dari saya.


Anyway, kata 'jago' sungguh memotivasi saya sebagai papa dari anak-anak kami, Anjani (11 tahun) dan Khaira (5 tahun). Mereka adalah bidadari kecil kami yang luar biasa. Jadi sungguh sangat sedih kalo kami menyia-yiakan mereka. Itulah mengapa kami bela-belain melihat dari dekat Khaira pentas. Dan rupaya kehadiran kami memotivasinya pada saat menari. Khaira menari dengan sangat luar biasa.

"Tapi adik belum dikasih piala, Pap," ujar Khaira polos.

Dalam hati saya berkata: "It's ok, nak. Tampilnya kamu di atas pentas, menari dengan penuh semangat, adalah jauh lebih berharga dari sekadar piala."

Bukankah piala bisa kita beli?