Selasa, 29 Desember 2009

ULANG TAHUN DI HONG KONG DISNEYLAND

Judul di atas bukan sudah terjadi, tetapi baru direncanakan. Yang merencanakan adalah Anjani, anak kami yang pertama. Sebenarnya ia belum sempat memberitahukan pada kami soal rencana itu, tetapi kami sempat menemukan sebuah undangan ulang tahun buatannya, dimana dalam undangan itu tertulis begini:

My Friend datanglah ke pesta ulangtahunku yang ke-11 pada:

Hari/ Tanggal : 20 Februari 2010
Waktu : 17:00 wib
Tempat : Hongkong Disneyland


Perkara merayakan ulang tahun tentu relatif mudah. Sebab, hampir setiap tahun kami pasti merayakan ulang tahun anak-anak kami. Mohon jangan membayangkan perayaan ulang tahunnya selalu di tempat-tempat yang mahal. NO! Kadang perayaan ulangtahunnya dilakukan di tempat-tempat yang murah meriah. Itu pun dirayakan cuma kami berempat: saya, istri saya, Anjani, dan adiknya Khaira.



Dua gambar Khaira (5 tahun) yang bercerita soal anak-anak yang sedang merayakan ulangtahun.

Yang membuat kami bikin stres setelah membaca undangan buatan anak kami adalah tempat perayaan ulang tahun ke-11 itu, yakni di DISNEYLAND HONGKONG!. Saya yakin, itu keinginan Anjani setelah beberapa kali melihat promo Hongkong Disneyland yang menakjubkan di Indovision.

Apa reaksi kita terhadap keinginan anak kita yang luar biasa itu? Marah dan mengatakan padanya: Are you crazy?! It doesn’t make sense!? Atau justru kita mengabulkan keinginannya?

Dear parents, kami bukan keluarga konglomerat. Kami pun bukan pengusaha yang memiliki omset miliaran atau triliunan rupiah, sehingga bisa seenak udel merayakan pesta ulang tahun di Hongkong Disneyland. Kami juga bukan pejabat yang sebenarnya bergaji pokok lebih rendah dari kami, tetapi karena duit hasil korupsi bisa punya duit dan harta yang luar biasa.

Kami adalah keluarga yang paling mentok merayakan pesta ulang tahun di Kentucky Fried Chicken atau McDonnald. Pernah kami beberapa kali kami merayakan ulangtahun di salah satu Country Club di dekat rumah kami, dimana setelah acara tiup lilin dan anekalomba, anak-anak yang diundang di ulangtahun anak kami bisa berenang, karena di Country Club itu ada kolam renang yang bagus.

Kalo punya duit banyak, kami pun nggak bakal merayakan pesta ulang tahun ke Hongkong Disneyland. Rugi! Mending duit buat perayaan pesta ditabung, didepositokan, atau dibelikan emas, dan kelak akan kami gunakan buat kuliah anak kami di tempat yang terbaik. Yang pergi ke Disneyland cuma kami berempat aja.

Kami nggak akan marah-marah dengan impian Anjani ini. Impian ini justru memacu semangat kami buat mencari uang dan berdoa pada Sang Pencipta agar dilapangkan rezeki. Kami yakin, kalo kita berusaha dan berdoa, Tuhan akan mengerti. Tentu saja doa kami bukan merealisasikan impian anak kami merayakan pesta ulang tahun ke Hongkong Disneyland. Doa kami sederhana saja, yakni diberikan kesehatan dan kesabaran dalam menjalankan kehidupan di dunia ini.



Kok nggak nyambung dengan impian anak kami?

Kelihatannya nggak nyambung, padahal sebetulnya nyambung. Coba kalo kita nggak sehat, mana bisa kita kerja cari uang? Coba kalo kita nggak sabar? Pasti kita pengen dapat uang instan, yakni dengan cara mencuri atau korupsi. Saya yakin, anak kami nggak ingin melihat Bapaknya berada di dalam penjara. Kami yakin 100%, mereka lebih menginginkan Bapaknya berada di dekat mereka, meski tanpa harus merayakan ulangtahun di Hongkong Disneyland, ya nggak?

Senin, 28 Desember 2009

LIBUR TLAH TIBA! HORE! HORE!

Lirik lagu Tasya yang jadi judul tulisan saya ini memang benar. Ketika libur sudah tiba, anak-anak pasti bakal bersorak riang gembira. Hore! Hore! Eit, bukan cuma anak-anak yang mendapatkan jatah libur hampir satu bulan penuh yang bersorak gembira, lho. Tetapi orangtua yang mengalami waktu libur, pasti juga akan melakukan hal yang sama seperti anak-anak, kok. Masalahnya apakah orangtua bisa ikutan libur bareng anak-anaknya atau tidak?

Sebab, meski anak-anak libur, terkadang para orangtua sulit buat mendapatkan jatah libur sama seperti anak-anak. Jatah libur orangtua -khususnya yang bekeja- jelas dibatasi. Mereka yang bekerja biasanya lebih prefer ngambil jatah cuti pada saat menjelang Idul Fitri dan setelah Idul Fitri. Kenapa? Sebab, kehidupan yang sesungguhnya terjadi pada waktu itu, karena para pembantu yang mudik.




Jarang sekali orangtua yang mengambil jatah cuti yang banyak pada saat anak-ana libur. Tetapi ada juga kok yang sebagian orangtua bekerja yang memanfaatkan jatah cuti di saat anak-anak libur. Nah, kami salah satu keluarga yang melakukan itu. Makanya begitu masa anak-anak sekolah libur, kami pun berteriak sebagaimana Tasya menyuarakan di lagu Libur Tlah Tiba.

Libur tlah tiba
Libur tlah tiba
Hore! Hore! Hore!
Simpanlah tas dan bukumu
Lupakan keluh kesahmu
Libur tlah tiba
Libur tlah tiba
Hatiku gembira


Di libur kali ini, kami nggak berkunjung ke luar kota sebagaimana libur-libur sebelumnya. Edisi libur kali ini cukup ngider dari mal ke mal di Jakarta, karena duitnya mau kami tabung buat liburan yang jauh. Jauhnya kemana? Nantikan episode berikutnya ya....hehehe!


Meski cuma di Jakarta, liburan kami tetap seru-seru juga, kok. Buat kami sebenarnya bukan masalah kemana liburannya, tetapi apakah kami sama-sama menikmati liburan itu apa nggak? Sebab, banyak orangtua yang ikut liburan dengan anak-anak mereka, tetapi pikiran orangtua-orangtua tersebut lagi nggak di lokasi liburan. Artinya, mereka nggak menikmati. Masih mikir bisnis, perusahaan yang ditinggal, sibuk telepon sana-sini, main dengan Blackbarry, dan aktivitas yang nggak seharusnya masuk dalam agenda liburan. Nah, kami selalu berkomitmen, kalo sudah berlibur dengan anak-anak ya enjoy 100%. Forget about jobs.

Oh iya, dari buku yang saya baca, pada saat kita bermain dan enjoy bersama, sebenarnya ada hal yang kita dapatkan. Yakni terjalinnya emosi antara orangtua dan anak. Biasanya, dalam situasi yang serba enak, rileks, kita bisa saling terbuka. Anak-anak bisa saling curhat dan kita bisa tahu pandangan anak seperti apa. Alhamdullillah, kedekatan kami dengan anak nggak cuma saat libur kayak begini, sih. Kami bisa melakukan aktivitas gokil-gokilan kapan saja, termasuk pada saat menjelang tidur, kami pun seringkali melakukan kegilaan. Salah satunya, rebutan lapak buat tidur. Seru! Rame!

Kamis, 24 Desember 2009

NYOBAIN KERAK TELOR PLUS TOGE GORENG DI FESTIVAL KEMANG 2009

Bukan norak, bukan sihir, tapi udah lama banget saya nggak merasakan makanan khas Betawi. Terakhir kali, saya makan toge goreng beberapa abad lalu. Sementara kalo makan kerak telor, sekitar bulan Juni, ketika terjadi peristiwa Pekan Raya Jakarta di Kemayoran. Alhamdulillah, saya berhasil mendapatkan apa yang saya idamkan. Dan itu semua saya dapatkan di Festival Kemang 2009 yang berlangsung pada 19-20 Desember 2009 ini.




Menurut Suluh Sugiharto, Asisten Koordinator Bidang Perekonomian Jakarta Selatan -yang penulis kutip dari Republika Newsroom, Minggu (20/12/09)- mengatakan, Festival Kemang ini merupakan kolaborasi antara menggelar seni budaya betawi dan meningkatkan perekonomi dan kesejahteraan para pelaku UKM (Usaha Kecil Masyarakat). Lebih dari itu, yang nggak kalah penting, yakni acara ini diharapkan mampu meningkatkan pariwisata Jakarta, khususnya Jakarta Selatan. Maklumlah, di Kemang kan banyak bule-bule.



Sejak awal, Festival Kemang memang memiliki tujuan mulia tersebut: (1) menampilkan budaya Betawi; (2) peningkatan ekonomi UKM; dan (3) pariwisata. Festival Kemang pertama kali dilaksanakan pada 7-8 Juni 2003, yakni dalam rangka menyambut HUT Kota Jakarta ke-476. Saat itu Dinas Pariwisata DKI Jakarta bekerjasama dengan Indo.com, dan Cipta Visualindo menggelar acara ini.

"Kita juga ingin membuktikan pada dunia internasional kalau Jakarta saat ini aman," kata Kepala Dinas Pariwisata DKI Aurora Tambunan saat meresmikan acara itu kala pertama kali Festival Kemang pertama dibuka tahun 2003.



Setelah tahun 2003, Festival Kemang digelar lagi, yakni pada 2008. Pada tahun 2009, Festival Kemang keempat dilaksanakan pada 2-3 Agustus 2009. Jalan sepanjang sekitar 1 kilometer akan ditutup untuk umum. Penutupan di bagian utara, yakni dari perempatan Mc Donald's dan di bagian selatan, yakni pertigaan Amigos.

Pada Festival Kemang keempat ini, tema yang diangkat adalah "Hijau Kemangku". Selain musik dari kesenian lokal Betawi, Ambon, musik etnik dan kontemporer, angklung, tartan anak-anak dari Down Syndrome Indonesia, ada pula musik arumba dari persatuan warga Korea dan Jepang di Indonesia.



Nggak terasa, umur Kemang Festival di tahun 2009 yang berlangsung pada 19-20 Desember 2009 ini sudah lima tahun. Dari tahun ke tahun, Festival ini memang terjadi peningkatan dalam kuantitas pedagang. Tahun 2009 ini aja, tenda penjual hampir sepanjang 1 kilometer, yakni kurang lebih sekitar 552 tenda yang terdiri dari tenda pakaian, makanan, dan aksesoris lain.

