Selasa, 12 Oktober 2010

KALO MEMANG REZEKI PASTI BAKAL PERGI NONTON SHINee dan San-Ho-Young

Begitu tiba di rumah, Anjani langsung menutup pintu kamar dan menangis tersedu-sedu. Hanya itu yang bisa dilakukan oleh putri kami, setelah mengetahui kami tidak bisa mendapatkan tiket dari TVRI. Tiket nonton konser musik SHINee dan San-Ho-Young di Senayan Tenis Indoor Stadium malam ini (Selasa/ 12/10).

Sejak Sabtu, Anjani sudah exiting banget ingin menonton konser pujaan hatinya itu. Makumlah SHINee dan Son-Ho-Young sudah dikenal olehnya cukup lama. Sekadar info buat Anda yang belum mengenal, bahwa SHINee adalah boys band asal Korea Selatan yang beraliran R&B kontemporer. Band yang dibentuk SM Entertainment pada tahun 2008 ini terdiri dari Onew, Jonghyun, Key, Minho, dan Taemin. Mereka pertama kali manggung pada 25 Mei 2008 di acara Popular Songs di SBS. Mereka membawakan singel promosi berjudul Nunan Neomu Yeppeo.

Di kalangan anak muda, SHINee ngetop banget. Ini gara-gara lagu dan gaya mereka berbusana. Dengan kostum warna-warni hasil rancangan desainer Ha Sang Baek, SHINee menggenakan sepatu kets hingga mata kaki, jins ketat, dan baju hangat. Anak-anak muda banyak yang meniru gaya berpakaian ala SHINee yang disebut media massa sebagai "tren SHINee".

Son-Ho-Young adalah seorang penyanyi pop yang sebelumnya tergabung dalam sebuah grup band. Pria kelahiran 26 March 1980 di New Jersey, Amerika Serikat ini mengeluarkan album pertama berjudul YES (2006), dimana menghasilkan beberapa single hits, yakni I Know, Crying, YES, dan Love Brings Separation.

Pada tahun 2007, Son mengeluarkan album lagi berjudul Sweet Love. Album ini menelurkan lagu My Heart in Heaven. Setahun berikutnya, ia mengeluatkan album berjudul Returns.

Nah, dalam rangka Indonesia Korea Week 11-16 Oktober 2010 ini, airang membuat kuis buat fans SHINee dan Son-Ho-Young. Mereka yang menang, akan mendapatkan dua tiket gratis Indonesia-Korea Friendship Sharing Concert 2010 yang berlangsung di Tennis Indoor, Senayan, Jakarta.

Sabtu malam, tiba-tiba putri saya berjingkak-jingkrak kegirangan. Ia bukan tidak waras atau baru saja minum obat. Tetapi rupanya ia menang kuis, dimana hadiahnya mendapatkan dua tiket gratis menonton SHINee dan Son-Ho-Young. Saya langsung memberi ucapan selamat.

“Tapi Anja terlambat mengambil tiketnya,” ujar putri saya ini.

Saya perhatikan di e-mail Airang, pengambilan tiket dilakukan di +Tvri Jakarta pada Sabtu pukul 10-17 WIB. Sementara ketika Anjani berjingkrak-jingkrak, waktu sudah menunjukan pukul 20:00 WIB. Saya mencoba membantu menghubungi TVRI, tetapi tidak diangkat. Oh iya, pasti Anda bertanya-tanya kenapa ada TVRI? Dalam event Indonesia Korea Week 2010 ini rupanya Kedutaan Besar Korea bekerjasama dengan televisi pemeritah ini, termasuk menjadi koordinator pembagian tiket gratis ke pemenang kuis yang dibuat oleh Airang.

Brengseknya TVRI, para pemenang tersebut tidak dikirimkan e-mail atau surat. Padahal para pemenang tersebut memiliki e-mail dan mengirimkan biodata resmi. Mereka yang menang, termasuk putri kami, harus aktif mengecek di website. Bahkan putri kami ini tak akan pernah tahu kalo saja temannya memberi tahu lewat FB.

“Selamat ya kamu menang,” tulis teman Anjani di akun FB.

“Menang apa?” tanya Anjani heran.

“Lho, memangnya kamu nggak tahu? Nama kamu ada di daftar pemenang tiket gratis,” ujar teman Anjani.

Sejak Sabtu dan Minggu, yang ada di pikiran Anjani adalah tiket. Saya mengerti sekali, betapa sedihnya ia kalo tidak bisa mendapatkan tiket. Saya yakin, keterlambatan mengetahui hari dan jam pengambilan tiket, bukan 100% kesalahan dirinya. Sekali lagi, sebagian karena TVRI yang menurut saya tidak menjalankan fungsinya. Lho kok menyalahkan TVRI?

Seperti yang sudah saya jelaskan tadi, bahwa seharusnya TVRI mengirimkan e-mail kepada seluruh pemenang. Hal tersebut supaya mereka yang sudah mengikuti kuis tahu: menang atau kalah. Tetapi saya mengerti kenapa TVRI melakukan itu. Sebab, oknum ingin memanfaatkan tiket-tiket yang tidak diambil oleh para pemenang. Ini memang cukup tendensius, tetapi saya berkeyakinan seperti itu. Lalu untuk apa tiket-tiket itu? Tentu saja bisa dimanfaatkan oleh karyawan-karyawan TVRI yang mau nonton konser atau bisa saja dijual.

“Aku mau deh beli tiket. Limaratus ribu juga mau aku bayar,” ujar salah seorang teman di Tweeter.

Di Senin, saya dan istri nekad pergi ke TVRI. Saya bertekad, bagaimana caranya dua tiket gratis tersebut bisa saya dapatkan dan persembahkan pada putri kami. Saya sudah menyiapkan cara-cara jika di TVRI kami dipersulit. Sementara pada Anjani, saya cuma berpesan.

“Kalo tiket itu rejeki kamu, pasti kamu akan nonton konser,” ujar saya memberi motivasi.

Tiba di kantor TVRI, saya langsung berjumpa dengan seorang ibu karyawan TVRI. Kami langsung menjelaskan maksud dan tujuan. Sambil menyerahkan bukti berupa Kartu Pelajar milik anak kami, ibu itu kemudian membuka lembaran daftar para pemenang.

Rupanya bukan cuma Anjani yang belum mengambil tiket gratis. Masih ada banyak pemenang yang belum mengambil. Saya yakin, mereka tersebut tidak tahu, karena tidak diberitahu oleh TVRI kalau memenangkan tiket gratis. Nasib mereka sama dengan Anjani. Kalau saja tidak ada teman-teman mereka yang memberitahu, para pemenang itu pasti tidak tahu dan tidak akan menyaksikan konser SHINee dan Son-Ho-Young.

“Lho, kita nggak jadi ke TVRI, Ma?” tanya Anjani pada istri saya.

Kebetulan pada hari Minggu, sehabis pulang sekolah Anjani ingin diantar ke TVRI untuk menanyakan tiket. Namun hari Senin kemarin, sehabis Anjani pulang sekolah, kami tidak segera mengantarkannya ke TVRI. Kami justru meluncurkan mobil kami pulang ke rumah. Itulah yang membuat Anjani heran.

Setelah kami jelaskan, Anjani nampak sedih. Hal tersebut bisa kami lihat dari wajahnya. Tak heran begitu turun dari mobil, ia langsung melangkahkan kakinya dengan cepat masuk ke rumah dan menuju kamarnya. Pintu kamar kemudian ditutup dan ia mengangis sejadi-jadinya.

Istri saya kemudian melemparkan amplop putih melalui bawah pintu kamar Anjani.

“Kak, tuh ada amplop. Kamu nggak mau lihat?” pancing istri saya.

Anjani kemudian membuka. Seketika ia pun terkejut. Matanya mendelik. Mulutnya mengangga. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Alhamdulillah! Akhirnya aku nonton konser juga! Terima kasih Ma! Terima kasih Pa!”

Malam ini, putri kami sedang menikmati konser idolanya. Ini adalah konser pertamanya yang ia tonton. Sebelumnya, di pagi hari, wajah Anjani sudah sumringah. Semua teman-teman sekolahnya tahu, kalau Anjani adalah satu-satunya murid di sekolahnya yang mendapatkan tiket gratis nonton konser SHINee dan Son-Ho-Young. Padahal banyak temannya yang berharap bisa nonton, karena mereka juga fans berat SHINee dan Son-Ho-Young.

“Aduh, coba aku yang dapat, pasti bisa nonton, deh,” ujar salah seorang teman Anjani.

“Kamu nonton dengan siapa, Nja? Nonton dengan aku dong,” pinta teman Anjani lain mencoba merayu.

Sabtu, 02 Oktober 2010

BULLYING DALAM KARYA "KECIL-KECIL PUNYA KARYA"

“Kamu, tuh, tikusnya!” jawab Aurell.
“Kamu punya otak, enggak? Kalau punya, letaknya di mana?” ejek Farhan lagi.
“Punya! Di kaki! Puas kamu!” jawab Aurell kesal.
“Oh, pantesan beloon banget! Puas!” balas Farhan.


Penggalan dialog itu saya ambil dari buku seri Kecil-Kecil Punya Karya karya Maryam (12 tahun) berjudul SheKeFaRellOr. Anda sudah baca? Atau anak Anda sudah punya koleksi salah satu seri Kecil-Kecil Punya Karya terbitan DarMizan ini? Saya tidak tahu dengan Anda, tetapi saya pribadi kaget bukan kepalang ketika membaca buku ini. Kalimat-kalimat yang dibuat sang pengarang banyak negatif. Yang paling sering kata “O’ON” sebagai kependekan dari kata “BLOON” dan kata “KUTU KUPRET” yang mengganti panggilan untuk tokoh Diva.

Saya tidak habis pikir,-barangkali saya juga terlalu naif kali ya?- anak usia 12 tahun seperti Maryam sudah fasih mengelontorkan kalimat-kalimat negatif seperti itu. Padahal pengarang cilik ini berguru di sekolah yang relatif baik: Bina Islamic Boarding School, Bekasi, dimana pasti guru-guru mengajarkan hal-ha yang positif, sehingga murid-murid juga turut baik. Tentu kalimat-kalimat yang ada di buku SheKeFaRellOr berasal dari apa yang ia dengar dan rasakan.

Saya juga tidak habis pikir, mengapa DarMizan meloloskan salah satu seri Kecil-Kecil Punya Karya kisah yang kalimat-kaimatnya banyak negatif ini? Coba perhatikan lagi di halaman lain, yakni halaman 32.

“Oh, iya…kenapa aku jadi o’on begini ya?” gumam Kevin..
“Hi, Kev…! Memang sudah dari dulu kamu itu o’on!” celetuk Farhan..
“Yeee…! Kamu, tuh…dari lahir sudah jelek!” balas Kevin kesal.
“Huuu…! Kamu juga dari zaman purba sudah o’on kayak begitu,” sanggah Farhan.


Saya mengerti sekali, Maryam sekadar bermasksud ingin membuat cerita di situ sebagai upaya becanda antarteman, namun editor atau penerbit DarMizan harusnya mengerti, bahwa segmen pembaca Kecil-Kecil Punya Karya ini anak-anak. Bayangkan jika maksud hati menerbitkan buku yang edukatif, eh misinya tidak tercapai.




Menurut Diena Haryana dari Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa), kata-kata caci-maki atau mengejek seperti yang ada di karya Maryam itu termasuk salah satu tindakan bullying. Bullying merupakan istilah yang memang belum cukup dikenal luas oleh masyarakat di Indonesia. Meski begitu, perilaku bullying sebenarnya sudah ada dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan di dalam institusi pendidikan.