Meski sebelumnya sempat ditentang oleh warga sekitar Kemang, toh acara ini tetap digelar. Jalan sepanjang 1 kilometer tetap ditutup, yakni dari perempatan McDonnald ke POM Bensin di Kemang Selatan.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Selasa, 15 Desember 2009

Minggu, 13 Desember 2009

GARA-GARA ALAT PEMBUAT KOPI DAN PENGHANCUR KERTAS

Buat kedua anak kami, tempat yang paling asyik dikunjungi selain Amazon, Time Zone atau sebangsanya adalah kantor istri. Nggak heran setiap kali istri saya mengajak Anjani dan Khaira buat mampir ke kantornya, mereka bersorak gembira.

“Hore! Aku naik kelas!”

Lho, kok kalimatnya begitu? Bukan, bukan begitu. Kalimatnya nggak cocok. Yang betul seperti di bawah ini.

“Hore! Kita ke kantor Mama! Hore!!!”

Kedengarannya kayak norak, udik, atau kampungan ya? Wong ke kantor aja pake hora-hore. Tapi memang begitu kelakuan anak-anak kami kalo sudah menyebutkan kantor istri saya. Kalo menyebutkan kantor saya, anak-anak kami nggak seantusias saat istri saya menyebutkan kantornya.


Saya tahu kenapa mereka nggak antusias. Sebab, di kantor saya nggak banyak yang bisa dimainkan selain komputer. Nggak mungkinlah kamera-kamera di studio dibuat main. Nanti diomelin sama bos studio kali! Begitu pula lampu-lampu, mikrophone, maupun peralatan teknik lain yang ada di kantor saya. Itu semua bukan buat mainan. Equiptment itu buat shooting. Maklumlah, saya kan kerja di dunia broadcast, jadi alat-alatnya ya alat-alat broadcast. Masa alat masak?

“Adik mau bikin milo di kantor Mama,” kata Khaira.

Salah satu hal yang bikin anak-anak kami suka kalo diajak ke kantor istri saya adalah membuat milo. Dear all, memabuat milo yang dimaksud di sini bukan sekadar membuat milo kayak di rumah, yakni dengan memasukkan bubuk susu milo ke gelas, lalu tambah sesendok gula, kemudian ditambah air, dan diaduk. Bukan, bukan kayak begitu.

Di kantor istri saya kebetulan ada sebuah alat otomatis yang membuat minuman secara instan. Mau minuman cokelat panas maupun kopi berbagai rasa (ada coffee black, black sugar, black cream, coffee 3 in 1, maupun mochaccino) bisa dibuat dengan menggunakan alat tersebut. Coffee maker bahasa sononya.


Ini dia coffee maker yang diidolakan oleh anak-anak kami.

Alat yang dikeluarkan oleh perusahaan Nescafe ini memang mirip dengan alat yang sering ada di kafe-kafe, dan barangkali ada di beberapa kantor lain. Anda cukup letakkan cangkir di bawah pancuran alat itu, pilih menu yang tersedia di situ, lalu pencet, maka akan keluar sesuai dengan pilihan Anda melalui pancuran itu. Kalo Anda pilih kopi, maka akan keluar kopi. Begitu pula kalo Anda pilih cokelat milo, maka akan keluar cokelat milo.

“Papa mau kopi?” tawar anak kami pertama, Anjani.

“Boleh, Kak! Black coffee ya?”

“OK!”

Kalo sudah berhadapan dengan alat otomatis pembuat kopi dan cokelat itu, kedua anak kami seolah berperan sebagai pelayan. Kalo nggak menawarkan kepada saya, mereka menawarkan ke istri saya. Meski istri terkadang nggak pengen minum –pastinya sudah muak, karena setiap hari pasti bisa mengambil sendiri, wong alat itu ada di kantornya-, tetapi demi menyenangkan hati anak-anak, terpaksa meng-order juga.

“Coklat milonya satu ya, Bu!” goda istri saya pada Khaira.

Alat ini memang canggih. Kita nggak perlu lagi mematikan pancuran, karena takut kopi atau cokelatnya terlalu penuh. Nggak perlu kayak begitu. Sebab, alat ini secara otomatis sudah mengatur takaran sesuai gelas yang tersedia. Begitu sudah sesuai takaran, kopi atau cokelat yang keluar pancuran akan mati sendiri.

Selain alat pembuat kopi dan cokelat milo otomatis, di kantor istri saya juga ada alat penghancur kertas. Namanya juga alat penghancur kertas, tujuannya nggak lain nggak bukan ya buat menghancurkan kertas. Cara kerja alat ini, kita cukup memasukkan ke lubang yang ada di alat ini, lalu secara otomatis alat ini menggunting kertas-kertas yang dimasukkan tadi menjadi kecil-kecil. Dengan alat ini, kita nggak perlu lagi meremas-remas kertas dan melemparkan ke dalam keranjang.

Saking ingin mempergunakan alat penghancur kertas, Khaira selalu meminta istri saya buat mengumpulkan kertas-kertas bekas. Dengan kertas-kertas bekas, Khaira baru bisa bermain-main dengan alat penghancur kertas itu. Meski nggak banyak kertas bekas yang tersedia, istri saya terpaksa menyediakan kertas yang sebenarnya masih bisa buat nge-print dokumen (biasanya draft surat menggunakan kertas bolak-balik, di balik kertas sudah ada tulisan tetapi di baliknya lagi masih kosong).

Biasanya kalo sudah berada di kantor istri, anak-anak lupa waktu. Itulah yang membuat kami seringkali menahan sabar. Yaiyalah! Kalo nggak sabar-sabar amat, kita pasti akan merasa sebal. Salah satu resep agar kita nggak merasa sebal, yakni ikut menikmati mereka bermain. Kalo nggak bermain pelayan-pelayanan yang mengantarkan kopi atau cokelat ke pelanggan, ya bermain dengan penghancur kertas itu.

“Mau tambah lagi cokelatnya Bu?” tawar saya pada Khaira.

“Saya rasa sudah cukup, Pak. Terima kasih!”

YANG KESIANGAN BANGUN ITU KAMU, KOK JADI PAPA YANG DISALAHIN?

Hari ini tak seperti biasanya Khaira bangun kesiangan. Padahal setiap hari, putri kami yang kedua ini selalu bangun lebih awal. Lebih dahulu dari ayam jago yang mau berkokok di pagi hari. Enggak ding! Ayam dulu berkokok baru Khaira yang berkokok, eh maksudnya bangun.

Kebiasaan bangun pukul 5, sudah dilakukan Khaira sejak di TK A. Ketika saya dan istri masih terlelap di tempat tidur –karena tidur lagi setelah sholat subuh pukul 4.15 wib-, anak kami sudah bernyanyi-nyanyi di kamar mandi. Lalu begitu sudah siap berangkat, kami –terutama saya-, dibangunkan. Tetapi hari ini tumben banget ia bangunnya telat, yakni pukul 6 pagi.

“Kenapa hari ini bangunnya telat, Dik?” pancing saya dalam perjalanan menuju sekolah.

“Habis adik mimpi,” jawab Khaira sambil mesem-mesem.

“Mimpi?”

“Iya, mimpi indaaaaaaaaaaaaaaaaaaah sekali!”


Ya, amplop! Anak kecil tahu-tahunya soal mimpi indah. Perkara mimpi indah inilah yang bikin saya penasaran. Saya jadi ingin tahu apa yang ada dalam bayangan Khaira soal mimpi indah. Setahu saya waktu seumuran putri saya ini, kalo kita sedang bermimpi indah, pada saat tidur kita tersenyum sendiri. Nah, saya perhatikan malam sewaktu putri saya tidur, mulutnya nggak senyam-senyum.

“Adik mimpi ulangtahun,” kata Khaira dengan mimik serius.

“Ulangtahun ke berapa, Dik?”

“Ke limapuluh!”

Gubrak! Anak lima tahun bermimpi ulangtahun ke-50? Ada-ada saja Khaira. Saya aja belum kepikiran akan berulangtahun ke-50, eh bisa-bisanya putri saya punya mimpi kayak begitu. And you know what? Dalam ulangtahun di mimpinya itu, Khaira mendapatkan kado dari ketiga pacarnya: Fatteh, Aji, dan Abel. Busyet! Anak kami kok jadi playgirl begini, sih?

“Fatteh ngasih adik boneka baby life,” jelas Khaira.

“Ulangtahun ke-50 hadiahnya baby life?” tanya saya heran.



Anda tahu apa itu boneka baby life? Boneka baby life itu adalah boneka yang mirip kayak manusia. Ia bisa minum susu, tidur, bahkan pup. Anak-anak memperlakukan baby life sebagaimana bayi manusia. Kalo pup, ada pempers-perpersan yang kudu diganti. Satu pempers bohongan mahalnya minta ampun, jauh lebih mahal dari beli selusin pempers asli. Oleh karena mirip diperlakukan kayak manusia, harga boneka baby life cukup mahal, sekitar 1 juta-an.

“Lalu Aji ngasih hadiah apa?”

“Boneka baby life!”

“Kalo Abel ngasih apa?”

“Baby life!”

“Lho kok baby life semua?” tanya saya heran.

“Iya, baby life-nya beda-beda!”

Oalah! Gitu toh ceritanya? Cerita yang berasal dari mimpi dan membuat Khaira terlambat ke sekolah. Gara-gara keterlambatannya, ia kalah dari teman sekelasnya: Intan. Dan keterlambatan ini yang membuatnya marah pada saya.

“Papa sih terlambat,” ujar Khaira.

“Lah, yang kesiangan bangun itu kamu. Kok jadi Papa yang disalahin?”

Khaira cuma senyam-senyum pada saat saya protes begitu. Dasar anak kecil!

Selasa, 08 Desember 2009

BERBAKAT JADI GURU

Menjadi guru itu nggak mudah, lho, apalagi kalo yang diajar itu anak-anak kecil. Nah, ini saya alami ketika diminta mengajarkan di sekolah anak saya, Khaira, di TK Ar-Taqwa. Adalah Ibu Soffie, guru putri kedua kami, yang meminta saya mengajar soal proses produksi pembuatan berita sampai ditayangkan di televisi.

Saudara-saudara sekalian, jangan menduga apa yang saya ajarkan itu njilemet. Memang sih, temanya cukup berat, apalagi buat anak-anak TK. Namun tema yang berat ini kudu dibuat ringan. Begitu pesan Ibu Soffie. Tantangan bukan? Alhamdulillah, saya berhasil membuat teman-teman Khaira dan juga murid-murid TK lain enjoy dengan pemaparan saya.


"Kamera itulah yang merekam gambar, sehingga wajah kalian bisa terlihat di televisi," jelas saya.

Tentu setelah menjelaskan soal proses, saya membuka sesi tanya jawab. Rupanya ada beberapa anak yang nafsu ingin bertanyanya besar sekali, sementara murid-murid yang lain nampak kebingungan. Saya tebak, anak-anak yang bengong ini belum ngerti atau bahkan bingung dengan segala penjelasan saya yang sebenarnya sudah ringan sekali.

"Camera itu terbuat dari apa sih Om?"

"Beli kameranya dimana, Om?"




Boleh jadi kemampuan mengajar ini merupakan darah yang diturunkan dari Bapak saya. Yap! Bapak saya adalah seorang guru olahraga dan kesehatan. Beliau lulusan Sekolah Guru Olahraga (SGO) di Surabaya dan kemudian melanjutkan gelar kesarjanaan di Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK), Institut Keguruan Ilmu Pendikan (IKIP) yang sekarang sudah diganti menjadi Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Sejak sebelum saya lahir, Bapak saya mengajar. Entahlah apa yang membuat Bapak doyan mengajar. Saya pikir, beliau ngajar cuma sekadar buat cari makan. Atau kalo mereka yang menjadi guru saat ini kebanyakan sekadar batu loncatan atau profesi terakhir dari pada nganggur. Istilahnya: iseng-iseng berhadian. Gokil ya? Buat Bapak saya mengajar ternyata adalah pengabdian. Nggak peduli gaji kecil atau fasilitas nggak ada, ia tetap mengajar dengan enjoy.


Darah mengajar itulah yang menurun pada saya, sehingga pada saat berhadapan dengan anak-anak, saya bisa "berakting" ala guru. Oleh karena anak-anak enjoy mendengarkan penjelasan saya kalimat demi kalimat, saya pun ikut enjoy. Saking enjoy-nya, dengan penuh harap saya ingin diberikan kesempatan lagi buat mengajar. Ya, itung-itung amal lah, soalnya nggak dibayar. Bukankah luar biasa sekali kalo kelak anak-anak TK yang saya ajar ini beberapa tahun kemudian ketemu saya dan mengatakan: "Thanks ya Om dahulu sudah mengenalkan saya pada dunia televisi". Ah, betapa bangga rasa hatiku kalo hal tersebut benar-benar terjadi.

Senin, 07 Desember 2009

MAMA BISA KAYA RAYA, TUH!

Kemarin Anjani baru ikut kursus matematika lagi. Setelah berhenti dari Kumon beberapa waktu lalu, karena kami nilai nggak ada kemajuan –maklum metodenya peserta cuma dikasih PR setiap hari dan apa yang dipelajari di sekolah dan di tempat kursus nggak sama-, putri pertama kami menggundurkan diri. Kami kemudian sepakat mengajarkan sendiri basic matematika di rumah.

Waktu kami yang terbatas dan mata pelajaran matematika di sekolah yang terus berkembang cepat membuat kami memutuskan mendaftarkan kembali Anjani ke tempat kursus. Tapi bukan kursus model Kumon, tetapi kursus yang diselenggarakan oleh gurunya. Alasan kami, (1) dengan guru sendiri akan mengenal kelebihan maupun kelemahan sang murid; (2) guru bisa tahu kurikulum atau matematika yang diajarkan di sekolah atau yang akan diuji. Dan mulai kemarin, ia dan teman-teman sekelasnya ikut kursus.

“Gimana tadi kursusnya, Nak?” tanya istri saya pada Anjani.

“Enak, Ma!”

“Syukurlah! Tapi kakak ngerti kan?”

“Iya. Tadi belajar bilangan prima.”

“Oh begitu. Lalu?”

“Kata gurunya kalo bisa mendapat nilai 7 pas ulangan, Anja dapat uang seribu,” jelas Anjani. “Kalo dapat nilai 9, pak guru mau ngasih Anja limaribu, Ma!”

“Wah, guru kakak baik baget ya? Kalo zaman dulu guru Mama kayak guru kakak sekarang, pasti Mama sudah kaya, tuh!”


Istri saya kebetulan memang jago matematika. Saya beruntung punya istri jago matematika, karena bisa menyeimbangkan saya yang terlalu bodoh hitung-hitungan. Waktu di sekolah dulu, kalo saya bisa mendapatkan nilai matematika 8, itu adalah sebuah mukjizat Tuhan. Paling keren, nilai matematika saya cuma mentok di angka 7. Sedang istri saya, rata-rata 9 nilai matematikanya. Makanya kalo ia menggoda Anjani dengan kata “bisa kaya”, ya gara-gara nilai matematika istri saya yang bagus itu.

“Jadi kakak sekarang siap dong mengerjakan ujian matematika?”

“Siap, Ma!” jawab Anjani dengan yakin.

“Siap dapat limaribu dari pak guru kan?” tanya istri.

“Enggak! Seribu aja, Ma!”

Selasa, 01 Desember 2009

UNDANGAN BUATAN KHAIRA KETIKA ASYIK BERSABUN-SABUN RIA

Setiap kali mandi, saya selalu menggunakan shower. Bukan mau sok-sokan jadi orang kaya, tetapi kebetulan di kamar mandi saya dipasang shower dan nggak ada bak mandi. Yang ada selain shower, ember besar berwarna merah, yang diperuntukan buat mereka yang nggak suka ber-shower-shower ria, which are istri saya dan kedua anak kami.

Kata orang, mandi pakai shower itu malah bagus, yakni irit air. Dengan shower, seluruh tubuh rata terkena air. Kalo dengan gayung, guyuran air belum tentu merata. Kalo Anda menguyur air dari kepala dengan gayung, belum tentu terkena bagian-bagian tubuh yang ada di bawahnya. Lho, kok kita jadi ngebahas soal shower ya?


Undangan yang dikrimkan oleh Khaira lewat bawah pintu kamar mandi.

Alkisah, saya sedang mandi dengan shower di suatu pagi yang indah ceria. Anda bayangkan pada saat asyik-asyiknya memakai sabun (sampai ke seluruh badan dan wajah), saya mendengar panggilan anak kami, Khaira.

“Papa Brianto!” teriak Khaira.

Anak kedua saya ini kalo panggil nama saya memang selalu ketinggalan huruf “L”. Mending ketinggalannya cuma satu, tetapi ketinggalan dua huruf “L”. Bukan ia nggak bisa mengucapkan huruf “L”. Ia fasih kok, bahkan huruf “R” sudah mampu diucapkan dengan canggih. Barangkali nama saya rada ribet diucapkan secara utuh oleh anak umur 5 tahun kali ya? Nama saya terlalu Inggris-Inggris gitu kali ya?

“Papa Brianto!” teriak Khaira lagi.

“Iya, Nak!”

“Ini ada undangan dari Mama!”

“Undangan apa, De?!” tanya saya sambil terus menyabuni beberapa anggota tubuh yang belum terkena sabun, dimana anggota tubuh saya nggak boleh diketahui oleh Anda. Sebab, nanti saya terkena Undang-Undang (UU) Pornografi dan Pornoaksi.

“Undangan ulang tahun! Buruan keluar, Pap!” perintah Khaira.



Spelling Khaira masih asal. Tetapi usahanya buat menulis patut kami banggakan.

“Papa masih mandi, De!”

“Pintu kamar mandinya dibuka sedikit...”

“Papa lagi sabunan, De. Nanggung, nih!”

Khaira memang begitu. Ia selalu ngotot terhadap keinginannya. Sometimes bagus banget kalo ngotot pada sesuatu keinginan, sehingga konsisten dan persisten, dan lama-lama bisa berhasil. Tetapi sometimes cukup annoying.

“Papa Brianto! Buruan buka!” perintah Khaira lagi dari balik pintu kamar mandi.

Saya yang masih sabunan terpaksa segera mengakhiri acara sabun-menyabun ini. Shower pun segera dibuka dengan full, sehingga air yang keluar begitu deras. Ya, menggejar perintah Khiara, supaya nggak mengecewakan anak saya ini.

“Undangannya adik taro di bawah pintu ya, Pap!” ujar Khaira.

“Nanti basah, De!” kata saya.

“Enggak, kok!”

Ya, amplop! Ini anak ngotot amat, sih?! Terpaksa, sambil merem melek terkena guyuran air shower, saya melihat sebuah kertas perlahan-lahan muncul dari bawah pintu kamar mandi. Di atas surat itu tertulis “HEPPI BDE SIDI”. Maksudnya Happy Birthday Sindhi. Sindhi nggak lain nggak bukan nama istri saya. Sedangkan di bawah kertas HVS yang dilipat itu tertulis BILYATO”, which is nama saya. Di antara tulisan itu ada gambar lima balon.

SETIAP MASA SELALU PUNYA IDOLA

Sudah dua minggu ini, Anjani nggak minta lagi diputarkan lagu Ice Cream Freeze (Let’s Chill) atau He Could be the One yang dinyanyikan oleh Miley Cyrus. Sekarang ini ia lagi menikmati lagu SNSD via handphone saya. Nggak heran tiap masuk ke dalam mobil, hal pertama yang dilakukan putri pertama saya ini, langsung pinjam handphone saya. Sebab, di memory handphone saya itu, sudah diisi banyak lagu SNSD. Walah!

SNSD adalah kelompok vokal asal Korea Selatan yang saat ini menjadi idola Anjani. Kepanjangan dari SNSD adalah So Nyeo Shi Da. Dalam bahasa Inggrisnya So Nyeo Shi Da berarti Girl’s Generation. Anggota kelompok vokal ini adalah Yuri, Yoona, Tiffany, Taeyeon, Sunny, Sooyoung, Seohyun, Jessica, and Hyoyeon.


Ini dia kelompok vokal yang terdiri dari sembilan gadis dari Korea Selatan: SNSD.

Awalnya saat nggak ngerti, kenapa Anjani tertarik dengan kelompok yang terdiri dari sembilan gadis cantik. Ternyata lagu mereka memang Endang S. Taurina, lho, bo! Alias enak! Rata-rata lagunya up beat, sehingga enerjik. Bikin kita joget, tetapi bukan joget ala Inul Daratista atau Dewi Persik, lho. Simak saja lagu Kissing You dari album Baby Baby yang dirilis Maret tahun 2008.

Setiap lagu SNSD pasti punya video klip yang terdapat tarian-tarian yang koreografinya mantabs. Inilah yang membuat Anjani suka banget dengan SNSD. Maklumlah, putri saya ini suka menari. Keturunan istri saya yang mantan penari kayaknya. Anda tahu, gara-gara nge-fans banget dengan SNSD, Anjani meng-upload video-video SNSD dari You Tube. Lagu-lagu yang dimasukkan ke handphone saya pun ternyata berasal dari hasil upload video klip dari You Tube. Uh, pantesan kualitasnya nggak bagus!