Bullying atau tindakan yang membuat seseorang merasa teraniaya atau direndahkan. Menurut Andrew Mellor dari Antibullying Network University of Edinburgh, bullying bisa terjadi dalam bentuk verbal, fisik maupun mental, sehingga orang tersebut takut bila perilaku tersebut akan terjadi lagi. Di institusi sekolah, ini dilakukan oleh mayoritas orang, baik yang dilakukan sesama siswa, alumni atau bahkan guru. Sayangnya, kasus-kasus ini jarang menguak ke permukaan. Sebab, guru, orang tua, bahkan siswa belum memiliki kesadaran, kapan terjadinya bullying. Kalaupun terjadi, jarang sekali yang mau membicarakannya.

Pada tahun 2007, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengeluarkan data yang cukup mengejutkan. Pada tahun itu dilaporkan terjadi 555 kasus kekerasan terhadap anak, 11,8 persennya dilakukan oleh guru. Tahun berikutnya, tahun 2008, bahkan lebih parah. Dari 86 kasus kekerasan yang dilaporkan, 39 persennya dilakukan oleh guru.

Itu baru pelaporan kasus, sementara menurut Nina, Yayasan Sejiwa mencatat korban akibat tindak kekerasan dalam rentang 2002-2005 adalah sebanyak 30 kasus, baik korban bunuh diri maupun percobaan bunuh diri di kalangan anak dan remaja berusia 6 sampai 15 tahun.

Masa Orientasi Siswa (MOS), pelantikan OSIS, penerimaan anggota ekskul, cheerleaders, atau latihan dasar kepemimpinan yang ada di sekolah, merupakan ajang bullying. Biasanya alumni yang melakukan. Bentuknya bisa berupa permintaan kakak kelas pada adik kelas dengan cara menekan perasaan atau bahkan menyiksa fisik. Bahkan terakhir yang heboh adalah masa orientasi di Paskibra tingkat DKI Jakarta yang masih belum selesai kasusnya. Dilaporkan oleh beberapa anggota Paskibra tahun 2010, senior mereka telah melakukan tindakan pelecehan atau tindakan yang mempermalukan.

Menurut Ketua Yayasan Sejiwa yang aktif memerangi bullying Diena Haryana, bullying menjadi momok menyeramkan karena dampaknya bukan hanya dapat dirasakan sekarang juga namun bisa muncul beberapa tahun kemudian.

“Contohnya, dari salah satu anak SMA yang kami dampingi, dia ketika dibentak gurunya langsung pingsan dan berkata-kata tidak jelas. Setelah diselidiki, ternyata sewaktu SD dia pernah di-bully dengan sangat keras oleh gurunya. Sampai sekarang, dia masih perlu pendampingan,” ujar Nana.

Tambah Nana, bullying di sekolah merupakan embrio kekerasan di masyarakat. Namun, demi ’nama baik’, tidak lebih dari 0,1 persen sekolah di Jakarta yang mengakui kalau di sekolah mereka terjadi bullying.

Mau tambah contoh lagi soal kehebatan bullying?

Fifi Kusrini (13) ditemukan tewas gantung diri di kamar mandi pada Juli 2005. Menurut ayahnya, gadis yang tinggal di Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat itu tak kuasa menahan malu, karena seringkali diejek teman-temannya sebagai anak tukang bubur.

Akhir hidup yang tragis juga dialami oleh Linda (15). Siswi salah satu SLTPN di Jakarta kelas II ini ditemukan tewas gantung diri di kamar tidurnya. Menurut orangtua Linda, ia tewas gara-gara tertekan oleh ejekan teman-temannya di sekolah, karena tidak pernah naik kelas.

Meski tidak sampai tewas, hal yang sama sempat dialami oleh Riska (14). Gara-gara mengalami depresi, karena sering diejek ”gendut” oleh teman-temannya di sekolah, ia nekad hendak bunuh diri. Untung saja orangtuanya, pasangan Bramono dan Tari, segera mengetahui putrinya itu yang sudah siap meloncat dari jendela kamar lantai 11 apartemen.

”Ada sekitar 30 kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri di kalangan anak dan remaja berusia 6 sampai 15 tahun yang dilaporkan media massa tahun 2002-2005,” ujar Nana.

Back to seri Kecil-Kecil Punya Karya berjudul SheKeFaRellOr karya Maryam (12 tahun) di atas tadi. Sebenarnya kalo saja penerbit atau editor DarMizan bisa lebih selektif, barangkali karya Maryam tersebut tidak akan lolos. Ya, at least kalimat-kalimat yang bernama bullying tersebut dieditlah. Toh, judul-judul lain di seri Kecil-Kecil Punya Karya banyak yang bagus, kok. Artinya dari segi cerita dan kalimat-kalimat di buku-buku lain tidak ada yang menggajarkan bullying pada pembaca. Misalnya The Eccentric School karya Riza (11 tahun), Pink Cupcake karya Ramya (12 tahun), dan beberapa karya lain yang kebetulan dimiliki anak saya.

Sukses terus untuk DarMizan dengan seri Kecil-Kecil Punya Karya! Untuk Maryam, kalo kebetulan membaca blog ini, terus berkarya ya sayang. Tapi saran Om, next time kalo bikin novel lagi, dialog-dialog dalam cerita kamu itu jangan kasar-kasar ya sayang. Om yakin, kamu pasti bisa! Sukses selalu!

+Paskibra Proklamasi 

Jumat, 24 September 2010

I ALWAYS LOVE YOU!

Begitulah judul e-mail putri kami pertama, Anjani. Ia mengirimkan e-mail itu pada Jumat, 24 September 24 pukul 10:22 WIB dan saya baru membuka pukul 22:43 WIB. Isinya membuat hati kami bangga sekaligus memotivasi kami agar tetap terus berjuang menjadi orangtua yang lebih baik lagi.

Inilah isi e-mail Anjani...

When I was baby.. i have an accident that i was Spilling my milk.. Then You was Scold me for spilling my milk all the time.. because i dont know what am i doing then i cry... .

When I was a grow up child i study with you together side by side when i don't know the word you learning me again.. then i forgot the word again then you learn me.. when i forgot 3 times.. you got so angry that now i am being punished because i don't know the word i forgot and im sorry in my heart i wanna talk and mad to you to but i can't because you are my parents.. so i just wait..

Now I am Growing to a 12 years old girl and maybe sometimes i get cranky,mad,angry ,happy ,sad ,and silly things... if i do a mistake im sorry.. i only wan't to make you proud but i just make it even worst... Well sometimes i lie or i mad or i angry at my sister..
And i am really really really really really really really really really really really really sorry that i do it...
But no matter who you are no matter what you did well.....
I always love you...

Because I am Just Ordinary Girl...


--
I always open a message, not always.

Minggu, 29 Agustus 2010

RELA MACET BERJAM-JAM DEMI SHOW 15 MENIT


Sudah sejak minggu lalu, putri kedua kami, Khaira, selalu mengingatkan sebuah agenda pada tanggal 29 Agustus 2010 yang tida boleh dilewatkan, yakni pergi ke Pejaten Village. Hampir setiap hari, sampai dengan hari H ini, ia tak bosan-bosan mengingatkan kami dengan agendanya itu.

Mungkin kalo sekadar jalan-jalan ke mall, anak kami jadi terdengar norak atau kampungan. Wong ke mall aja kok segitu ngebetnya. Perkaranya, bukan sekadar jalan ke mall. Kalo itu mah sudah sering kami lakukan. Tetapi Khaira ingin berjumpa dengan idolanya dan melihat dari dekat. Sebab, selama ini sang idola hanya muncul di layar televisi. Nah, Minggu ini, ia hadir secara langsung di mal yang berada di bilangan Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

“Sudah adzan dzuhur belum, Pap?” tanya Khaira tiba-tiba menghampiri saya.

“Belum. Bentar lagi ya, Dik,” jawab saya.

Samar-samar suara adzan pun terdengar.

“Nah, sekarang sudah adzan kan, Pap?” tanya Khaira lagi.

“Iya. Kita sholat dulu, yuk!”

“Hore! Hore! Hore! Aku ketemu Mister Maker! Hore! Hore! Aku suka Mister Maker!”



Khaira berlompat-lompatan di atas kasur pegas di kamar kami. Ia kegirangan, karena kami berjanji sehabis sholat dzuhur, langsung pergi ke Pejaten Village untuk menyaksikan “pertunjukan” Mister Maker. Kebetulan jadwal “pertunjukan” idola Khaira ini berlangsung pukul 14.00 wib.

Mister Maker? Memangnya apa yang membuat orang ini begitu spesial? Kalo biasa mendampingi anak-anak Anda menonton Indovision, tepatnya di channel CBeebies, pasti mengenal sosok Mister Maker. Tokoh yang diperankan oleh Phil Gallagher ini adalah jagoan dalam membuat prakarya. Ia selalu membuat karya dari berbagai hal yang ada di sekitar kita. Sangat kreatif dan lucu. Menurut sang Sutradara, James Morgan, karakter Mister Maker memang dibuat untuk dapat menimbulkan keceriaan di sekelilingnya.

Setiap episode, Mister Maker menampilkan beberapa cara membuat prakarya yang mudah dan menarik untuk anak usia dini, dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Namun semua karyanya itu tetap dikhususkan untuk anak usia dini (pre-school). Dari mulai yang sangat mudah sehingga bisa dibuat hnya dalam waktu 1 menit (Minute Make) sampai dengan karya yang membutuhkan bantuan orang dewasa. Bahan-bahannya juga mudah didapat. Yang paling sering digunakan adalah cat, lem, gunting, aneka kertas dan kardus.

Program Mister Maker ini pertama kali disiarkan pada tahun 2007. Saking populernya, program yang dibuat oleh Michael Carrington dari BBC ini sudah di-dubbing ke dalam beberapa bahasa, termasuk ke bahasa Spanyol dan tentu saja Indonesia. Phil sendiri pernah masuk nominasi presenter acara anak-anak terbaik BAFTA Children’s Awards 2009. BAFTA merupakan penghargaan tertinggi bagi insan pertelevisian di Inggris. Beda, lho, sama penghargaan Panasonic Awards di Indonesia ini yang dinilai kurang objektif itu.



Back to kedatangan Mister Maker di Pejaten Village. Ternyata kami salah duga. Anak-anak yang ingin menjumpai Mister Maker banyak minta ampyun. Gara-gara pria asal Inggris ini, ruas-ruas jalan yang menghubungkan ke Pejaten Village macet semacet-macetnya. Kalo Anda pernah melewati jalan Warung Buncit, Jakarta Selatan, barangkali pada hari kerja dan jam-jam sibuk sudah biasa melihat kemacetan. Namun, hari Minggu ini, kemacetan juga terjadi, bahkan lebih parah.

Setelah berjuang, kami akhirnya sampai juga di tempat parkir Pejaten Village. Begitu berada di plaza mall ini, alangkah kagetnya kami. Ratusan anak-anak sudah memadati plaza. Seolah tak ada tempat lagi untuk bergerak. Padahal sang idola belum menunjukan batang hidungnya. Agaknya pihak event organizer (EO) ini tak menyangka pengunjung yang akan melihat Mister Maker akan sebanyak itu.

Tunggu punya tunggu, Mister Maker pun muncul. Bertepatan dengan kemunculannya, seluruh anak memangil nama idola mereka, termasuk Khaira. Suara mereka begitu riuh. Kami melihat wajah mereka berbinar-binar, bahkan ada yang histeris. Situasi ini mirip kalo kita melihat sebuah konser, dimana band manggung dan fans mereka menjerit histeris di depan panggung.

Para orangtua, terutama bapak-bapak terpaksa menggendong putra-putri mereka, mendudukan anak-anak mereka di pundak. Ya, ngapain lagi kalo bukan supaya anak mereka bisa melihat. Padahal jarak antara panggung Mister Maker dan penonton cukup jauh. Kondisi penuh sesak bukan terjadi di lantai dimana panggung berada, tetapi di tiap lantai mall. Siang itu mall milik anak-anak. “Biang keladinya” adalah Phil si Mister Maker itu.