Saya yakin, Anjani nggak sedang melakukan pembajakan. Aktivitas meng-upload dari You Tube itu lebih karena keinginannya untuk segera mengetahui lagu-lagu milik SNSD, sehingga ia segera cepat menghafal dan mendendangkannya. Soalnya kami belum sempat membelikan CD SNSD di toko kaset. Padahal biasanya kami rajin membelikan CD-CD original, sebagaimana CD-CD kaset koleksi putri saya ini.


SNSD merupakan salah satu idola Anjani. Sebelumnya, ia suka banget dengan Miley Cyrus. Seperti saya ceritakan di awal, tiap kali masuk mobil buat berangkat ke sekolah, ia minta diputarkan lagu Ice Crea Freeze (Let’s Chill) atau He Could be the One dari album Miley Cyrus berjudul Breakout (2008). Album ini saya belikan di salah satu toko kaset sebagai hadiah buat anak saya ini, karena mendapatkan peringkat cukup baik di sekolah.

Kebiasaan kami memang begitu. Kami akan membelikan sesuatu pada anak-anak kami kalo ada prestasi yang bisa kami banggakan. Maklumlah, kami bukan keluarga yang bisa seenak udel membelikan anak-anaknya tanpa adanya sebuah achievement. Kami nggak cemburu ada keluarga kaya yang dengan mudah membelikan anak-anaknya barang mahal, apalagi cuma CD. Tetapi dengan belum jadi konglomerat, justru kami belajar bersiasat pada anak agar jangan manja. Artinya, sekali minta, langsung dituruti tanpa punya prestasi yang dibanggakan kami.

Sebelum Miley Cyrus, kami juga sempat membelikan CD-CD original pada Anjani. Lagi-lagi, itu karena prestasinya di sekolah maupun di luar sekolah. Tentu kami nggak sembarangan membelikan CD, karena harus tahu siapa penyanyi dan sepak terjangnya kalo nggak nyanyi. Kenapa begitu? Sebab, ironis sekali kalo seorang yang diidolakan anak kami, tetapi sang idola hidupnya hancur lebur.

Buat kami, Miley Cyrus termasuk anak dari keluarga yang luar biasa. Orangtua Miley selalu ikut serta tiap kali konser. Bahkan dalam film seri televisi Hannah Montana, Miley berpasangan dengan Ayahnya. Di tiap ucapan selamat di sampul album, ia selalu bersyukur punya orangtua yang luar bisa. Coba simak ucapan Miley di album Breakout ini:

First and foremost my amazing parents. Mommy, Thanks so much for listening to bad notes, pitchy tunes, & pure guitar playing. Not only while working on this album but throughout my life and career you have never not supported me and reminded me that all of this is for the glory of GOD and for that I am always greatful! Daddy dearest, I love you. I love you. I love you. Everynight I lay mu head to sleep I thank GOD for giving me a dad who loves me and protects me. You always get me through trying times, because like you always say that’s never a time to quit trying.


Miley Cyrus yang sampai saat ini tetap menjadi favorit Anjani, meski SNSD menjadi idola barunya.
Bayangkan seorang anak mengatakan hal itu secara tulis, bahwa ia menggagumi orangtuanya. Luar biasa bukan? Itulah mengapa ketika Anjani memilih idolanya Miley Cyrus, kami nggak masalah. Kami, terutama saya, nggak ingin punya idola yang punya latar belakang keluarga atau prilakunya nggak beres. Sombong, pendidikannya nggak jelas, pernah masuk penjara, terlibat narkoba, banyak musuh (ini biasanya, karena kesombongannya), dan juga punya tato.

Yang namanya idola harus bisa diambil contoh positif. Bukan cuma lagunya enak-enak atau wajahnya cantik atau ganteng, tetapi prilakunya banyak yang positif. Citra dirinya baik di mata banyak orang. Sehingga anak kita bisa mencontoh dari idola tersebut, at least hubungan dengan orangtuanya sangat erat. Bukan cuma dengan ibunya, tetapi juga dengan Bapaknya.

Kalo untuk kelas Indonesia, Anjani sempat mengidolakan Tasya, Sherina, dan Gita Gutawa. Buat kami, tiga nama penyanyi tersebut seperti Miley Cyrus yang berlatarbelakang keluarga baik-baik. Mereka dan keluarga masih punya citra positif di kalangan orangtua. Bukan cuma prilaku, prestasi akademik mereka pun patut dibanggakan.

Saya pernah ngobrol dengan Mamanya Tasya. Kebetulan beberapa kali saya kerja bareng dengan mantan penyanyi cilik yang tubuhnya masih “cilik” ini. Menurut sang Mama, meski Tasya sibuk, ia selalu rangking pertama. Mamanya juga nggak terlalu ngoyo dengan order-order yang masuk buat anaknya. Selama order itu bentrok dengan jadwal sekolah, pasti ditolak. Beda banget kan dengan mayoritas artis yang lebih mementingkan karir daripada pendidikan?




Kini, selain Tasya dan Gita Gutawa nggak ada lagi penyanyi yang menjadi idola Anjani. Setiap masa, ia memang selalu punya idola. Sherina? Saya nggak ngerti kenapa album Sherina yang sudah dewasa nggak menjadi album favorit anak kami. Anjani lebih suka dibelikan album Gita Gutawa berjudul Harmoni Cinta. Bahkan sebelum menggemari SNSD, berkali-kali lagu Malu Tapi Malu dan Salah Jatuh Cinta minta diputarkan di CD mobil saat kami berangkat sekolah. Kalo Agnes Monica? Wah, penyanyi ini mah ke laut aja! Entah kenapa anak kami nggak suka. Padahal Agnes kan juga selalu memperlihatkan kebolehannya menari, selain menyanyi. Tapi ternyata nggak ngaruh! Anjani tetap nggak suka Agnes. Ia lebih suka dibelikan CD High School Musical. Tentunya CD original dong!

MEMANGNYA ADIK DIMANA? DI DALAM!

Kemarin setelah hujan reda, ada pelangi yang melintas di depan rumah saya. Kebetulan istri saya melihat kejadian yang merupakan anugerah Allah itu. Mumpung ada di rumah, ia ingin sharing pada anak-anak kami. Sayang, yang ada di rumah Khaira, putri kami nomor dua.


“Dik, sini dik ke luar! Mama lihat pelangi!” ajak istri saya pada Khaira.

”Ah, adik nggak lihat pelangi kok, Ma!” ucap Khaira dari dalam ruang tamu.

”Iya, adik harus ke luar dulu baru bisa lihat pelangi!” ajak istri saya lagi.

”Ok, Ma!”

Beberapa menit kemudian.

”Ah, adik nggak lihat pelangi tuh, Ma!” kata Khaira.

”Memangnya adik dimana?”

”Di dalam. Lagipula adik lihatnya bukan pelangi, tapi anak kucing, Ma!”

PENSI LAB SCHOOL 2009

Senin, 30 November 2009

SUPAYA LEBIH PEDE

Sore lalu di hari Minggu, kami berencana melakukan “jabul”. Padahal hujan deras banget. Nggak cuma di sekitar Cempaka Putih, tetapi kabarnya merata di seluruh Jakarta dan New York City. Namun kami terpaksa harus "melawan" hujan. Kalo enggak, "jabul" nggak bisa terlaksana.

Oh iya, pasti Anda bingung dengan istilah “jabul”. Mahkluk apakah sih "jabul" itu? Berkaki empatkah? Bernafas dengan insangkah? Bukan mahkluk, kok. Jabul itu sebenarnya singkatan. Ini cuma diketahui oleh kalangan terbatas, terutama keluarga kami. Kepanjangannya sih sederhana, yakni “belanja bulanan”.

Jabul merupakan aktivitas resmi keluarga kami yang memang belum tercatat di Rekor Muri, apalagi Guiness Book of World Record. Tetapi kami selalu rutin melakukannya saban bulan. Biasalah, habis gajian ya belanja kebutuhan rumah tangga kita dong.

Buat kami, belanja bulanan memang menjadi aktivitas yang dianaogikan kayak rekreasi. Bukan kami jarang rekreasi ke tempat-tempat rekreasi, lho. Tetapi, oleh karena hypermart yang menjadi tempat belanja kami luas, seringkali kami bisa melakukan aktivitas gokil-gokilan. Saya bisa menari bersama kedua anak kami, kejar-kejaran, main petak umpet, dan aktivitas lain yang seru.

Sebelum pergi ke salah satu hypermart yang saban bulan kita kunjungi yang ada di dekat rumah kami, Khaira wanti-wanti. Ngerti kan wanti-wanti? Wanti-wanti itu asal katanya “anti”. Oleh karena ditambah kata “w” di depan kata “anti”, jadinya ya “wanti”. Oleh karena “wanti” sendirian, maka ditemanilah “wanti” lagi, sehingga menjadi “wanti-wanti”. Ngerti kan sekarang? Back to wanti-waniti yang diucapkan anak kedua kami ini.

“Ma, nanti kalo ke toko beli Happy Jus ya?” kata Khaira yang mengucapkan itu berkali-kali.

Happy Jus?” ucap istri saya rada heran.

Tumben nih anak minumannya Happy Jus. Itu kan minuman yang nggak ada vitamin-vitaminnya. Ya, paling-paling zat pewarna, zat perasa, ditambah gula, terus dicari adonan agar rasanya mirip jus. Kami memang sudah tahu deh tricky-tricky-nya minuman kayak begini. Dibilang jus, padahal bukan.

Biasanya Khaira itu paling doyan susu. Bukan susu yang berwarna merah, hijau, kuning, atau hitam, tetapi susu murni yang dihasilkan dari sapi-sapi pilihan. Sapi yang diperas oleh pemeras sapi sampai payudaranya kendor. Nah, ketika anak kami pengen banget Happy Jus, kita malah heran.

“Adik bener mau Happy Jus?” tanya istri saya meyakinkan anak kami.

“Iya, Ma. Jangan lupa nanti belikan adik Happy Jus ya...”

“Kenapa sih Adik mau beli Happy Jus?”

“Supaya Adik lebih pede!”

Lah, ternyata anak kami ikut-ikutan jadi korban iklan. Iklan Happy Jus! Yang tag line-nya: HAPPY JUS, BISA BIKIN PEDE! Pantas ngotot mau minum Happy Jus. Ya terpaksa kali ini kami kabulkan keinginannya, once in a lifetime. Mending lah minum Happy Jus daripada minum jus-nya Happy Salma.

MOGA-MOGA BISA JADI ORANG KAYA LAGI...

Buat kami, pengalaman menginap di hotel mahal di kamar termahal luar biasa banget. Sebab pasti nggak semua orang mengalami. Apalagi orang seperti kami yang bukan konglomerat, tetapi golongan yang masih hitung-hitungan dalam mengeluarkan uang.

Namun pasti buat para konglomerat, mereka mudah menginap di kamar terbaik yang pernah kami rasakan ini. Wong mereka nggak masalah dengan uang, kok. Kami nggak iri dengan mereka, lho. Itu rezeki mereka. Tapi bukan berarti rezeki kami cuma sekali seumur hidup menikmati kamar ini juga, ya nggak? Tuhan pasti Maha Mendengar dan Maha Pemberi Rezeki.

Sebagai bentuk motivasi diri, kami sengaja memamerkan video kamar kami, ketika berada di kamar termahal di hotel Ritz Carlton, SCBD, Jakarta. Moga-moga video ini bisa memotovasi kami lagi, buat mencari uang dan akhirnya bisa menginap di hotel dan kamar termahal seperti ini lagi. Soalnya seperti yang saya sudah ceritakan, bahwa buat membayar hotel ini butuh sebulan gaji. Ah, moga-moga aja bisa menjadi orang kaya lagi ya.

Barangkali Anda pun juga ikut-ikutan termotivasi atau jangan-jangan Anda nggak butuh sebulan gaji buat menikmati kamar kayak begini. Cuma butuh sehari atau beberapa jam. Kalo benar begitu, Anda memang luar biasa! Eit, asal hasil uang yang Anda dapatkan bukan dari hasil korupsi, lho! Kalo hasil korupsi, mending Anda ke laut aja!


BUKAN SULAP, BUKAN SIHIR

Inilah video hasil karya anak kami yang pertama: Anjani. Lewat handphone milik saya, dia mencoba menjadi Sutradara. Meski sederhana dan nggak terlalu sempurna, tetapi teknik membuat objek menghilang rupanya sudah dikuasai olehnya. Moga-moga ini modal dia buat jadi Sutradara.

Bukan sulap, bukan sihir. Abracadabra!





Sabtu, 28 November 2009

FROM DUREN TO KUPAT TAHU - a story of Idul Adha from Tebet

Nggak semua rumah menikmati sate kambing, domba, atau sapi hasil pemberian masjid. Apalagi mereka yang kebetulan nggak tergolong mustahik atau orang-orang miskin, ya jangan berharap banyak mendapatkan jatah daging qurban. Seperti keluarga kami. Memang sih kami bukan keluarga konglomerat, tetapi bukan juga mustahik. Oleh karena itu, dalam Idul Adha, guna memeriahkan acara, keluarga kami menikmati sajian yang bebeda. Sajian ini berlangsung di House of Ayah atau populer dengan Rumah Ayah di Tebet Timur, salah satu kakak kami.


Duren yang sangat menggiurkan. Kalo saja nggak pernah masuk rumah sakit gara-gara duren, barangkali saya pasti bakal ikut menikmati duren ini.

Di rumah ini, tersedia menu yang nggak beda dengan kambing, yang bisa meningkatkan kadar kolesterol tinggi, yakni duren. Ada tiga duren gede-gede yang diimport dari Thailand, dimana dinikmati oleh keluarga besar Pak (alm.) Soemakto Djuwono yang mayoritas memang penggila duren.

Selain duren, sajian yang nggak kalah nikmat adalah kupat tahu. Apakah kupat tahu itu? Bagi yang bukan asli Magelang, pasti rada asing dengan makanan ini. Tetapi kalo Anda berasal dari Maluku, pasti mengetahui makanan ini. Lho katanya Magelang kok berubah jadi Maluku? Sebab, salah satu anggota keluarga (alm.) Soemakto Djowono berasal dari Maluku, yakni Om Petrus Ririhena. Dia nggak suka duren, tapi kalo dikasih kupat tahu, habis disikat.




Saya sendiri sudah insyaf menjadi penggila duren. Kalo saja nggak sakit parah sampai masuk rumah sakit, barangkali saya akan ikut nimbrung menikmati duren import dari Thailand ini. Gara-gara duren, saya sampai menginap dua minggu di rumah sakit Tebet sekitar tahun 2004. Daripada masuk rumah sakit lagi, mending cukup melihat saudara-saudara saya, termasuk istri saya menikmati duren bukan?

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Jumat, 27 November 2009

FOTO MODEL SEPEDA LIPET

Terus terang dahulu kala saya pernah berniat jadi foto model. Entah setan apa yang merasuk ke otak saya sampai nekad pengen jadi model. Bukan profesi modelnya yang salah, tetapi saya yang salah. Salah karena punya wajah pas-pasan, bahkan dahulu kala ada yang bilang jelek.

Meski dianggap jelek, saya memberanikan diri mengirim foto ke salah satu majalah remaja yang dahulu kala seringkali menyelenggarakan kontes wajah ganteng. Sebenarnya bukan cuma wajah ganteng yang menjadi kriteria pemilihan model yang dilakukan oleh majalah yang sekarang sudah almarhum ini, yakni tinggi dan kesempurnaan tubuh. Kalo soal attitute dan jantan atau betina si calon model, wah itu nomor dua.

Beberapa waktu lalu, saya kesampain juga jadi model. Keponakan saya yang kebetulan hobi fotography mengontrak saya buat jadi modelnya. Nggak sampai kontrak eksklusif sih, tetapi cukup minum sebotol teh botol dan gorengan. Kenapa pilih saya, karena saya dianggap masih terlihat ganteng dan suka bersepeda. Objek fotonya kali ini memang kendaraan yang bergerak. Jadilah saya foto model sepeda lipat atau yang biasa dikenal dengan sebutan "seli".

Inilah beberapa foto hasil jepretan keponakan saya. Mohon jangan lihat hasil fotonya, tetapi objek yang difoto. Sebab, objek yang difoto itu mantan calon model yang telah gugur di medan perang. Meski nggak sempat jadi model, saya tetap dikenal oleh banyak orang sebagai titisan Anang Hermansyah. Padahal saya males banget disama-samakan dengan Anang. Saya lebih suka disamakan dengan Krisdayanti. Lebih cantik dan mirip Barbie! Nah, lho?! Lagipula banyak orang bilang saya masih sedikit lebih ganteng dibanding Anang. Kebetulan aja beda nasib.

Berikut ini beberapa pose saya tanpa make up alias natural. Venue pemotretan ini berada di seputar Senayan dengan waktu sore hari. Kalo Anda kagum terhadap objeknya, mohon maaf objeknya nggak dijual atau disewa, karena property of right-nya sudah ada yang punya.












all photos copyright by Wahyu

KOK KAMBING BUTA BISA LOLOS PANITIA QURBAN SIH?

Berkat anjuran sang guru, Khaira ngebet banget sholat di masjid dekat sekolahnya, di masjid At-Taqwa. Bertahun-tahun hidup, baik saya maupun istri belum pernah sholat di masjid yang berada di kompleks Universitas Negeri Jakarta, Rawamangun, Jakarta Timur ini. Biasanya kami sholat Idul Fitri maupun Idul Adha di lapangan Rawasari Country Club atau yang beken disebut sebagai Arcici yang ada di Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat.

Selama ini anak kami memang patuh sekali pada gurunya, yakni Ibu Lina. Khusus mengajak sholat di masjid At-Taqwa, alasan mengapa kami sekeluarga diajak sholat Idul Adha di masjid ini adalah, karena kelas anak kami menyumbangkan seekor kambing hasil sumbangan kolektif. Sumbangan ini di luar sumbangan pemberian kambing secara pribadi, lho. Artinya, kambing yang berasal dari sumbangan kelas Khaira merupakan hasil uang anak-anak kelas yang dikumpulkan. Sementara masih ada orangtua murid di kelas Khiara yang secara pribadi menyumbangkan kambing.


Tiap kendaraan bermotor yang parkir buat sholat di sekitar masjid At-Taqwa dipunggut retribusi sebesar Rp 5.000, yang katanya buat shodaqoh. Memang sih dikasih karcis kayak begini, tetapi di karcis itu nggak ditulis nominal angka Rp 5.000. Ini kebiasaan di Indonesia, pake karcis, tetapi nggak transparan. Auditnya jadi susah dan menimbulkan lubang-lubang buat pungutan liar.


Menurut Ibu Lina, sumbangan dari kelas-kelas lain uangnya nggak mencapai jumlah yang layak buat dibelikan kambing. Sementara kelas Khaira berhasil mengumpulkan dana lebih dari satu juta. Tentu Anda tahu harga rata-rata kambing buat qurban saat kan? Ya, minimal harganya bisa mencapai Rp 900 ribuan. Itu pun ukurannya relatif kecil.

Kami sampai di masjid At-Taqwa sekitar 06.45 wib. Limabelas menit sebelum pelaksanaan sholat Idul Adha. Sebetulnya kalo sholat Ied, dianjurkan oleh Nabi Muhammad di lapangan terbuka. Sebenarnya di depan masjid ada lapangan bola yang dahulu kala –saat masih di SMA- pernah saya pergunakan buat main bola. Tetapi oleh karena tanahnya agak lembab dan sedikit becek, maka panitia melakukan sholat sunnah dua rakaat ini di dalam masjid.

Kelar sholat, seperti biasa ada ceramah. Pagi itu yang bertindak sebagai khotib adalah Ustadz H. Nazmuddin. Seperti biasa kami tetap mendengarkan ceramah, meski banyak orang yang meninggalkan masjid setelah sholat. Entah mereka ngerti, pura-pura nggak tahu, atau memang cuek, bahwa kesempurnaan dari sholat Idul Adha adalah mendengarkan sholat. Artinya, kalo habis sholat nggak mendengarkan ceramah, ya nggak sempurna sholatnya. Nah, kami ingin mendapatkan nilai sempurna di mata Allah.


Tipikal orang Melayu, terutama Indonesia, pada saat dengar ceramah cari tiang dan senderan. Kalo mata sudah nggak kuat, bisa tidur dengan bersandar. Ini nggak cuma pas sholat Ied. Perhatikan kalo tiap Jum'at, banyak orang yang berbondong-bondong masuk masjid lebih awal tetapi ingin mencari tempat paling belakang supaya bisa bersandar di tembok. Bukannya maju paling depan, kok malah cari tembok ya? Aneh!

Dalam ceramahnya, Ustadz H. Nazmuddin menjelaskan kembali napak tilas sejarah Nabi Ibrahim A.S. Bahwa acara penyembelihan hewan qurban ini adalah buat mengenang kembali peristiwa yang terjadi pada Nabi Ibrahim. Buat mengetahui tingkat keyakinan dan keimanan Nabi Ibrahim, Allah memberikan wahyu kepadanya agar menyembelih anaknya, yakni Ismail.

Betapa pilu hati Nabi Ibrahim menerima wahyu dari Allah tersebut. Kenapa? Sebab, putra yang sangat disayangi ternyata harus direlakan buat disembelih. Namun kecintaan pada Allah nggak boleh dikalahkan oleh kecintaannya pada anaknya. Apalagi Ismail juga mantab dan ikhlas menerima cobaan, sebagaimana dikatakan lewat firman Allah SWT dalam Surah As-Saffat ayat 102:

Ibrahim berkata: “Hai anakka, sesungguhnya aku melihat mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu”. Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Berkat keteguhan hati Nabi Ibrahim, akhirnya Allah mengutus Malaikat Jibril menggantikan Ismail dengan seekor domba dari surga.Domba itulah yang kelak disembelih dan daging-dagingnya dibagikan kepada para fakir miskin.