Sayang, pertunjukan cuma 15 menit. Mister Maker yang ditunggu berjam-jam itu tidak terasa harus menghilang. Kalo dipikir-pikir tak sepadan dengan perjuangan mengatasi kemacetan siang menjelang sore itu. Tetapi begitu melihat wajah putri kami yang berbinar-binar, kekesalan pada parahnya kemacetan jadi terobati.

“Gimana Mister Maker-nya, Nak?” tanya saya.

“Keren, Pap!” jawab Khaira sambil tersenyum. “Tapi kenapa kulitnya agak hitam ya? Kok beda dengan di televisi? Kulitnya putih.”

“Mungkin Mister Maker yang datang ke Jakarta ini bukan orang Inggris, tetapi orang Afrika kali,” goda saya.

Selasa, 10 Agustus 2010


Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Mohon Maaf Lahir dan Bathin

Sabtu, 24 Juli 2010

"MAKANYA ADIK MAU PUNYA BAYI..."

Sekarang ini, setiap jam 4 sore, Khaira pergi ke rumah Nenek kami. Kebetulan rumah Nenek kami tidak jauh dari rumah kami. Jaraknya sekitar 500 meter dari rumah kami. Ya, beda Rukun Warga (RW) saja.

Kenapa harus pukul 4 sore? Sebab, di jam segitu, Tiara dimandikan. Siapa itu Tiara? Tiara adalah keponakan kami. Ia masih bayi. Umurnya masih 4 bulan. Gara-gara masih bayi, anak-anak kami suka main ke rumah Nenek (kami biasa memanggil dengan sebutan "Uti").

Di rumah Uti, Khaira memang hanya boleh melihat proses Tiara dimandikan. Oleh baby sitter-nya, anak saya belum diizinkan memandikan. Saya bisa maklum, usia 4 bulan masih rentan. Meski belum boleh memandikan, setiap kali Tiara dimandikan, mata Khaira berbinar-binar.

"Adik mau punya bayi, Ma," ujar Khaira.

"Kenapa adik mau punya bayi? Kan sudah ada adik Tiara?"

"Tapi kan adik Tiara nggak tidur di rumah sini. Jadi adik mau punya bayi, Ma"

Saya dan istri saling pandang-pandangan.

Jumat, 23 Juli 2010

JUS JAMBU BU KARDI

"Mah, nanti adik mau jus bu Kardi ya?"

Tiba-tiba Khaira berkata seperti itu, beberapa menit sebelum masuk ke kelasnya. Saya dan istri heran, kenapa kok tiba-tiba putri kedua kami ini minta jus. Jus-nya pun jus bu Kardi pula. What happened?

Kami pun tergerak hati untuk menyelidik. Penyelidikan pertama ke warung bu Kardi. Buat Anda yang nggak tahu who is bu Kardi, saya kasih tahu. Ia bukan selebriti papan atas atau public figure yang namanya kini populer. Ia seorang pemilik warung yang mangkal di dekat sekolah Khaira, yakni di SD At-Taqwa, Rawamangun, Jakarta Timur.

Sebenarnya nama bu Kardi sudah populer di lingkungan At-Taqwa. Kebetulan, At-Taqwa ini tidak hanya membuka sekolah SD, tetapi Kelompok Bermain (KB) dan Taman Kanak-Kanak (TK) pun ada. Nah, posisi warung bu Kardi berada di tengah-tengah antara gedung SD dan gedung TK. So, keharuman nama bu Kardi sudah tercium sejak Khaira berada di TK At-Taqwa.

Bu Kardi adalah perempuan kurus, tetapi lincah. Tiap meladeni pelanggan, ia begitu cekatan. Padahal pelanggannya banyak, lho. Mayoritas pelanggannya adalah ibu-ibu yang menunggu anak-anak mereka sekolah. Nah, kebayang betapa cerewetnya ibu-ibu ini. Kalo nggak minta diladenin duluan, ya minta sambel. Kalo nggak minta kembalian, ya minta bungkusan. Hebatnya, di warung itu cuma bu Kardi seorang diri yang meladeni.

Bu Kardi sudah bersuami. Kebetulan suaminya adalah Satpam di TK dan SD At-Taqwa. Kalo tidak bertugas, pak Kardi ikut bantu bu Kardi meladeni pelanggan. Kasihan soalnya kalo nggak dibantu, repot!

Di warung bu Kardi tersedia aneka makanan. Ada donat, lontong isi, tahu isi, ketan, nasi uduk yang sudah diplastikin, dan jus. Sambil sarapan pagi, saya dan istri pun menyelidiki tentang jus jambu bu Kardi ini.

Ternyata, sudah lama jus bu Kardi beredar di kalangan murid-murid SD At-Taqwa. Murid-murid At-Taqwa banyak yang langganan jus jambu ini, termasuk teman-teman Khaira. Itulah mengapa Khaira ingin menjadi pelanggan jus jambu bu Kardi seperti teman-temannya.

"Nanti Mama buatkan jus jambu di rumah ya?" rayu istri saya.

"Maunya jus jambu bu Kardi!" ngotot Khaira.

Menurut istri saya, kenapa jus jambu bu Kardi jadi idola, karena rasanya manis. Itu artinya, gulanya lebih banyak daripada rasa jambunya.

Untunglah, Khaira akhirnya mau dibuatkan jus jambu dari rumah. Tapi tetap pakai syarat. Diantarnya bertepatan dengan bu Kardi membawakan jus jambu ke teman-teman Khiara. Walah! Tapi kami ngerti kenapa Khaira menetapkan syarat seperti itu. Sebab, supaya ia berasa minum jus bersama teman-temannya.

Tepat pukul 10:00 wib, jus jambu buatan istri saya tiba di sekolah, bersamaan dengan jus jambu bu Kardi.

"De, ini jus jambunya?" ujar istri sambil menyerahkan jus jambu yang sudah dimasukkan ke dalam botol plastik bergambar Toy Story 3.

"Lho, kok jusnya dimasukkan ke situ (botol Toy Story maksudnya)," protes Khaira.

"Memangnya adik mau dimasukkan ke botol yang mana?" tanya istri saya.

"Mau gelas plastik kayak jus teman-teman adik..."

Oalah! Tetep! Nggak beli jus, gelas plastik tetap jadi syarat. Yang penting bu Kardi. Khaira-Khaira segitu nge-fans-nya sama bu Kardi...

BELAJAR KORUPSI DARI DALAM MOBIL

Pagi itu saya berhasil menjalankan mobil tepat pukul 06 lewat 5 menit. Dengan hitungan waktu berangkat ini, sudah dipastikan kami tidak akan terjebak kemacetan. Maklumlah, meski dari rumah kami di Cempaka Putih Barat ke sekolah Anjani dan Khaira di Rawamangun jaraknya dekat, namun seringkali kami berhadapan dengan kemacetan. Apalagi kalo kami baru menjalankan mobil dari rumah pukul 06.20, sudah diduga, Anjani akan terlambat.

Begitulah rutinitas yang sudah menjadi komitmen kami: mengantarkan anak-anak ke sekolah. Seperti di cerita-cerita saya sebelumnya, saya memang punya komitmen, setiap pagi wajib antar anak-anak sekolah whatever it takes! Mau badan pegal, mata ngantuk, tetap antar sekolah. Kenapa? Di saat antar sekolah, kami bicara menjalin komunikasi dengan anak-anak, termasuk dengan istri.

Apa saja bisa kami obrolkan dalam mobil. Soal grup Korea yang digila-gilai oleh Anjani, juga soal pacar-pacar Khaira. Pagi kemarin, kami ngobrol soal korupsi. Saya senang banget ketika Anjani bertanya soal korupsi. Sebab, kebetulan di hari sebelumnya, saya mendapat pengalaman soal korupsi.

"Pa, korupsi itu apa?"

Sebagai bapak dua orang anak yang berusia 11 tahun dan 6 tahu, tentu jawaban atas pertanyaan itu harus sesederhana mungkin. Nggak mudah lho menyederhanakan kalimat untuk anak-anak. Makanya saya pun memberi jawaban begini:

"Nak, segala sesuatu yang bukan milik kita itu tidak boleh diambil. Kalo kita ambil, itu namanya mencuri, mengerti?"

Anjani mengangguk. Rupanya anak saya kedua Khaira (6) juga ikut-ikutan mengangguk. Padahal tujuan saya menjelaskan ini cuma untuk putri saya pertama Anjani (11). Itulah yang bikin saya exciting. Artinya, pembahasan korupsi di dalam mobil menuju ke sekolah ini juga untuk Khaira. "Mantabs," pikir saya.

Lanjut saya, bahwa setiap orang yang mencuri adalah berdosa. Saya mencontohkan, kalo saya membuat program TV, ada uang untuk shooting program itu. Taruhlah Rp 500 ribu. Ternyata, untuk membuat program TV hanya membutuhkan uang Rp 350 ribu. Artinya, ada sisa uang Rp 150 ribu. Nah, sisa uang itu kan bukan milik saya, tetapi milik perusahaan TV itu.

"Kira-kira uang itu Papa harus kembalikan atau tidak?" pancing saya.

"Kembalikan," jawab Anjani.

"Kalo uang itu Papa ambil gimana?" pancing saya lagi.

"Itu namanya Papa mencuri!" ujar Khaira.

Saya tersenyum. Bangga. Anak-anak saya mulai tahu arti korupsi yang sangat sederhana.

Saya jelaskan lagi, bahwa saat ini banyak sekali orang yang ditangkap polisi, karena mencuri uang yang bukan milik mereka. Mereka itu sudah punya gaji, tetapi masih mencuri uang yang sebenarnya punya perusahaan atau tempat kerja mereka.

"Nah, itu yang dinamakan korupsi. Kalo orang yang melakukan korupsi dinamakan koruptor, mengerti?"

Anjani dan Khaira mengangguk bersama-sama.

Ketika bekerja di stasiun TV jadi broadcaster, saya sering sekali hampir terjebak dalam kasus korupsi. Saya jelaskan pada anak-anak, bahwa kesempatan saya korupsi di stasiun TV. Sebagai Executive Produser, saya berhak membuat anggaran untuk shooting dan mengalokasikan dana untuk ini dan itu, termasuk honor artis atau pengisi acara.

Beberapa teman saya (mohon maaf!) memanfaatkan jabatan untuk korupsi. Entah itu mengambil honor artis atau narasumber, maupun memasukkan program TV ke stasiun televisi tersebut, meski program tersebut tidak layak tayang. Terakhir, saat saya bekerja di lembaga kepemerintahan, saya pun sempat berdiskusi mengenai dana Bantuan Sosial (Bansos), dimana dana itu bisa dimanfaatkan sebagai celah untuk korupsi. Bayangkan! Dana Bansos per tahun Rp 500 juta. Kalo saya sudah biasa "maling", tentu akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang dari dana itu. Mencuri 10% sampai 20% dari dana itu lumayan kan?

"Kakak dan adik nggak mau kan Papa masuk penjara?" tanya saya seperti menguji.

"Ya, nggak mau lah!"

"Nah, makanya kita harus bersyukur. Meski Papa dan Mama tidak punya uang banyak, tetapi kita masih bisa punya mobil, punya rumah, bisa sekolahkan kakak dan adik, dan masih bisa jalan-jalan, ya kan?"

Anjani dan Khaira mengangguk.

Alhamdulillah, aank-anak kami sekarang mengerti korupsi. Saya sebagai Papa-nya dilarang oleh kedua anak kami masuk penjara, karena mencuri uang yang bukan haknya. Kalo mencuri waktu? Ah, anyway, ternyata belajar korupsi bisa dimana saja, termasuk di dalam mobil.

FIRST DAY AT SCHOOL

Senin, 12 Juli 2010 merupakan hari pertama Khaira masuk SD. Ini adalah hari yang sangat dinanti-nantikan olehnya. Maklumlah, setelah wisuda TKB, putri kedua kami ingin berkali-kali mengungkapkan kegembiraan akan bersekolah di SD.

"Kapan sih Pa, adik masuk sekolah?"

"Ma, sekolahnya tinggal berapa hari lagi?"

Buat kami aneh, kok nggak sabaran amat mau masuk sekolah aja. Yang sudah-sudah, kita malah stres kalo mau masuk sekolah lagi. Meski tahun ajaran baru, yang namanya sekolah seperti "hantu". Tapi Khaira tidak.

Seperti ketika kami memasukkan putri pertama kami Anjani masuk SD, segala persiapan dilakukan. Salah satunya jangan sampai telat masuk. Nggak heran, berbagai jam weker, alaram handphone, serta bel Blackberry dipasang, supaya kuping kita mendengar dan langsung mandi. Maklumlah, meski jarak antara rumah ke sekolah Anjani dan Khaira dekat (Cempaka Putih-Rawamangun), namun kita tetap memprediksi kemungkinan terjadi kemacetan.

Benar saja, kemacetan mulai terjadi. Hari pertama masuk sekolah ibarat momentum para orangtua mendedikasikan harinya untuk anak, apalagi kalo anak mereka baru pertama kali sekolah, entah di TK atau di SD. Biasanya, first day at school, para orangtua akan mencarikan kelas anak mereka, menunggu di depan kelas, mengabadikan anak mereka dengan kamera, melihat upacara, baris-berbaris, dan sampai memastikan anak mereka kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran pertama.

Saya pun dengan istri melakukan itu. Menguntit kemana pun Khaira dan teman-temannya pergi: berbaris di depan kelas, melakukan upacara bendera, dan masuk ke kelas kembali. Buat kami, first day at school ini mengingatkan kami ketika melakukan hal yang sama lima tahun lalu ketika putri pertama kami Anjani masuk SD.

NGEBET MASUK SD

Boleh jadi, attittute yang dimiliki Khaira cukup "langka". Betapa tidak, saya dan istri belum pernah merasakan sebuah kegembiraan saat kita mau masuk sekolah. Dahulu kala, setelah liburan selesai, yang terjadi justru penyesalan yang mendalam.

"Kok liburan cepat amat sih?"

"Duh, kayaknya sebentar amat liburannya..."

Begitulah komentar yang saya dan barangkali anda ungkapkan ketika besok sudah harus masuk sekolah. Namun hal ini tidak berlaku buat putri kedua saya Khaira. Ia malah exciting pada hari Senin tanggal 12 Juli 2010, sudah masuk sekolah.

Bahkan saking ngebetnya mau masuk sekolah, beberapa hari menjelang masuk, seragam putih merah-nya dipakai. Kalo istilah gaulnya "diperawanin". Seragam itu dipakai seharian, bahkan sampai dipakai untuk tidur segala. Ade-ade, segitu ngebet-nya mau masuk sekolah.

Analisa saya mengapa Khaira ngebet masuk sekolah, barangkali ia bakal memasuki suasana baru. Kalo dulu kurikulum sekolahnya masih banyak bermain, kini setelah masuk SD, ia sudah merasa lebih besar.

"Adik sekarang sudah jadi kakak-kakak," ujar Khaira.

Minggu, 11 Juli 2010

NGGAK SUKA PERTAMINA

Pada saat film Toy Story 3 diputar di bioskop, Shell berhasil menjadi salah satu produk yang "mendompleng" film animasi produksi Disney-Pixar itu. Sebenarnya dalam film, nggak ada scene atau cerita yang memperlihatkan logo Shell atau "kehebatan" pompa bensin ini. Namun, Shell tetap memanfaatkan momentum.

Momentum tersebut ternyata cukup mujarah. Anak-anak banyak yang meminta orangtua mereka mengisi bensin di Shell. Salah satu anak yang kena "sihir" ajaib Shell adalah putri kedua saya, Khaira.

"Pap, kalo ngisi bensin ke Shell ya?" kata Khaira mencoba mengingatkan saya.

"Lho, memangnya kenapa?" tanya saya sok heran, meski sebenarnya saya juga penggemar Shell.

"Soalnya Adik nggak suka Pertamina, sukanya Shell."

"Kenapa nggak suka Pertamina?" tanya saya memancing.

"Soalnya di Pertamina nggak ada boneka Toy Story-nya. Kalo di Shell kan ada..."

Selama ini Pertamina memang nggak pernah mengambil momentum-momentum yang sebenarnya baik buat merekrut pelanggan. Pertamina terlalu sibuk dengan "diri sendiri". Sibuk menaikkan harga, sibuk menambah jumlah pompa bensin, dan sibuk-sibuk lainnya. Padahal memanfaatkan momentum juga dibutuhkan.

Meski Toy Story 3 nggak ada hubungannya dengan Shell atau masalah bahan bakar, tetapi Shell cukup jeli. Shell melihat anak-anak termasuk pangsa pasar bensin. Kalo anak-anak suka, pasti orangtuanya terpaksa akan membelikan. Belum tentu setelah Toy Story 3 habis diputar di bioskop, orangtua yang sebelumnya mengisi bensin ke Shell akan menjadi pelanggan tetap. Tapi saya yakin, dengan 100 orang pelanggan dadakan gara-gara Toy Story 3, masa sih nggak ada 10-20 pelanggan baru Shell?

Pengalaman saya dengan anak saya agaknya menjadi sebuah pelajaran dari Pertamina agar orang-orangnya lebih kreatif lagi dalam mencermati pasar.

Selasa, 29 Juni 2010

BIAR SAMPAI BERBUSA, TETAPI NGGAK BERHASIL JUGA...

Begitulah seni menjadi orangtua yang mau sok nasionalis. Ini terjadi minggu lalu ketika kedua anak saya mengajak saya dan istri nonton. Sejak dari rumah anak-anak kami kompakan ingin menonton Toy Story 3. Sementara kami mencoba membujuk kedua anak kami nonton film buatan negeri sendiri. Eh, anak-anak kami tetap saja memilih produk impor produksi Pixar dan Disney itu. Padahal mulut ini sudah berbusa-busa promosi.

"Film ini bagus, lho, untuk kamu," kata saya berpormosi film Tanah Air Beta.

Memang promosi saya cuma di mulut aja. Kata-kata "bagus" di situ sebenarnya bohong. Kenapa bohong? Ya, karena saya benar-benar belum nonton film karya sutradara Ari Sihasale yang saya bilang bagus itu. Alhamdulillah kalo memang bagus. Tapi kalo yang saya promosikan itu ternyata jelek bagaimana? Soalnya saya pernah berpromosi film setengah lokal Meraih Impian, yang ternyata mengecewakan anak-anak kami.

"Saya kok kayak orang sales atau orang marketing ya?" pikir saya dalam hati. "Biasanya kan orang sales dan marketing itu selalu bilang 'bagus' atau 'luar biasa', padahal belum tentu produk yang dijual itu sesuai dengan apa yang dipromosikan mereka, ya nggak?"

Tentu bukan pekerjaan yang mudah buat membujuk anak nonton film karya sutradara Indonesia. Padahal minggu-minggu ini, sedikitnya ada tiga film lokal, yakni Laskar Cilik, Tanah Air Beta, dan Obama Anak Menteng (film ini rencananya baru diputar 1 Juli). Hebatnya, dua film pertama, di posternya ada testimoni dari beberapa orang.



Di film Laskar Cilik, ada dua publik figur yang berkomentar, yakni Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait dan bahkan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh. Arist Merdeka mengatakan, "Film ini layak ditonton oleh semua keluarga, karena berisi pesan bagi kita semua". Sementara Mendiknas M. Nuh berkomentar, "Film ini sangat baik ditonton anak-anak dan keluarga, karena memberikan arti, tentang lintas persahabatan".

Terus terang saya pribadi tertawa melihat testimoni basi dua publik figur itu. Yaiyalah, kalo sekadar layak ditonton oleh anak-anak dan keluarga, itu sudah pasti bukan? Namanya juga film anak-anak? Nggak mungkin kan kalo film tersebut nggak layak buat anak-anak? Kecuali testimoninya aneh seperti ini: "Film ini hanya layak ditonton oleh ABG dan orang dewasa!" Pasti calon penonton akan penasaran, film anak tetapi kenapa cuma layak ditonton oleh ABG dan orang dewasa ya?

Itu tadi testimoni di film Laskar Cilik, coba sekarang Anda perhatikan testimoni di film Tanah Air Beta berikut ini:

"Film yang sangat dirindukan oleh masyarakat Indonesia dan sangat tepat untuk menyambut Hari Anak Indonesia. Semoga banyak anak-anak yang menyaksikan film ini bersama orangtuanya." (Menteri Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak Linda Agum Gumelar).

"Film 'Tanah Air Beta' punya sikap politik yang sangat jelas berpihak kepada kemanusiaan & kepada korban. Selamat untuk Ale & Nia". (Sutradara Riri Riza).

"Tawa dan air mata menjadi satu ketika menonton 'Tanah Air Beta'. Saya menjadi larut dalam kisah yang mengalir wajar seakan menyaksikan kilas balik sejarah orang-orang yang terlupakan. Film ini mampu menggugah semangat nasionalisme kita." (Kick Andy, Andy F. Noya)

"Film ini tidak berpihak menceritakan segala sesuatu dengan apa adanya dan dari point of view anak-anak. This is 'THE BEST' Alenia Pictures Film." (Produser & Sutradara Nia Di Nata)

Masih belum cukup dengan testimoni 4 publik figure, film Tanah Air Beta menambah tulisan dalam huruf bold dan diberi kotak, yakni FILM KELUARGA YANG HARUS DITONTON.

Berbagai promosi gencar dilakukan. Bukan cuma oleh di pembuat film lokal, tetapi saya dan istri pun mencoba berpromosi. Meski dalam promosi ada kalimat-kalimat yang hiperbola atau sedikit berbohong, toh kebenaran ternyata yang menang. Anak-anak lebih suka nonton Toy Story 3.

"Kenapa sih nggak mau nonton Tanah Air Beta?"

"Maunya Toy Story 3!"

"Bagus lho ada Robby Tumewu," saya berpromosi tapi kali ini nggak penting amat mempromosikan Robby Tumewu. Seperti kehilangan alasan.

"Ada Thessa Kaunang segala, lho!"

"Siapa tuh Robby Tumewu dan Thessa Kaunang? Aku nggak tahu!" komentar anak saya.

"Pokoknya Toy Story 3. Titik!"

Oalah! Ternyata saya memang masih butuh belajar sama orang sales atau marketing buat berpromosi, bahkan kalo perlu belajar dari suhu-nya marketing Hermawan Kertajaya. Tapi teman saya bilang, bukan salah saya 100% nggak bisa promosikan film lokal. Ada pula yang kudu dipelajari oleh para pembuat film lokal selain meminta testimoni publik figure sebagai daya tarik promosi.

Film marketing kita memang belum integrated. Belum menjadi satu kesatuan bagi promosi. Bahwa film masih dianggap produk tepisah. Coba Anda mampir ke bioskop XXI atau Blitz. Anda perhatikan! Begitu masuk ke bioskop sinepleks itu, Toy Story 3 everywhere. Mulai dari tempat minum, tempat pop corn, dan gantungan-gantungan di sinepleks itu Toy Story 3. Sementara film lokal?

"Wah, harusnya yang digantung adalah testimoni-testimoni publik figure itu ya?" goda teman saya.






Selasa, 25 Mei 2010

MASUK SD NEGERI AJA SUDAH 3.6 JUTA PERAK, GIMANA NANTI KULIAH YA?