Kambing yang matanya buta. Kok kambing cacat bisa diterima oleh pantia qurban di masjid At-Taqwa ya? Bukankah nggak boleh? Selain kambing bermata buta ini, ada domba yang saya temukan kakinya patah.


Dalam ceramah, Ustadz H. Nazmuddin juga mengingatkan lagi, bahwa kalo kita mau berqurban, kesempatannya bisa sampai tiga hari, yakni dari selesai mengerjakan sholat Isul Adha sampai dua berikutnya. Jadi nggak ada kata terlambat buat berqurban dan berqurban itu punya banyak makna, salah satunya semangat berbagi kepada sesama yang kebetulan berasal dari golongan kurang mampu.

Barangsiapa baginya ada kemampuan (lapang rizkinya) akan tetapi dia tidak mau berqurban, maka hendaknya ia mati dalam keadaan menjadi Yahudi atau Nasrani (atau keluar dari Islam).


Kelar sholat, kami melakukan inspeksi ke tempat berkumpulkan hewan qurban. Menurut panitia At-Taqwa, jumlah sapi yang terkumpul di masjid ini adalah 6 ekor sapi dan 60 ekor kambing dan domba. Jumlah segitu jauh dibanding dengan masjid dekat rumah saya yang berhasil mengumpulkan 3 ekor sapi dan 10 ekor kambing. Maklumlah, masjid kecil dan berada di kampung.


Lapangan sepakbola At-Taqwa dilihat dari dalam masjid At-Taqwa. Sebetulnya Nabi Muhammad mensunnahkan sholat Ied di lapangan terbuka. Tetapi karena tanahnya basah dan ada yang becek gara-gara hujan, maka dipergunakan masjid sebagai tempat sholat.

Seperti Anda ketahui, hewan-hewan yang diqurbankan adalah hewan-hewan yang memiliki beberapa kriteria, antara lain sehat secara fisik. Artinya, hewan qurban nggak boleh sakit dan nggak boleh cacat. Makanya, biasanya Pemerintah Kota (Pemkot) dalam hal ini Dinas Kesehatan akan memeriksa kondisi hewan qurban. Namun kayak-kayaknya tahun ini nggak melakukan uji kualitas dari hewan-hewan qurban deh. Prinsipnya, kalo hewan qurban kelihatan sehat wal afiat, ya layak dijadikan hewan qurban. Namun ketika kami melihat ke lokasi di tempat kambing, kami melihat ada seekor kambing yang matanya buta. Kelihatannya nggak masalah, tetapi cacat yang dialami oleh kambing menjadi aspek utama dalam penyerahan hewan qurban. Kok kambing buta bisa lolos panita qurban sih? Harusnya nggak boleh terjadi, nih!

Anyway, kami nggak bisa menyaksikan hewan qurban hasil dari sumbangan kolektif anak kami, karena pemotongan seluruh hewan baru berlangung jam 09:00 wib, sementara waktu yang terlihat di jam tangan saya menunjukkan pukul 07:35 wib. Artinya masih lama waktu buat menyaksikan pemotongan hewan. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk langsung ke rumah orangtua kami dan menikmati opor ayam plus ketupat yang nyummi banget.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Rabu, 25 November 2009

BOHONG APA BENER?

Hujan cukup deras di Jakarta pagi ini. Seperti biasa, kami tetap mengantarkan anak-anak ke sekolah. Padahal kami -terutama saya- berharap sekolah anak kami libur. Soalnya cukup malas juga melihat hujan deras begini, yang sebenarnya lebih asyik dimanfaatkan buat tidur. Namun, karena sekolah nggak ada pengumuman libur dan mengantarkan anak ke sekolah adalah kewajiban yang nggak bisa ditawar-tawar lagi, ya dengan semangat 45, kami berhasil mengalahkan kemalasan.

Sebenarnya acara antar-mengantar anak ke sekolah itu banyak manfaatnya. Selain kita dipaksa buat bangun pagi, juga sebagai sarana komunikasi. Hal terakhir itu yang sangat saya suka: KOMUNIKASI. Well, kita semua tahu, sebagai orangtua yang (sok) sibuk, komunikasi kita selalu by phone atau by SMS. Mending masih sempat by phone atau by SMS, yang sering terjadi nggak pernah. Orangtua-orangtua metropolitan aktivitasnya berangkat pagi, pulang malam. Jarang ketemu dengan anak-anak. Nah, dengan acara antar-jemput, di waktu pagi, komunikasi kita bisa face to face.

Banyak hal yang bisa kita bicarakan saat mengantar anak. Topiknya bisa serius, bisa santai. Bisa gabungan keduanya: serius dan santai yang lazim kita kenal dengan sebutan SERSAN. Kebetulan pagi ini topiknya santai dan masih berhubungan dengan masalah hujan yang terjadi pagi ini.

Anda tentu tahu, kalo sudah turun hujan di Jakarta ini, banyak sekali air yang menggenang di jalan. Di sekitar rumah saya pun begitu. Kalo kita naik mobil dan ban mobil kita melintasi genangan air tersebut, pasti akan menimbulkan cipratan, ya kan? Kebetulan beberapa kali melewati jalan, ban mobil kami menimbulkan cipratan. Kalo genangannya tinggi, maka cipratan airnya banyak.

Rupanya cipratan-cipratan air tersebut membuat anak-anak kami suka. Kata mereka mirip kayak permainan air yang ada di Dufan atau di Taman Safari. Nggak heran mereka terus meminta kami buat melintasi jalan yang tergenang. Tetapi kami bilang, cipratan itu sengaja kami lakukan, karena kita harus buru-buru dan genangan yang ada di jalan nggak bisa kita hindari.

"Tapi asyik, Pap," kata Anjani, anak kami pertama.

"Iya!" Khaira ikut-ikutan nyeletuk.

Kami berusaha menjelaskan lagi, bahwa kalo di pinggir genanggan air itu nggak ada orang, barangkali kami bisa melakukan. Tetap kalo ada orang, kasihan orang itu, pasti akan terkena cipratan air. Kita harus menghormati pejalan kaki.

"Soalnya Mama pernah kena cipratan mobil," jelas istri saya mencoba mengajak anak kami memiliki perasaan yang sama seperti kami.

"Mama bohong apa bener, nih?" kata Khaira, anak kedua kami, dengan wajah polos tanpa bermaksud menggoba.

"Ya, benar, lah! Masa Mama bohong?"

"Habis nggak ada di foto!"

Kami pun tertawa terbahak-bahak atas pernyataan Khaira itu. Kami terkejut, bisa-bisanya anak kami ngomong kayak begitu, yang kami pikir cukup cerdas. Dia anggap, semua yang diomongkan kami harus ada buktinya. Salah satu bukti yang paling masuk akal, ya foto.

"Jadi sekarang ini apa-apa harus pakai foto ya, Dik?"

"Iya, dong!"

MIRIP ANANG

Entah sudah berapa puluh orang yang mengatakan, saya mirip Anang Hermansyah. Buat Anda yang belum kenal siapa itu Anang, lebih baik saya beri tahu. Ini saya lakukan supaya Anda tahu, dengan begitu Anda jadi tahu.

Anang Hermansyah itu adalah mantan suami Kridayanti. Krisdayanti itu adalah penyanyi yang sudah digolongan sebagai seorang Diva. Tahu dong Krisdayanti? Kalo nggak tahu juga, Anda benar-benar kebangetan! Masa Anang nggak tahu, Krisdayanti nggak tahu juga? Manusia macam apa Anda ini? Apa kata dunia?



Sebenarnya saya nggak suka kalo disama-samakan dengan Anang, karena beberapa orang mengatakan saya lebih ganteng daripada Anang. Kalo ada orang yang mau muntah dengan statement saya yang cenderung percaya diri itu, saya berani mempertanggungjawabkan, kok! Kata orang, saya memang ganteng kayak sekuteng yang belum mateng. Ya, setidaknya ini dikatakan oleh istri dan kedua anak saya.

Meski dikatakan mirip Anang, saya nggak bangga dengan status tersebut. Selain karena lebih ganteng dari Anang, saya merasa lebih mahir membuat keluarga kami bahagia sejahtera lahir bathin. Konflik-konflik dalam rumah tangga yang pasti selalu terjadi, Alhamdulillah berhasil saya selesainya dengan istri. Bukan cuma konflik kecil, tetapi konflik besar pun kami sempat kami dapatkan, dan berhasil dilalui, dan nggak sampai membuat kami bercerai.


Lebih cantik istri saya daripada Krisdayanti. Lebih orisinil. Nggak ada plastik di seluruh anggota tubuhnya, karena bersyukur dengan pemberian Sang Pencipta.

Saya juga nggak bangga dikatakan mirip Anang, karena kami beda kemampuan. Anang mampu menjadi pencipta lagu, penyanyi, dan mendapatkan Krisdayanti sebagai istri. Sementara, saya adalah karyawan, penulis, dan mendapatkan seorang istri yang jauh luar biasa daripada seorang Diva. Kenapa luar biasa? Bersyukur dengan segala pemberian Allah, termasuk bantuk tubuhnya, hidungnya, kulitnya, dan anggota tubuh lain. Semua masih orisinil. Saya pun masih orisinil, nggak ada satu anggota tubuh yang dioperasi. Meski hidung saya rada pesek, saya nggak akan mau dioperasi sehingga memiliki hidup yang mancung mirip Petruk. I love the way I am.

Saya lebih bangga menjadi diri sendiri, bukan bangga karena dimirip-miripkan dengan seorang public figure. Nggak penting juga gitu, lho! Bangga terhadap istri dan anak-anak saya yang selalu men-support saya. Kebanggaan inilah yang memacu adrenalin saya untuk tetap mempertahankan Indonesia ini sampai titik darah terkhir, maksudnya mempertahankan keutuhan keluarga saya yang tercinta ini, meski harus ber-ROCK N' ROLL ria.

Selasa, 24 November 2009

OLEH-OLEH DARI SEX SHOP

Sebuah kotak berukuran 5x5 cm itu cukup eye catching. Warna hijau muda yang menjadi warna dasar kotak itu sungguh menarik mata. Tutup kotaknya pun lucu, bergaris-garis aneka warna: merah, biru, dan putih.

Dari kotaknya saja, barangkali bisa membuat kita penasaran isi di dalam kotak itu. Barang berhargakah? Yang harganya mahal? Atau cuma sebuah barang murahan yang nggak penting?