Memang sekarang ini sekolah bukan buat anak orang miskin. Mohon maaf ya para orangtua yang nggak punya duit buat menyekolahkan anak-anak Anda. Saya bukanlah pengambil kebijakan. Tugas saya dan teman-teman yang masih cukup beruntung cuma menyumbangkan kelebihan uang ke lembaga penyalur anak-anak miskin. Jelas hal itu tidaklah cukup membantu anak-anak miskin yang pengen banget sekolah.

Sedih? Tergantung!

Buat pemerintah atau mereka yang nggak merasakan kepedihan itu barangkali nggak akan sedih. Apakah mereka yang pro dengan pembangunan gedung DPR yang miring sebesar Rp 1.8 triliun itu akan sedih kalo tahu ada banyak anak Indonesia nggak sekolah? Hmmm....saya nggak bisa jawab. Anda bisa menebak sendiri, kira-kira dengan dana Rp 1.8 triliun tanpa dipotong korupsi, berapa anak miskin yang bisa sekolah?


Sepasang suami istri sedang melihat spanduk pengumuman pendaftaran dari sebuah SD di Rawamangun.

Pagi ini saya masih sempat melihat ibu-ibu dan bapak-bapak berbondong-bondong mendaftarkan anak-anak mereka masuk SD. Anda tahu saat ini berapa dana yang dibutuhkan buat masuk SD? Rp 3.6 juta! Mahalkah? Ya, tergantung! Buat orang kaya mah uang segitu nggak ada artinya, bo! Kita bicara SD Negeri, lho! Bukan SD Al Azhar atau SD Global atau SD Highscope. Kalo SD swasta itu mah persetan lah, karena memang sudah kelihatan pasti butuh dana berjuta-juta. We're talking about SD Negeri.


Ruangan dimana calon pendaftar masuk membawa berkas-berkas pendaftaran dan kemudian mendapatkan nomor tes.

Memang sih SD Negeri ada kategorinya. Ada SD Negeri yang biasa-biasa aja alias kelasnya kumuh, tanpa AC, dan kalo hujan banjir dan becek. Ada pula SD Negeri yang berstandar nasional maupun embel-embel Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). Entah siapa yang ngasih embel-embel kayak begitu. Apakah sebuah SD Negeri dengan fasilitas AC sudah disebut RSBI? Padahal prestasinya belum tentu keren dibanding SD Negeri yang kalo hujan becek seisi kelasnya.

Menyedihkan memang. Tapi itulah kenyataannya. Anak-anak miskin bisa selamanya akan terus miskin. Maksudnya sulit sekali buat meningkatkan taraf hidup kalo "sekolah gratis" itu cuma dinikmati 50% anak-anak dari keluarga nggak mampu aja. Kini baru membicarakan dana anak masuk SD sebesar Rp 3.5 juta, lho. Belum masuk SMP, SMA, dan kuliah. Anda tahu berapa dana masuk SMP dan SMA Negeri? Kalo SMP RSBI dana yang kudu dibayar orangtua Rp 3.6 juta dan SMA Rp 4.5 juta. Bahkan ada SMP yang sudah memunggut dana sampai Rp 10 juta. Mantabs nggak tuh?


Ibu-ibu dan bapak-bapak yang sibuk mengisi daftar isian buat anak mereka sekolah di SD incaran mereka.

Lihatlah kemarin anak yang lulusan terbaik di Ujian Nasional. Mereka rata-rata berasal dari keluarga miskin. Saya menghayal, kalo saja "sekolah gratis" benar-benar dinikmati semua anak, yakin SDM-SDM yang sebenarnya berotak luar biasa namun dari kalangan miskin akan mengalahkan orang-orang kaya yang saat ini lebih memilih memberikan anak-anak mereka Blackberry.

Selasa, 06 April 2010

"YANG LIHAT PAPA, PASTI LAGI SAKIT MATA!"

Beberapa hari ini saya sering melihat wajah di kaca. Kalo orang Betawi bilang, rajin ngaca. Hampir tiap detik, saya nggak bisa lepas dari kaca. Tiap ngaca, saya selalu memperhatikan wajah, terutama rambut dan mata.

"Kalo kaca bisa ngomong, pasti dia sudah protes kali," ungkap saya dalam hati.

Apa yang membuat saya belakangan suka ngaca adalah, karena teman Anjani. Hah kenapa dengan teman Anjani? Jangan menuduh sembarangan. Jangan menuduh kalo saya lagi jadi "gebetan" temannya Anjani. Tahu kan maksud "gebetan"?

"Gebetan" sebenarnya kata jadul zaman saya dulu. Kalo ada cowok yang lagi suka pada cowok, maka cowok yang disukai itu disebut sebagai "gebetan". Nah, nggak mungkin kan kalo temannya Anjani yang rata-rata berusia 10 tahun itu jadi "gebetan" saya yang umurnya 4 kali lipat?

Yang benar kenapa saya sering ngaca adalah, karena saya dibilang oleh salah satu teman Anjani mirip dengan Darius Sinathrya. WHAT????!!!! Maaf bo! Ini bukan saya yang mengatakan, lho, tetapi temannya Anjani.

"Kalo aku lihat, Papamu mirip Darius deh, Jan," begitu kata temannya Anjani yang diungkapkan langsung oleh Anjani pada saya.

Saat putri saya ngomong begitu, hidung saya kembang kempis. Maklumlah, kegeeran. Entah dari mana temannya Anjani mengatakan saya mirip Darius. Padahal selama ini, mayoritas orang mengatakan saya lebih mirip Anang Hermasyah, mantan suami Krisdayanti itu, bo! Kenapa mirip Darius ya?

Suatu hari, saya dan istri melewati jalan Gatot Subroto. Dari dalam mobil, saya melihat ada billboard produk pembersih muka yang gede banget. Anda pasti tahu! Bintang pembersih muka itu adalah Darius.

"Wah, jangan-jangan temannya Anjani ngeliat billboard yang ada iklan Darius ini," kata saya pada istri. "Kalo dilihat-lihat sih, wajah aku dengan Darius memang nggak jauh beda ya," tambah saya lagi sambil cengegesan. Berharap dapat respon dari istri saya.

Istri saya langsung cekakak-cekikik.

"Pasti yang lihat kamu orang yang lagi sakit mata!" ucap istri saya masih sambil cekakak-cekikik. "Eh, tapi kalo kamu mirip Darius, saya merasa tersanjung...."

"Maksudnya tersanjung?" tanya saya heran.

"Karena saya pasti mirip dengan Donna Agnesia!"

Kami pun cekakak-cekikik berjama'ah!

Senin, 05 April 2010

POTONG RAMBUT, EUY!

Rambut Anjani sudah panjang. Poninya saja sudah menutupi mata. Istri saya memaksa putri saya pertama ini buat dipotong rambutnya. Biasanya sih dipotong oleh istri saya sendiri. Tetapi kali ini, istri saya ingin Anjani dipotong di salon. Bukan buat gaya-gayaan, tetapi mencoba potongan yang beda aja.

"Coba tolong telepon Youndri, Pap," ujar istri saya.


Sebelum dipotong, rambut dicuci dulu dong!

Youndri adalah hairstylist saya. Kebetulan tiap potong rambut, saya memang selalu di salon. Salonnya pun khusus, yang ada Youndri-nya. Habis saya sudah kadung cocok dengan pria berdarah Batak ini. Pokoknya dimana ada Youndri, saya pasti akan potong rambut di situ.

Youndri kebetulan sudah dua kali pindah ke salon lain. Pertama di Pasar Festival, Kuningan, Jakarta Selatan. Kemudian pindah ke salon di Kemang. Terakhir, ia balik lagi ke salon yang ada di Pasar Festival. Nah, selama pindah-pindah itu, saya dengan setia mengikuti.



"Youndri ada di salon tuh, Ma," jawab saya. "Memangnya mau potong kapan?"

"Mungkin tahun depan aja kali ya? Ya sekarang, Pap!" goda istri saya.

Singkat cerita, kami pun ke salon. Tapi bukan salon tempat Youndri bekerja. Lho kok bukan Youndri? Ternyata perjalanan menuju ke salon Youndri cukup jauh. Maka diputuskan mencari salon di dekat rumah kami, yakni di Cempaka Putih.

"Tapi aku mau model kayak penyanyi Korea ya," kata Anjani.

Saat ini Anjani memang tergila-gila dengan penyanyi Korea. Saking fans-nya, tiap main internet, ia selalu men-download YouTube yang ada penyanyi Korea-nya. Positifnya, Anjani jadi ngerti bahasa Korea.



Setelah mensepakati model rambut, rambut Anjani mulai digunting oleh seorang hairstylist. Selama rambut Anjani dipotong, Khaira dengan serius. Selama ini setiap kali kakaknya dipotong oleh istri saya, Khaira juga ikut-ikutan dipotong.

"Kalo rambut kakak bagus, adik juga mau dipotong," ungkap Khaira.

"Kenapa nggak sekarang aja dipotong, Dik?" tanya istri saya.

Khaira menggeleng.

"Kalo nunggu kakak selesai dipotong, ya kelamaan, Dik," bujuk saya. "Mending sekalian aja Adik dipotongnya. Mau?"

Khaira terdiam sejenak.

"Yasudah deh, adik mau sekarang dipotongnya."

Pilihan model rambut Khaira ternyata sama dengan potongan rambut yang dipilih Anjani. Kayaknya mereka memang kompak banget bisa pilih model yang sama. Alhamdulillah, selama ini Khaira memang selalu mengikuti apa printah kakaknya. Saking loyal, gaya rambut maupun berpakaian, seringkali meniru kakaknya. Ya, nggak apa-apa juga sih selama yang ditiru itu baik.

Kurang lebih setengah jam, Anjani dan Khaira selesai juga dipotong rambut mereka. Alhamdulillah, hasil potongan dua hairstaylist itu luar biasa. Baik Anjani dan Khaira menyukai rambut mereka yang baru ini. Kami pun melihat mereka lebih cantik dan dewasa.

"Adik jadi lebih cantik kan, Pap?" ujar Khaira memuji.

"Iya dong!"

"Sekarang adik jadi lebih cantik dari Princess, kan?"

"Pastinya!"


all photos copyright by Jaya

Kamis, 01 April 2010

MENAMBAH EMPAT HATI

Kalo dipikir-pikir, Khaira itu paling rajin bikin surat. Baik itu surat yang cuma gambar pria dewasa dengan tulisan ‘papa’ atau wanita dewasa bertuliskan ‘mama’, buat dia itu termasuk surat. Difinisi surat buatnya memang masih sederhana, yakni ada gambar atau tulisan di dalam sebuah kertas yang kemudian dilipat-lipat.

Pagi ini, Khaira membuat surat lagi. Saya baru saja bangun. Mata belum benar-benar terbuka dengan sempurna. Namun Khaira sudah meminta saya membuka sebuah surat. Sebuah surat buat Papa dan Mama.

Ini maksudnya apa, Dik?” tanya saya, mencoba mengajak Khaira berani mengutarakan pendapatnya.

Ini gambar papa dan di atas adalah gambar hati,” jelas Khaira.

Di dalam surat itu ada sebuah gambar pria dewasa dengan sebuah hati di atas gambar tersebut. Pria dewasa itu nggak lain adalah saya, Papanya Khaira. Di samping gambar saya, ada gambar wanita dewasa dengan empat buah hati. Saya mulai menebak-nebak, kenapa saya cuma dikasih satu hati, sedangkan istri saya empat hati. Kayaknya saya mengerti…

Ini maksudnya, adik lebih sayang Mama daripada papa,” ucap Khaira.

Istri yang mendengarkan putri kedua saya menjelaskan itu tersenyum.

Oh jadi adik nggak sayang papa?” tanya saya berusaha menggali ucapan Khaira sebelumnya.

Sayang, tapi adik lebih sayang mama.”

“Yasudah kalo begitu, papa pergi dulu ya. Papa mau di kamar saja sendiri…”

“Ah, papa,” Khaira merengek sambil memegang kaos saya.

“Adik kenapa? Adik kan nggak begitu sayang papa?”

“Ah, papa. Papa gitu deh,” rengek Khaira lagi.

“Gitu kenapa?” tanya saya lagi. “Udah ah papa mau ke kamar dulu ya…”

Saya langsung kabur. Naik ke lantai atas. Rupanya Khaira mengejar saya di belakang. Namun karena langkah saya lebih cepat, Khaira jadi nggak bisa menangkap saya.

Saya kemudian masuk ke kamar dan menutup pintu. Khaira mencoba mendorong-dorong pintu, berusaha masuk. Tapi tenaga saya tentu lebih kuat dari Khaira. Rupanya Khaira cuma beberapa kali mendorong-dorong pintu. Ia tahu, nggak akan mungkin mengalahkan saya. Nggak heran kalo kemudian, ia meninggalkan pintu kamar dan entah apa yang akan dilakukan selanjutnya.

Nggak lama kemudian, sebuah kertas dimasukkan dari bawah kolong pintu kamar, dimana saya sedang tidur-tiduran. Rupanya kertas itu adalah surat yang tadi, yakni surat yang berisi gambar pria dewasa dengan satu hati dan wanita dewasa dengan empat hati, yang artinya Khaira lebih sayang ke istri saya daripada ke saya.

“Tuh adik sudah tambahin hatinya,” kata Khaira sambil membuka pintu kamar.

“Maksudnya apa ini?” tanya saya, pura-pura nggak tahu.

Ada perubahan di hati. Khaira rupanya menambahkan empat hati di atas gambar pria dewasa, yakni saya. Sementara wanita dewasa diberi satu hati lagi. Jadi masing-masing gambar memiliki lima hati.

“Artinya adik sayang ke Papa dan Mama sama,” ujar Khaira sambil tersenyum.

Duh, nikmatnya mendapatkan pengakuan dari anak sendiri seperti itu. Hati saya plong banget. Siapa orangtua yang nggak senang disayang oleh anaknya? Ending dari kisah ini, Khaira merentangkan kedua tangannya, seolah ingin memeluk badan saya. Saya pun membuka kedua tangan saya. Kami pun saling berangkulan. So romantic!

Senin, 22 Maret 2010

KHAIRA SI PENJUAL DONAT

Cerita di bawah ini adalah cerita yang didiktekan langsung oleh Khaira. Saya sama sekali tidak memperbaiki kalimat-kalimat yang diucapkan putri kamu kedua ini. Semuanya murni datang dari ucapan Khaira. Saya cuma menambahkan titik, koma, dan paragraf saja.

Judul cerita ini adalah KHAIRA SI PENJUAL DONAT. Judul ini juga asli dari gagasan Khaira. Saya nggak mengintervensi gagasannya. Selamat membaca!

Aku Khaira penjual donat. Aku akan membuat donat yang spesial untuk pelanggan. Uang yang dikasih oleh pelanggan akan ditaro di celenggan, karena aku mau beli permainan kesukaan aku.

Para yang mau donatku, uangnya banyak. Yang satu aku tabung. Yang satu, aku beli untuk beli permainan.

Aku senang mempunyai uang, karena aku penjual donat yang terhebat di seluruh dunia. Aku senang menjadi penjual donat.

Nanti kalo aku sudah besar, aku akan menjadi guru.



Ada lagi cerita Khaira yang didiktekan ke saya di malam yang sama. Entahlah kenapa tiba-tiba Khaira dapat ide dua kisah ini dalam satu malam. Sudah begitu, saya pula yang disuruh mengetik di komputer. Ah, tak apalah. Yang penting Khaira senang.

Judul cerita Khaira kali ini adalah BADUT KESAYANGANKU. Kenapa judulnya itu? Sebeb, selama ini Khaira punya beberapa boneka. Boneka badut adalah boneka kesayangannya. Kenapa sampai disayang? Silahkan membaca!

Aku suka boneka badutku, karena dia 'nyot-nyot'. Kalo aku tidur aku memakai badut kesayanganku. Jika kalo dia hilang aku tidak bisa tidur.

Semalaman aku tidur bersama binatang bonekaku saja. Yang lumba-lumba. Itu namanya Gezy. Karena dia juga 'nyot-nyot.

Aku sayang kepada semua binatang atau boneka yang 'nyot-nyot'.

Selesai deh. Cerita dari Nabi Muhammad.



Ini dia badut kesayangan Khaira yang selalu menjadi teman tidur.









Pasti setelah membaca kisah BADUT KESAYANGANKU ini ada kata-kata yang membuat Anda bingung, ya kan? Salah satnya 'nyot-nyot'. Apa sih 'nyot-nyot' itu? 'Nyot-nyot' adalah istilah kami ketika Khaira sudah menggosok-gosokan kulitnya ke kain si badut. Menurut Khaira, kain di badut itu lembut dan enak buat digosok-gosokkan ke kulitnya.

Itu memang salah satu kebiasaan Khiara, menggosok kulit tangannya ke kain yang lembut. Nah, pada saat mengosok, mulut Khaira monyong seperti ikan maskoki. Kebiasaan seperti itulah yang kami sebut sebagai 'nyot-nyot'. Biasanya kalo Khaira sudah melakukan adegan 'nyot-nyot', itu tanda-tanda putri kami ini akan tidur. Tentu saja tidur dengan badut kesayangannya itu atau boneka yang bahan bakunya enak buat digosok-gosok oleh Khaira.

"SOALNYA KATANYA KEMAHALAN."

Kisah ini masih soal donat. Maklumlah, kisah soal donat dan bagaimana Khaira berjualan cukup menarik kami sebagai bahan obrolan keluarga. Lebih dari itu, penjualan donat yang Khaira lakukan ini adalah baru pertama kali. Beda sama kakaknya, Anjani, yang sudah berkali-kali jualan kue buatan istri saya tercinta.

"Pap, tahu nggak? tadi bu Lina juga beli donat," kata Khaira.

"Oh ya? Wow?! Luar biasa banget! Hebat! Lalu temen-teman adik gimana?" tanya saya penasaran. Hebat banget Khaira bisa menawarkan jualan donatnya ke bu Lina. Oh iya, bu Lina ini adalah guru kelas Khaira.

"Widian nggak jadi beli, Pap," ucap Khaira.

"Lho kenapa?"

"Nggak tahu! Sebenarnya Levina mau beli, tapi dia nggak masuk."

Widian itu adalah teman sekelas Khaira yang beberapa hari sebelumnya tertarik buat membeli donat. Sedangkan Levina juga teman sekelas Khaira. Beda dengan Widian, kalo Levina sudah bayar Rp 2.000 buat beli donat. Ingat kisah saya sebelum ini kan? Dimana Khaira menerima uang Rp 2.000 dari Levina dan uangnya langsung masuk celengannya tanpa menyetor terlebih dahulu ke istri saya?

"Lalu siapa lagi yang beli donat adik?"

"Oh, Salma. OK. Salma beli berapa donat?"

"Salma ambil 5 donat."

"Wow, hebat sekali! Terus Salma bayar berapa dik?"

"Dua ribu."

"Lho, kenapa dua ribu? Harusnya kalo ambil lima donat bayarnya kan lima ribu? Adik tahu kan hitung-hitungannya?"

"Iya, adik tahu. Satu donat seribu, kalo lima donat limaribu. Tapi kata Salma, bayarnya dua ribu aja, soalnya katanya kemahalan kalo bayar 5000."

Walah! Ada-ada saja!

UANG DONATNYA DIMANA, DIK?

Tibalah hari Senin. Hari ini, Khaira sudah membawa donat yang sudah dibuatkan oleh istri saya. Ada sekitar dua kardus yang Khaira bawa, dimana masing-masing kardus berisi 5 donat.

"Hari ini adik jualan donat dong ya?" goda saya. "Moga-moga laku ya, Dik?"

Khaira cuma tersenyum. Nggak menjawab sepatah kata pun. Entahlah, nggak biasanya ia begitu. Padahal saya nggak sedang 'marahan' dengan putri kami ini, begitu pula dengan istri saya. Sebelum saya mencoba bertanya kayak begitu, saya nggak membuat Khaira bete, kok.

"Yang sudah bayar donat siapa aja, Dik?" tanya istri saya, yang seperti biasa duduk di kursi belakang di mobil kami.

"Levina," jawab Khaira singkat.

"Bayar berapa, Dik?" tanya istri saya lagi.

"Dua ribu."

"Lalu Adik mau kasih berapa donat ke Levina nanti?"

"Tiga donat," ucap Khaira.

"Lho, kok tiga donat? Kan harga satu donat 1000 rupiah, Dik? Kalo harga donat 1000 rupiah, berarti kalo 3 donat berapa, Dik?"

"Tiga ribu."

Matematika Khaira memang jago. Kami kira ia nggak mengerti hitung-hitungan soal donat di atas tadi. Kami pikir Levina enak sekali bisa mendapatkan tiga donat, tetapi bayarnya cuma Rp 2.000. Boro-boro mikirin untung, biaya produksi bikin donat nggak bakal nutup.

"Berarti nanti Levina kurang 1000 rupiah ya, Dik. Nanti adik bilang Levina ya?"

"Ya, Ma."

"Ngomong-ngomong tadi kan adik bilang Levina sudah ngasih uang 2000 ke adik. Nah, terus uang duaribu untuk beli donatnya ada dimana, Dik?"

"Dimasukkan ke tabungan adik."

Seketika kami tertawa terbahak-bahak. Mungkin buat Anda nggak lucu, tetapi kalo mendengar jawaban Khaira yang spontan soal duinya Levina, Anda pasti ngakak, apalagi melihat wajah polos Khaira. Dimana ia nggak ngerti kalo setiap menjual kue itu harus menyisihkan biaya produksi dan keuntungan. Ia nggak tahu kalo uang dari Levina itu harus diberikan dulu pada istri yang sebagai pembuat kue, baru setelah itu honor buat Khaira sebagai penjual diberikan. Khaira, Khaira, lucu banget sih kamu!

Sabtu, 20 Maret 2010

MAKSA BIKIN DONAT

Hari ini hari Jum'at. Seperti sekolah-sekolah lain, hari Jum'at merupakan hari terakhir anak sekolah belajar. Begitu pula buat Khaira. Memang sih ada sebagian sekolah yang belum meliburkan muridnya alias Sabtu masih masuk.

Biasanya kalo sudah masuk Jum'at, kedua anak kami langsung tanya: "Besok kita liburan kemana, Pap-Ma?" atau "Besok makan atau pergi ke mal mana, Pap-Ma?" Ya, biasalah, kalo kami nggak merencanakan pergi ke luar kota, biasanya weekend kami isi dengan jalan-jalan seperti kebanyakan keluarga. Kalo nggak ke makan di restoran, belanja di mal, atau liburan yang bermanfaat kayak ke museum.

Anehnya, weekend kali ini mereka nggak tanya begitu, khususnya Khaira. Putri kedua kami justru punya rencana lain. Apa itu?

"Ma, besok bikin donat ya?" tanya Khaira.

Lho, kok tiba-tiba minta dibikinin donat ya? Padahal hari sebelumnya kami nggak pergi ke J-co atau Dunkin Donnats yang harganya lebih mahal itu. Memang biasanya kalo kita habis pergi ke restoran, ada saja inspirasi untuk membuat makanan sesuai restoran itu. Misalnya ke Pizza Hut, baik Anjani maupun Khaira minta dibuatkan pizza atau spaghetty. Atau ke restoran ayam bakar, mereka minta dibuatkan babi bakar, eh salah ayam bakar. Maklumlah, istri saya jago masak. Jadi, mumpung jago masak, ya istri saya 'dikerjain' sama anak-anak buat urusan eksperiment masakan.