Buat saya nggak penting lagi harga atau jenis barangnya. Tetapi saya lebih melihat dari perspektif lain, yakni itikad membelikan oleh-oleh. Yes! Kotak beserta isinya ini adalah oleh-oleh temen saya yang baru melancong ke Singapura dalam rangka dinas kantor.


Ini dia mug yang diberikan teman saya yang berdarah Batak.

Saya dan barangkali ada di antara Anda, seringkali malas atau nggak pernah sama sekali membeli oleh-oleh, bukan cuma buat teman, tetapi keluarga. Membeli oleh-oleh memang bukan kebiasaan saya atau kalo dalam bahasa gaulnya: BUKAN GUE BANGET! Saya bukan tipikal orang yang berinisiatif membelikan oleh-oleh tiap pergi ke luar kota. Nggak heran tiap kali pergi dinas, selalu diingatkan oleh istri agar beli oleh-oleh.

Nah, back to basic, beberapa waktu lalu temen saya memberikan sebuah oleh-oleh yang menurut saya luar biasa. Sebuah mug yang ada gambar seorang wanita seksi menggenakan hot pants. Lucunya lagi, pantat si wanita itu menonjol ke luar, sehingga kita bisa memegang pantat wanita ini tanpa harus takut dituntut gara-gara dianggap melecehkan.



Kalo ini bukan oleh-oleh dari Singapura, tetapi dari orangtua saya yang baru pulang dari Jember, tape manis yang uenak.


Kata temen saya yang memberikan oleh-oleh, mug ini dibeli di sebuah sex shop. Walah! Entah apa yang membuatnya berpikir saya ini termasuk sex addicted atau sex maniac. Namun saya menghargai banget jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur di medan perang, lho kok? Maksudnya menghargai efford teman saya yang membelikan oleh-oleh ini.

Selain saya, ada teman-teman lain yang juga diberikan oleh-oleh, dimana belinya juga di sex shop. Nah, kebetulan satu teman saya yang diberikan oleh-oleh ini memang gila sex. Bukan cuma suka mengkoleksi video-video porno atau langganan panti pijat plus-plus, tetapi tampangnya cukup pas buat dijadikan bintang film BF. Anda tahu oleh-olehnya apa? Sebuah payudara yang terbuat dari karet seukuran bola tenis, yang kalo dipegang-pegang oleh kita begitu lembut, indah, berseri (kayak iklan produk sampo?).


Payudara-payudaraan oleh-oleh teman saya yang diberikan kepada fakir miskin, eh bukan ding! Diberikan kepada salah satu teman saya yang memang tergila-gila pada kehidupan seks.

Kayak-kayaknya, payudara mainan itu akan selalu dibawa oleh teman saya bermuka mesum itu kemana pun ia pergi, asal jangan dibawa ke masjid aja. Kebayang kalo dibawa ke masjid, payudara palsu itu jatuh dari kantong bajunya, lalu menggelinding ke jamaah di sampingnya. Mending kalo jamaah di sampingnya nggak terangsang, coba kalo jamaah itu nggak jadi meneruskan sholat dan langsung pegi ke WC. Wah, berbahaya tuh!


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Senin, 23 November 2009

HARUSNYA "MEMANUSIAKAN" MANUSIA, BUKAN HEWAN

Bukan rahasia lagi, mereka yang punya peliharaan hewan selalu punya sikap berlebihan. Berlebihan dalam konteks ini adalah perawatan hewan yang dipelihara. Si pemilik hewan peliharaan seringkali jauh lebih “memanusiakan” binatang ketimbang manusia yang ada di sekitar mereka.

Tetangga saya punya burung yang suaranya keren banget. Saya nggak tahu jenis burungnya apa, karena saya nggak peduli. Sungguh nggak peduli. Yang pasti, siulan burung itu mantap punya. Kabarnya burung ini sering juara konteks siulan burung. Nah, tetangga saya ini tiap pagi, sore, dan malam selalu merawat burung ini, sampai-sampai “burung” dan istrinya sendiri nggak pernah dirawat.

Ada lagi cerita dua teman saya. Temen saya yang satu punya seekor anjing, satunya lagi memelihara kucing. Pernah seekor anjing sakit, begitu juga kucing. Waktu sakit dua binatang itu memang nggak bersamaan, tapi yang saya mau share di sini, gara-gara si kucing dan si anjing sakit, dua teman ini ikut-ikutan sakit. Dengan berbagai cara, ia mencoba menyembuhkan binatang peliharaan mereka ini. Mereka nggak peduli jumlah uang yang dikeluarkan, yang penting si anjing dan si kucing sehat wal afiat.


Ini dua Asisten yang sudah lima tahun ini berada di rumah kami. Kami bersyukur mereka betah di rumah, sementara banyak keluarga yang setiap tahun gonta-ganti asisten. Barangkali mereka berdua mengganggap kami sebagai majikan yang "memanusiakan" mereka. Nggak cuma kami, kedua anak kami pun "memanusiakan" mereka berdua.

Kalo ceritanya cuma sampai menyembuhkan kedua binatang itu, ya it’s ok. Tetapi kalo Anda tahu, prilaku dua teman saya ini jauh berbeda ketika mengetahui ada Pembantunya sakit atau Saudaranya kritis. Mereka cuek bebek, tuh! Bagi mereka, baik Pembantu atau Saudara nggak penting. Inilah yang saya sebut sebagai "memanusiakan" hewan ketimbang "memanusiakan" manusia. Lebih peduli pada hewan daripada mahkluk sejenis.

Gara-gara "memanusiakan" hewan, harga hewan jauh lebih tinggi daripada harga seorang manusia. Si manusia yang memelihara hewan atau biasa memanusiakan binatang berani membeli hewan dengan harga berapa pun juga. Apalagi kalo hewan yang dibeli atau nantinya akan dipelihara disangkut pautkan dengan hoki diri mereka. Kalo beli hewan A, maka hokinya gila-gilaan. Kalo beli hewan B, bisnis bakal lancar. Sementara harga Asisten di rumah, terkadang jauh lebih murah dari hewan.

Padahal Asisten kerjanya terkadang lebih berat daripada sang Majikan. Sebelum Majikan pulang, Asisten akan menjaga anak-anak si Majikan, sehingga kerjanya nggak cuma 8 jam, tetapi lebih. Inilah yang menjadikan Asisten tangan kanan si Majikan, dimana tanggung jawab di rumah cukup berat. Sementara penghargaan terhadap Asisten seringkali nggak seimbang dengan tanggung jawabnya. Ironis bukan?

Sabtu, 21 November 2009

HAJJAH KHAIRA DAN IMPIAN KAMI

Khaira kini sudah bergelar Hajjah. Kalo mendapatkan undangan atau mengisi buku absen, nama panjang anak kami ini akan semakin panjang: Hajjah Khaira Saskia Aryasatya. Tetapi biasanya orang biasa memanggil dengan nama singkat Hajjah Khaira atau Ibu Haji.

Pagi ini bersama teman-temannya, ia sudah melakukan thawaf ifadhah, yakni mengelilingi ka’bah sebanyak 7 (tujuh) kali. Lalu melemparkan jumratul Aqabah dengan menggunakan batu kecil ke sebuah tiang sebanyak 7 (tujuh) kali juga. Sebelumnya, mereka membaca talbiyah selama melakukan ihram sampai melempar jumrah Aqbah. Mereka membaca: labbaika-llahumma labbaik. Labbaika laasyariika laka labbaik. Innal hamda manni’mata wal-mulka laa syariika laka (Aku datang menyambut panggilan-Mu yaa Allah. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Aku sambut panggilan-Mu, dan hanya Engkaulah yang memiliki kerajaan. Tidak ada sekutu bagimu).

Kelar jumrah Aqbah, Khaira dan teman-temannya berdoa dan diakhiri dengan melaksanakan sholat dua rakaat. Tepat pukul 10:00 wib, rangkaian acara thawaf itupun selesai. Khaira yang termasuk peserta jamaah haji di kloter 3 ini, resmi bergelar Hajjah, sebuah gelar yang diimpikan hampir seluruh umat Islam di dunia ini.



Sebagai orangtua, saya sedih. Saya dan istri belum naik haji, kok justru anak saya yang pegi ke rumah Allah? Bukan kok! Khaira tidak sedang berada di Makkah buat berhaji. Ia dan teman-temannya sedang melakukan acara manasik haji yang diselenggarakan oleh sekolahnya di TK At-Taqwa Sabtu ini. Jadi, gelar Hajjah yang berada di depan nama Khaira belum pantas disandang, termasuk pangilan Ibu Haji. Wong Khaira juga belum married!

Manasik haji adalah sebuah program, dimana anak-anak dikenalkan dengan aktivitas yang dilakukan oleh jemaah haji di seluruh dunia ini, ketika mereka berada di Mekkah. Mereka dikenalkan sebagaimana tahap-tahap yang sudah saya sebutkan di atas, yakni melakukan rangkaian acara thawaf sampai akhirnya menjadi haji yang sempurna.

Dalam melaksanakan manasik haji, anak-anak harus mengenakan pakaian seolah pakaian yang dikenakan jamaah haji pada saat ihram, yakni mengenakan pakaian putih-putih. Kalo yang pria mengenakan kain yang diselempangkan di bahu sampai ke betis, sehingga bahu kanan terbuka. Lalu menggenakan kaos kaki putih dan sandal jepit. Sementara buat anak-anak perempuan, semua aurat tertutup, kecuali wajah. Alas kakinya sama seperti yang dikenakan anak laki-laki, yakni mengenakan kaos kaki dan sandal jepit.



Kami beruntung bisa punya waktu melihat aktivitas manasik haji ini. Sebenarnya sih sudah beberapa kali kami menghadiri acara manasik haji, setidaknya ini yang kedua. Yang pertama ketika Anjani masih di TK Ar-Rahman. Anak kami yang pertama ini sempat melakukan manasik di TK-nya yang dulu itu. Namun kok rasanya manasik yang kali ini yang dilakukan di sekolah Khaira makin menguatkan impian kami buat pergi haji ya? Inilah yang namanya hidayah?

Kelar mengikuti acara di sekolah Khaira, di mobil saya dan istri berdoa. Semoga dalam beberapa tahun ini, kami bisa melaksanakan ibadah haji sesuai perintah Allah yang kelima. Tentu kami juga nggak mau sekadar berangkat ke tanah suci dan menjadi haji. Yang utama justru setelah naik haji, yakni berbuat sesuatu yang terbaik buat orang-orang di sekitar kami, terutama membimbing anak-anak kami menjadi orang yang dibanggakan oleh kami dan semua orang.