"Soalnya temen-temen ade ada yang pesen donat," tambah Khaira lagi.

Kalo istri saya harus bikin donat hari Sabtu, padahal hari Sabtu sekolah Khaira libur, maka donatnya jadi nggak enak. Jadi basi. Hal inilah yang coba ingin dijelaskan istri saya pada Khaira.

"Nggak bisa sayang," ucap istri saya. "Besok Minggu ya bikin donatnya?"

"Kalo begitu Mama tidur dulu aja, nanti malam bangun lagi buat bikin donat ya?" atur Khaira yang masih juga nggak mengerti.

"Nggak bisa sayang. Donat itu nggak bisa lama-lama. Nanti donatnya basi. Masa temen-temen adik mau dikasih donat basi?"

"Kalo begitu Mama bikin donatnya pagi-pagi aja," ucap Khaira masih maksa. Yang dimaksud pagi-pagi adalah hari Jum'at pagi.

"Nggak bisa sayang. Bikin donat itu nggak bisa sebentar. Nanti kalo pagi bikin donat, Mama nggak bisa antar adik dong?"

Obrolan soal donat pun berakhir. Kami sudah mengantarkan Anjani dan Khaira ke sekolah, setelah itu kami pergi kerja. Seperti biasa, sebagai suami yang baik (ehem!), saya antar istri terlebih dahulu, baru ngurusin urusan saya.

Beberapa jam kemudian. Biasanya di film kalo mempercepat durasi pakai kalimat seperti itu kan? Misalnya NEXT 2 YEAR atau AFTER 3 YEARS LATER. Nah, khusus kisah donat ini, saya pakai kalimat: BEBERAPA JAM KEMUDIAN.

Sore hari sepulang kerja, saya bejumpa lagi dengan Khaira. Eh, kok pakai kata-kata 'lagi' ya? Harusnya kan nggak usah? Wong pasti ketemu tiapa hari. Maksudnya pulang kerja orang pertama ketemu adalah putri saya ini yang bernama Khaira. Belum juga bernafas dengan teratur, Khaira langsung menodong saya.

"Pap, besok bantu Mama bikin donat ya?" ajak Khaira. "Soalnya teman-teman adik banyak yang pesan, nih."

Duh, maksa banget sih nih Khaira. Nggak lihat Papa-nya masih ngos-ngosan pulang kerja kali ya? MAsih persoalan donat pula! Nggak istri saya, saya pun jadi dipaksa buat bantu bikin donat. Padahal saya tahu, bikin donatnya bukan hari Sabtu besok, tetapi masih lusa.

Untunglah kami punya jatah kesabaran lebih dari 1 juta. Tiap dipaksa oleh anak-anak kami, nggak pernah marah-marah atau protes. Desakan atau paksaan dari anak kami, kami tanggapi dengan senyum. Namanya juga anak-anak. Kadang mereka belum ngerti kalo sesuatu hal itu nggak bisa diburu-buru. Kudu direncanakan dengan matang.

Minggu, 14 Maret 2010

MAIN PASIR DI ANCOL

Tiba-tiba saja Khaira ingin main pasir. Keinginan ini terus terang sudah lama nggak saya dengar. Saya nggak tahu angin ribut apa yang membuat putri kedua kami ini nafsu banget ingin main pasir.

"Coba tanya Papa sana," kata istri saya pada Khaira.

Setiap kali salah satu anak kami ingin minta sesuatu atau ingin pergi ke tempat mana pun, selalu minta izin terlebih dahulu. Tergantung siapa orang yang pertama kali diajak bicara. Kalo yang pertama kali diajak bicara adalah saya, maka saya minya anak saya tanya ke istri saya. Sebaliknya begitu, kalo anak saya bicara dengan istri, maka saya yang akan ditanya terakhir.

"Boleh nggak adik main pasir di Ancol, Pap?"


Saya ingin sekali membuat goyonan begitu Khaira memohon kayak begitu. Saya ingin bilang, kenapa harus di Ancol? Main pasir kan nggak harus pergi ke Ancol. Main pasir bisa di toko matrial yang jual pasir. Kita bisa pergi ke situ dan main pasir di toko itu. Tetapi itu tergantu dari izin si pemilik matrial, diizinkan atau malah diusir. Yang pasti sih nggak mungkin diizinkan.

Baiklah kalo nggak diizinkan main pasir di toko material, gimana kalo saya belikan pasir di toko matrial segerobak lalu pasir diletakkan di halaman saya? Itu juga kayaknya nggak membantu ya? Masa halaman rumah saya yang asri itu mau ditimbun pasir? Kayaknya nggak ok banget, deh! Oleh karena nggak berkutik lagi, ya kayaknya Ancol jadi pilihan terakhir.

"Baiklah! Besok kita ke Ancol ya..."

Jauh sebelum permohonan main pasir ini, sebetulnya kita sempat melakukan hal yang sama. Tetapi peristiwa itu sudah lama sekali. Ya, kira-kira ada sekitar 200 tahun yang lalu. Eh, becanda kali! Nggak mungkin 200 tahun, wong kita aja umurnya belum sampai segitu dan kayaknya nggak mungkin. Lagipula 200 tahun yang lalu Ancol belum seperti sekarang. Masih jadi tempat jin buang anak.

Akhirnya sampailah juga kita di Ancol. Ketika kami ke Ancol, kendaraan di pintu masuk belum sepadat biasanya. Maklum, barangkali hari masih terlalu pagi buat mereka yang berrekreasi ke Ancol. Waktu di jam tangan istri baru menunjukan pukul 09.45 wib.

Seperti orang yang sedang merindu, begitu menginjakkan kaki di pantai Ancol, Khaira langsung berlari munuju pasir putih. Bersama Anjani dan asisten kami Ayeh, mereka membuat istana pasir. Mumpung mereka fokus pada permainan pasir-pasiran itu, kesempatan saya dan istri buat pacaran. Hahaha, menikmati angin Ancol yang sepoi-sepoi. Widih! Romantis banget! Kayak di Bali gitu, euy!

KUNJUNGAN SALMA KE RUMAH

Salma adalah teman sekelas Khaira yang paling akrab. Saking akrabnya, dua anak ini nggak bisa dipisahkan satu sama lain. Ibarat pepatah, ada gula ada semut. Ada Khaira ada semut. Eh, salah! Maksudnya dimana ada Khaira, ya di situ pasti ada Salma.

Sejarah bagaimana mereka menjadi akrab sebenarnya tejadi baru lebih dari setahun ini, ya ketika Khaira dan Salma selalu satu kelas di TK At-Taqwa, Rawamangun, Jakarta Timur, yakni dari kelas A1 dan sekarang di B2.


Khaira dan Salma sedang mengisi soal yang saya buat di whiteboard.

Di dalam kelas, mereka berdua selalu satu meja. Nggak cuma semeja, tetapi juga selalu bergandengan kalo jalan. Kebetulan ukuran tubuh mereka sama. Yang nggak kompak cuma celana dalam. Nggak mungkin kan celana dalam mereka sama? Misalnya kalo Salma pakai celana dalam warna pink, Khaira kudu menyamakan celana dalamnya dengan warna pink. Atau tuker-tekeran. Ah, itu mah najis tralala!

Sabtu ini, rumah kami kedatangan Salma. Mamanya mengantarkan Salma pagi-pagi. Oleh karena Salma mau datang pagi-pagi, Khaira membangunkan kami pagi-pagi juga. Sebetulnya setiap hari kami memang bangun pagi-pagi. Kami bangun 4.35 wib. Tetapi hari, hari dimana kami harus bangun pagi-pagi juga kebetulan hari Sabtu.

Buat kami, Sabtu harus menjadi satu dari tujuh hari yang menjadi hari 'termalas' di seluruh dunia, khususnya di pagi hari. Kita memang tetap sholat Subuh, tetapi habis sholat Subuh, ya tidur lagi, bo! Sampai waktu yang ditentukan. Nggak olahraga? Kalo Sabtu jarang berolahraga, tetapi kalo Minggu, itu wajib! Nah, ketika Khaira meminta kami bangun pagi di hari Sabtu, bukan main sebal rasanya.

"Masih pagi, Dik," jawab saya di atas ranjang, dengan intonasi malas.

"Salma mau datang, Pap," ucap Khaira.

"Lalu kenapa?"

"Adik mau mandi dan kita harus menyambut Salma."

Busyet! Nih anak sok ngatur amat ya? Kecil-kecil sudah ngatur Papa dan Mama-nya. Pake acara menyambut Salma segala pula. Tapi sebagai Papa yang mencoba baik, saya kudu menghormati anak saya yang ingin menghormati kedatangan sahabatnya itu. Ya, terpaksa saya ber-rock n roll lagi deh! Maksudnya, mandi pagi di hari Sabtu nan cerah ceria.

Salma pun datang. Eng ing eng!

Setiap kali teman-teman anak saya datang ke rumah, saya dan istri selalu berusaha menjadi temen-teman mereka juga. Ini memang strategi saya supaya kami bisa dekat dengan mereka, begitu juga sebaliknya. Alhamdulillah, kehadiran kami nggak menganggu mereka.

Ketika Salma datang, saya pun berusaha menjadi teman Salma. Khaira antusias banget menjadikan saya partner saat bermain, begitu juga Salma. Kadang saya pun membuat permainan yang mencoba mengajak mereka berinteraksi. Bermain sambil belajar.

"Sekarang cepat-cepatan isi soal ya?" ajak saya. "Siapa yang cepat, jadi juara."

Dan saya pun membuat soal di whiteboard, yakni sebuah hitung-hitungan sederhana. Baik Khaira maupun Salma diberikan spidol masing-masing untuk mengisi hitung-hitungan sederhana yang saya buat.

Saya juga membuat permainan lain, yakni tebak-tebakan meniru salah satu program di Disney Channel, yakni memasang-pasangkan gambar yang tepat. Di sebelah kiri misalnya gambar payung, sedang gambar di sebelah kanan gambar awan yang ada air hujan. Nah, kalo kedua gambar itu tepat, maka ditarik garis ke gambar yang tepat itu.

Seru, pokoknya main dengan teman-temannya anak kami! Ya, meski kadang saya sebagai orangtua harus ikutan joged ala High School Musical, saya nggak peduli, yang penting bisa dekat dengan mereka.

Minggu, 07 Maret 2010

HORE! ADIK JUARA!

Setelah mengidam-idamkan piala, akhirnya Khaira dapat juga. Tarian yang ia dan teman-teman di sekolahnya tarikan di Ancol, berhasil meraih juara. Nggak tanggung-tanggung, juara pertama, bo! Bukan se-Jakarta Timur, Pusat, atau Selatan. Tetapi juara tari tingkat Jakarta. Luar biasa, bukan?!

Sebenarnya kemenangan ini sudah diprediksi. Setidaknya ada dua prediksi yang menguatkan sekolah TK At-Taqwa menjadi juara. Pertama, guru tarinya membuat strategi yang nggak terpikirkan oleh kami sebagai orangtua murid. Perlu diketahui, TK At-Taqwa mengirimkan dua tarian. Nah, kedua tarian ini dipisahkan dalam dua panggung berbeda.


Piala Khaira dan teman-temannya nari di Ancol. Akhirnya impian menjadi kenyataan, punya piala, euy!

Prediksi kedua, tentu saja anggota penari sudah cukup berlatih menarinya. Setiap hari, mulai Senin sampai Jumat, setelah selesai sekolah sekitar pukul 10.30 wib, mereka berlatih.

"Ibu-ibu yang nonton takjub. Anak-anak menari dengan penuh semangat dan percaya diri," ujar istri mengomentari tarian yang bawakan Khaira beserta teman-temannya di Ancol dalam rangka Bina Prestasi se-Jabotabek ini.



Piala itu kini dipajang di samping piala Anjani, yang kebetulan piala kejuaraan menari juga saat Anjani di TK Ar-Rahman, Kuningan dahulu kala. Sebenarnya piala Anjani itulah yang menjadi salah satu motivasi Khaira buat terus menari dan mendapatkan piala. Alhamdulillah, impian putri kedua kami ini terwujud juga.

"Nanti kalo piala adik nggak cukup, pialanya ditaro dimana, Pap?" tanya Khaira.


Piala Khaira (kiri) dan piala Anjani (kanan). Dua-duanya piala dari lomba tari. Kebetulan istri saya memang mantan penari profesional.

Lucu juga anak ini, baru dapat satu piala, sudah menghayal akan mendapatkan beberapa piala lagi dan menurutnya nggak akan ada tempat lagi buat meletakkan piala-piala itu.

"Adik ikut lomba aja terus dan dapat piala, baru nanti Papa dan Mama pikirkan akan meletakkan piala-piala adik, ya?" ujar saya mencoba bernegoisasi.

"Iya, tapi piala-piala adik nanti ditaro dimana?"

Halah! Cape, deh!

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Kamis, 04 Maret 2010

IKANNYA MATI, PAP...

"Papa, adik dapat ikan," kata Khaira dari seberang telepon.

Ikan? Saya heran. Benar-benar heran. Setahu saya pagi tadi Khaira pergi ke sekolah, bukan memancing atau menjala ikan di laut. Oh iya, bukan cuma ke sekolah, tetapi melakukan outbond di Cibubur, tepatnya di Telaga Arwana Cibubur (TAC). Tapi kenapa bisa dapat ikan ya?

"Pokoknya papa cepat pulang ya?"

Lucu juga putri kedua saya ini. Kebiasaannya memang begitu. Setiap ada sesuatu yang akan ditunjukan pada saya, saya selalu didesak buat segera pulang ke rumah. Nggak cuma perkara ada ikan ini, tetapi sebelum-sebelumnya, ia juga sempat mendesak saya pulang dari kantor buat melihat apa yang akan ia tunjukan ke saya.

"Oh iya, kalo pulang jangan lupa bawa makanan ikan ya, Pap," pinta Khaira.

"Baik sayang," jawab saya.



Saya membayangkan, Khaira sedang menikmati ikan yang saat ini menjadi 'tamu' di rumah kami. Ia memercikkan air di bak agar ikannya bisa kesana kemari. Ketika telepon, saya lupa menanyakan jenis ikan yang ada di rumah. Tapi, ah, kayaknya nggak penting juga, karena Khaira pasti nggak ngerti. Buat dia, jenis ikan apapun ya namanya tetap ikan. Maklumlah, anak 5 tahun. What do we expect? Yang penting jangan ikan hiu atau ikan lele aja.

Sayang seribu kali sayang, ternyata saya nggak bisa memenuhi janji. Saya nggak bisa pulang cepat. Ada beberapa pekerjaan yang kudu saya selesaikan di kantor. Terlalu malam pula saya ngecek ikan yang digembar-gemborkan oleh Khaira. Ya, terpaksa pagi harinya saya ingin melihat ikan itu.

Penasaran juga sih. Ikannya kira-kira seperti apa ya? Gedekah? Kerenkah? Benar-benar penasaran. Tapi ya nggak bisa melakukan apa-apa selain menunggu pagi hari dan melihat dengan jelas ikan itu.

Kukuruyuuuuuuukkk!!!!

Saya buru-buru menjumpai Khaira. Sebelum saya mengantarnya ke sekolah, ia harus mengajak saya melihat ikan itu.

"Mana ikannya, Dik?" tanya saya.

"Papa bawa makanan ikannya nggak?" tanya Khaira balik.

"Maaf ya, Dik, Papa nggak sempat beli. Tapi nanti Papa pasti beli, deh. Tapi sekarang Papa mau lihat ikannya. Dimana ikannya, Dik?"

"Ikannya mati, Pap," ujar Khaira.

Selasa, 02 Maret 2010

DUA PRIA DI ANTARA 15 IBU

Setidaknya judul di atas menggambarkan kejadian hari ini. Bahwa saya adalah salah seorang bapak dari dua bapak yang hadir menyaksikan anak kami menari di Taman Impian Jaya Ancol di Selasa ini. Saya dan seorang bapak, berada di antara 15 ibu yang mendampingi anak mereka menari.

Banggakah?

Pastilah! Saya berani jamin, semua anak ingin orangtua mereka melihat diri mereka tampil dalam suatu aktivitas, entah itu pertandingan olahraga atau pentas seni. Bukan cuma pada saat Sabtu atau Minggu, tapi pada saat weekdays, mereka ingin papa dan mama mereka eksis. Alhamdulillah, saya dan istri berhasil melihat Khaira tampil dalam sebuah perlombaan tari. Bukan main wajahnya ketika kami berdua ada dan melihat ia berlanggak-lenggok di panggung Pasar Seni Ancol.


Saya (berkacamata) menjadi supir teman-teman Khaira yang hendak berlaga di lomba nari Ancol.

Buat kami, sebisa mungkin setiap event 'besar', seperti perlombaan olahraga atau pentas seni, kami prioritaskan buat hadir berdua. Apalagi kalo pada saat menerima rapot, wah kami kudu hadir berdua lah yau. Nggak ada acara yang lebih penting daripada menerima raport anak. Nggak ada pekerjaan lebih utama ketimbang hadir ke sekolah buat mengambil raport. Sebab, kami ingin sama-sama mendengar apa kelebihan dan kekurangan anak kami.

Hari ini, pentas seni, dimana Khaira dan kewan-kawannya akan berlomba dengan sekolah-sekolah lain. Tentu jadwal menari sudah diketahui kami jauh-jauh hari. Itulah mengapa kami sudah siap sedia datang. Kebetulan saya bisa punya waktu setengah hari, dan istri kebetulan cuti. Kalo misal nggak mendapatkan izin dari atasan, kami tetap berusaha buat hadir melihat Khaira manggung. Kami yakin, kehadiran kami lebih penting daripada sekadar mendapatkan uang. Ngapain juga cari uang buat anak, sementara event yang dibutuhkan kehadiran kita nggak bisa kita berikan pada anak kita?

Seru! Seru banget! Sebelum pentas pun banyak kejadian yang bikin saya terharu plus bangga. Bahwa ternyata saya sangat dicintai oleh Khaira. Bahwa ia tahu siapa bapak-nya, apa kebiasaan saya, tingkah laku saya, dan mengenai saya, saya, dan saya lain.

"Papaku mah suka foto," kata Khaira pada teman-temannya di dalam mobil.

Pagi itu, mobil kami memang ditumpangi oleh teman-temannya Khaira. Ada tujuh orang yang ada di dalam mobil kami. Saya dan istri di bangku depan. Di bangku tengah ada empat orang anak, termasuk Khaira. Sisanya di bangku belakang ada tiga orang anak. Semua anak berjenis kelamin wanita. Mereka sudah didandani dengan memakai kostum tari.




Dalam perjalanan, saya sengaja menghidupkan CD yang berisi lagu-lagu anak. Eh, rupanya lagu itu menarik minat anak-anak menyanyi. Memang sih ada yang malu-malu, nggak menyanyi. Tapi dari ketujuh anak, rata-rata menyanyi. Nggak heran, di dalam mobil terjadi kehebohan yang luar biasa. Heboh yang dimaksud adalah berisik saudara-saudara. Tetapi saya suka. Kami suka kehebohan itu, karena dengan begitu mobil kami menjadi bermakna. Maksudnya apa ya?

Entah kenapa, tiba-tiba di tengah mereka menyanyi, kostum salah seorang teman Khaira copot. Kalo nggak salah kerudungnya deh. Nah, kebetulan kami nggak bisa membantu membetulkan. Maklumlah, mobil sedang melaju, sehingga butuh konsentrasi. Eh, Khaira mengluarkan kata-kata yang buat saya sangat menyejukan dan saya yakin kata-kata itu jujur, keluar dari hatinya.

"Nanti aja dibenerin kostumnya sama papaku," ujar Khaira. "Papaku kan jago!"

Terus terang saya nggak berpikir kata 'jago' yang anak kami maksud adalah saya mirip ayam jago. Atau saya sering minum jamu cap jago. Saya percaya, kata 'jago' yang Khaira maksud ya, saya adalah papa yang membanggakan buatnya. Widih! Kok narsis ya? Ah, terserahlah. Anda nggak boleh ngiri, tetapi Anda pasti bisa dan jauh lebih 'jago' dari saya.


Anyway, kata 'jago' sungguh memotivasi saya sebagai papa dari anak-anak kami, Anjani (11 tahun) dan Khaira (5 tahun). Mereka adalah bidadari kecil kami yang luar biasa. Jadi sungguh sangat sedih kalo kami menyia-yiakan mereka. Itulah mengapa kami bela-belain melihat dari dekat Khaira pentas. Dan rupaya kehadiran kami memotivasinya pada saat menari. Khaira menari dengan sangat luar biasa.

"Tapi adik belum dikasih piala, Pap," ujar Khaira polos.

Dalam hati saya berkata: "It's ok, nak. Tampilnya kamu di atas pentas, menari dengan penuh semangat, adalah jauh lebih berharga dari sekadar piala."

Bukankah piala bisa kita beli?

Minggu, 28 Februari 2010

"KATA BU DIAH PONINYA HARUS DIPOTONG."

Bu Diah yang dimaksud Khaira nggak lain nggak bukan adalah guru tari di sekolah At-Taqwa, kompleks Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jakarta Timur. Sebelumnya, bu Diah juga sempat mengajar anak kami yang kedua ini, ketika masih duduk di TK A alias "taman kanak-kanak nol kecil".

Khaira memang selalu nurut apa kata bu Diah. Bukan berarti ia nggak nurut sama kami, lho. Ia nurut pada satu perintah yang menurut logikanya masuk akal. Itulah yang kami suka. Kalo nggak masuk akal, dia biasanya protes. Kenapa begitu? Kenapa begini? Pokoknya protes lah!


Sebenarnya dengan guru yang mengajarnya, Khaira selalu patuh. Ketika diajar bu Diah, anak kami ini nurut. Begitu diajar bu Soffie, apa kata bu Soffie pu, Khaira selalu patuh. Terakhir, Khaira diajar oleh bu Lina. Dengan guru ini pula, Khaira nurut. Buat kami, selama guru itu memberikan perintah yang logik, it's ok. Baguslah murid patuh dengan guru. Kebetulan apa yang diajarkan guru-gurunya di sekolah sama dengan yang kami ajarkan di rumah. So, klop kan?

Nah, nggak lama lagi Khaira akan menari. Ceritanya anak-anak di TK-nya mengikuti perlombaan menari di Taman Impian Jaya Ancol. Menurut bu Diah, Khaira kudu memotong poni rambutnya. Oh iya, sudah beberapa bulan ini Khaira nggak mau potong rambut. Katanya, rambutnya biar dipanjangin supaya mirip Barbie. Selain rambut, poninya pun ikut-ikutan nggak dipotong. Makanya jangan heran, poninya sudah sampai menutupi hidungnya. Apa geli ya?

"Soalnya kalo nggak dipotong rambutnya bisa nyangkut," katanya memaksa istri saya buat memotong poninya. Kebetulan selama ini istri sayalah yang jadi tukang potong rambut.

"Poninya kan bisa diikat, Dik?" tanya istri saya.

"Iya. Tapi kata bu Diah tetap harus dipotong," ucap Khaira tetap pada pendiriannya.

Ah, akhirnya Khaira mau juga memotong poni rambutnya. Kemarin susahnya minta ampyun. Kalo bukan karena bu Diah, barangkali poninya terus dibiarkan panjang sampai menutupi mulut kali. Memang sih Barbie punya rambut panjang. Tapi kan Barbie nggak ikut nari di Ancol besok.