Jumat, 20 November 2009

KAYAK JURUS PENCAK SILAT

Keluarga kami termasuk kategori keluarga bahagia. Saking bahagianya, tidur kami pun cukup bahagia. Indikator kebahagiaan dalam tidur ditandai dengan gaya kami pada saat tidur. Bukan cuma anak-anak kami -Anjani dan Khaira- yang punya gaya saat tidur, saya dan istri pun seringkali melakukan hal yang sama.

Sebelum saya melanjutkan cerita soal gaya kami saat tidur, ada baiknya saya ceritakan terlebih dahulu soal kamar kami. Bahwa di rumah, kami punya tiga kamar tidur. Satu kamar tidur di bawah yang diperuntukkan dua asisten kami, dan dua kamar tidur buat saya dan istri serta kedua putri kami.



Meski anak-anak kami sudah dibuatkan kamar, mereka tetap saja suka tidur di kamar kami. Bukan karena kamar tidur mereka angker atau mereka takut tidur sendirian di kamar mereka, tetapi setidaknya ada dua alasan mengapa sampai mereka lebih senang tidur di kamar kami.

Alasan pertama, AC kami kami lebih dingin dari AC kamar anak-anak kami. Saya pikir alasan mereka nggak masuk akal. Kenapa? Kami membeli AC kamar kami bersamaan dengan pembelian AC buat kamar anak-anak kami. Artinya, sama-sama beli baru di waktu dan jam yang sama. Tetapi setelah beberapa saat berada di kamar anak kami, memang sih ada perbedaan suhu yang dihasilkan dari AC kamar kami dengan AC kamar anak-anak. Padahal angka celcius-nya sama. Misalnya angka di remote AC kamar kami dipasang 20 derajat celcius, kami coba pasang di AC kamar anak-anak juga segitu. Tetapi pada saat kami rasakan, memang lebih dingin suhu AC di kamar kami.

Kalo alasan pertama kayaknya kurang tepat, maka alasan kedua lebih tepat. Kebetulan saya pun suka dengan alasan ini, yakni kebersamaan. Bahwa meski spring bad di kamar kami nggak berukuran raksasa (kurang lebih 155 cm X 2,5 meter), tetapi kedua anak kami lebih suka "umpel-umpelan" (baca: berdesak-desakan)dalam satu ranjang. Dengan berdesak-desakan inilah yang menyebabkan kehangatan. Enak kan?



Nah, ketika berdesakan di dalam satu ranjang, anak-anak kami melakukan aksi bermacam-macam gaya tidur. Kadang kaki berubah menendang kepala orang lain. Itu baru soal kaki, soal perubahan posisi tidur pun menarik. Pada awal tidur, Khaira menghadap ke Utara, sementara pada saat pagi hari, ia sudah pindah menghadap ke Selatan dan di kaki kami. Sama halnya dengan Anjani, yang seringpula pindah posisi.

Saya yakin, mereka nggak sadar melakukan itu. Tetapi sadar nggak sadar, yang biasa menendang, diminta pertanggungjawabannya. Paling tidak memberikan minyak tawon pada orang yang kena tendangan. Entah itu kepalanya yang benjol atau kakinya yang bengkak, yang terpaksa harus diolesin minyak tawon itu.

Kamis, 19 November 2009

KAYAK MASUK KOMPLEKS ABRI

Tiap kali antar Anjani ke sekolahnya di SD Negeri Rawamangun 12 Pagi atau dikenal dengan SD Lab School, saya selalu mencari trik-trik baru. Trik ini guna menghindari dari kemacetan yang terjadi di jalan Pemuda. Sebab, kalo sudah macet, yang paling stres adalah anak kami. Kalo anak kami sudah stres, kami pun ikut-ikutan stres.

"Ayo dong, Pap buruan!"

"Lah, kan di depan mobil kita ada mobil? Memangnya kamu mau bertanggungjawab kalo Papa tabrak mobil di depan?"

Nggak salah juga sih Anjani meminta saya untuk buru-buru, karena kalo telat, ia mendapatkan hukuman tidak boleh masuk di jam pelajaran pertama. Which is itu akan menjadikan putri kami ketinggalan pelajaran. Kasihan kan? Tetapi keterlambatan ini juga bukan karena salah saya 100%. Sebab, saya sudah berusaha menurunkan ego saya terpaksa nggak mandi ketika mengantarkan Anjani. Kalo saya harus mandi, maka waktu menunggu putri kami terlalu lama, padahal ia sudah siap lahir bathin buat berangkat sekolah. Kasihan kan kalo ia sudah siap, sementara saya masih mandi? Padahal waktu mandi bisa digunakan buat mengejar waktu masuk sekolah yang secara legal tertulis 06.30 wib, namun pada prakteknya 07:00 wib.



Kalo Anda pernah melancong melewati jalan Pemuda, jalan dua arah (Pemuda menuju Pulogadung dan Pemuda menuju Pramuka) sama-sama macet. Kemacetan ini jelas gara-gara mobil-mobil pengantar anak sekolah. Anda tahu, buat berputar arah, dari arah Pramuka berputar ke Pemuda buat menurunkan anak di depan gerbang Universitas Negeri Jakarta (UNJ) bisa memakan waktu 10-20 menit. Saya jarang mendapatkan mukjizat berutar arah cuma menghabiskan waktu 5 menit. Itu jarang, sangat jarang terjadi. Nah, oleh karena itulah kami, para pengantar biasanya menggunakan siasat.

Siasat pertama, menurunkan anak di bawah jembatan penyebrangan. Jadi, mobil berhenti pas di bawah jembatan penyeberangan yang persis berada di depan kompleks UNJ, dan si anak diminta buat berjalan dari situ menuju ke kelas. Lumayan juga sih jaraknya, 100 meter. Namun siasat ini menghemat waktu 10-20 menit, ketimbang berputar balik.



Surat kesepakatan ini dibuat oleh dua pihak, yakni pihak sekolah dalam hal ini Kepala Sekolah (H. Yitno Suyoko) dan pihak warga yang diwakili oleh Ketua RT 008/ RW 014 kelurahan Rawamangun, Jakarta Pusat (Jumhawan). Nama terakhir yang menjadi Ketua RT 008 nggak lain adalah kakak kelas saya ketika masih bersekolah di Labs School ini.


Biasanya, menurunkan anak di jembatan penyebarangan ini akan terjadi kalo si pengantar melihat suasana putaran balik crowded banget. Mobil-mobil yang mau berputar nggak bergerak sama sekali. Antreannya pun panjang. Kalo putaran balik kebetulan kosong, ya dengan senang hati para pengantar akan berputar balik dan menurunkan anak-anak mereka dengan normal.

Siasat kedua biasanya berputar masuk ke dalam kompleks kampus UNJ, yakni melalui jalan Daksinapati. Namun ini juga nggak menjamin waktunya akan lebih cepat daripada berputar lewat jalan Pemuda. Sebab, kalo lagi padat, antreannya juga panjang. Apalagi kalo berjumpa dengan anak-anak yang berlari pagi, wah terpaksa kita kudu bersabar-sabar menunggu gerombolan siswa-siswi berlari pagi. Ini biasanya terjadi pada hari Jum'at.

Kalo lagi kosong, masuk ke kompleks kampus UNJ enak banget. Mobil bisa berada di depan gerbang sekolah. Tetapi sekarang-sekarang ini nggak mungkin, karena akses masuk menuju ke gerbang ditutup gara-gara ada pembangunan gedung baru bekas Teater Besar yang terbakar itu. Jadi anak yang diantar juga harus berjalan beberapa meter menuju ke gerbang dan kemudian sampai ke kelas.

Siasat ketiga, dahulu saya biasa masuk ke kompleks dosen IKIP. Ini kami lakukan kalo terjadi antrean yang panjang di kompleks kampus UNJ. Jadi, mobil saya masuk ke area kompleks dan numpang parkir di jalan dekat gerbang sekolah. Namun siasat ini nggak akan mungkin lagi. Kenapa? Kayak-kayaknya warga protes terhadap para pengantar yang memanfaatkan areal kompeleks mereka, sehingga nggak ada lagi pengantar -kecuali penghuni kompleks- yang diizinkan menurunkan anak-anak mereka di areal kompleks.

Saat ini, masuk kompleks dosen IKIP Jakarta memang sudah kayak masuk kompleks ABRI. Percaya nggak percaya, banyak aturan yang diterapkan oleh penghuni kompleks, yang setahu saya masih banyak teman-teman saya yang bermukim di sekitar situ. Begitu ada mobil "asing" yang coba-coba masuk ke kompleks, Security kompleks langsung menegur dan meminta si pengendara mobil untuk mengurungkan niatnya masuk ke kompleks.



Saya memang bisa membayangkan kekesalan para penghuni kompleks yang merasa terganggu dengan para pengantar yang memasuki areal pemukiman. Tetapi saya jadi merasa asing dengan pemukiman ini. Padahal bertahun-tahun saya sekolah di Labs School, dari SD sampai SMA, nggak ada satu pun warga yang protes sebagaimana saat ini terjadi. Dahulu, kapanpun saya membawa mobil, memarkirkan mobil, atau nongkrong berlama-lama di kompleks ini, nggak ada satu pun warga yang cemberut. Namun saya yakin, penghuni kompleks ini banyak yang sudah berbeda. Dari generasi sosial ke generasi yang lebih moderen. Ah, entahlah.

Padahal saya yakin, ada beberapa penghuni yang masih saya kenal, teman saya maksudnya. Dimana mereka pasti nggak akan keberatan kalo saya numpang parkir sebentar buat mengantarkan anak saya ke sekolah dan kemudian saya pergi lagi ke kantor. Tetapi Security di depan kompleks, yang pasti sudah didaulat buat menjaga keamanan, termasuk menjaga para pengantar anak sekolah agar tidak masuk ke kompleks, sudah mencegah orang-orang seperti kami.



Jadi mohon maaf kalo apa yang saya lihat sekarang ini, yakni aturan-aturan yang diterapkan di kompleks ini mirip kayak saya masuk ke kompleks ABRI. Selain nggak boleh parkir kecuali penghuni, nggak boleh duduk-duduk di sebuah tempat di areal kompleks. Saya jadi berpikir, ini cuma guyonan aja, jangan-jangan nantinya kalo masuk ke kompleks ini harus buka kacamata, buka helm, matikan lampu, atau membuka kaca pada saat melintas di pos security.

Sampai kini, siasat demi siasat terus saya cari agar bisa memuaskan anak kami bisa tidak terlambat sekolah. Selain menggunakan motor bertenaga AKI yang ramah lingkungan, kami juga sudah mencoba bersiasat memutar balik di dekat Arion. Ini kalo kebetulan putaran balik nggak bergerak sama sekali. Meski sedikit lebih jauh dan melewati dua lampu merah, tetapi arus kendaraan berjalan terus. Kalo dengan menggunakan siasat ini, kami biasanya menghabiskan waktu 7-12 menit.