Selasa, 29 Juni 2010

BIAR SAMPAI BERBUSA, TETAPI NGGAK BERHASIL JUGA...

Begitulah seni menjadi orangtua yang mau sok nasionalis. Ini terjadi minggu lalu ketika kedua anak saya mengajak saya dan istri nonton. Sejak dari rumah anak-anak kami kompakan ingin menonton Toy Story 3. Sementara kami mencoba membujuk kedua anak kami nonton film buatan negeri sendiri. Eh, anak-anak kami tetap saja memilih produk impor produksi Pixar dan Disney itu. Padahal mulut ini sudah berbusa-busa promosi.

"Film ini bagus, lho, untuk kamu," kata saya berpormosi film Tanah Air Beta.

Memang promosi saya cuma di mulut aja. Kata-kata "bagus" di situ sebenarnya bohong. Kenapa bohong? Ya, karena saya benar-benar belum nonton film karya sutradara Ari Sihasale yang saya bilang bagus itu. Alhamdulillah kalo memang bagus. Tapi kalo yang saya promosikan itu ternyata jelek bagaimana? Soalnya saya pernah berpromosi film setengah lokal Meraih Impian, yang ternyata mengecewakan anak-anak kami.

"Saya kok kayak orang sales atau orang marketing ya?" pikir saya dalam hati. "Biasanya kan orang sales dan marketing itu selalu bilang 'bagus' atau 'luar biasa', padahal belum tentu produk yang dijual itu sesuai dengan apa yang dipromosikan mereka, ya nggak?"

Tentu bukan pekerjaan yang mudah buat membujuk anak nonton film karya sutradara Indonesia. Padahal minggu-minggu ini, sedikitnya ada tiga film lokal, yakni Laskar Cilik, Tanah Air Beta, dan Obama Anak Menteng (film ini rencananya baru diputar 1 Juli). Hebatnya, dua film pertama, di posternya ada testimoni dari beberapa orang.



Di film Laskar Cilik, ada dua publik figur yang berkomentar, yakni Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait dan bahkan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh. Arist Merdeka mengatakan, "Film ini layak ditonton oleh semua keluarga, karena berisi pesan bagi kita semua". Sementara Mendiknas M. Nuh berkomentar, "Film ini sangat baik ditonton anak-anak dan keluarga, karena memberikan arti, tentang lintas persahabatan".

Terus terang saya pribadi tertawa melihat testimoni basi dua publik figur itu. Yaiyalah, kalo sekadar layak ditonton oleh anak-anak dan keluarga, itu sudah pasti bukan? Namanya juga film anak-anak? Nggak mungkin kan kalo film tersebut nggak layak buat anak-anak? Kecuali testimoninya aneh seperti ini: "Film ini hanya layak ditonton oleh ABG dan orang dewasa!" Pasti calon penonton akan penasaran, film anak tetapi kenapa cuma layak ditonton oleh ABG dan orang dewasa ya?

Itu tadi testimoni di film Laskar Cilik, coba sekarang Anda perhatikan testimoni di film Tanah Air Beta berikut ini:

"Film yang sangat dirindukan oleh masyarakat Indonesia dan sangat tepat untuk menyambut Hari Anak Indonesia. Semoga banyak anak-anak yang menyaksikan film ini bersama orangtuanya." (Menteri Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak Linda Agum Gumelar).

"Film 'Tanah Air Beta' punya sikap politik yang sangat jelas berpihak kepada kemanusiaan & kepada korban. Selamat untuk Ale & Nia". (Sutradara Riri Riza).

"Tawa dan air mata menjadi satu ketika menonton 'Tanah Air Beta'. Saya menjadi larut dalam kisah yang mengalir wajar seakan menyaksikan kilas balik sejarah orang-orang yang terlupakan. Film ini mampu menggugah semangat nasionalisme kita." (Kick Andy, Andy F. Noya)

"Film ini tidak berpihak menceritakan segala sesuatu dengan apa adanya dan dari point of view anak-anak. This is 'THE BEST' Alenia Pictures Film." (Produser & Sutradara Nia Di Nata)

Masih belum cukup dengan testimoni 4 publik figure, film Tanah Air Beta menambah tulisan dalam huruf bold dan diberi kotak, yakni FILM KELUARGA YANG HARUS DITONTON.

Berbagai promosi gencar dilakukan. Bukan cuma oleh di pembuat film lokal, tetapi saya dan istri pun mencoba berpromosi. Meski dalam promosi ada kalimat-kalimat yang hiperbola atau sedikit berbohong, toh kebenaran ternyata yang menang. Anak-anak lebih suka nonton Toy Story 3.

"Kenapa sih nggak mau nonton Tanah Air Beta?"

"Maunya Toy Story 3!"

"Bagus lho ada Robby Tumewu," saya berpromosi tapi kali ini nggak penting amat mempromosikan Robby Tumewu. Seperti kehilangan alasan.

"Ada Thessa Kaunang segala, lho!"

"Siapa tuh Robby Tumewu dan Thessa Kaunang? Aku nggak tahu!" komentar anak saya.

"Pokoknya Toy Story 3. Titik!"

Oalah! Ternyata saya memang masih butuh belajar sama orang sales atau marketing buat berpromosi, bahkan kalo perlu belajar dari suhu-nya marketing Hermawan Kertajaya. Tapi teman saya bilang, bukan salah saya 100% nggak bisa promosikan film lokal. Ada pula yang kudu dipelajari oleh para pembuat film lokal selain meminta testimoni publik figure sebagai daya tarik promosi.

Film marketing kita memang belum integrated. Belum menjadi satu kesatuan bagi promosi. Bahwa film masih dianggap produk tepisah. Coba Anda mampir ke bioskop XXI atau Blitz. Anda perhatikan! Begitu masuk ke bioskop sinepleks itu, Toy Story 3 everywhere. Mulai dari tempat minum, tempat pop corn, dan gantungan-gantungan di sinepleks itu Toy Story 3. Sementara film lokal?

"Wah, harusnya yang digantung adalah testimoni-testimoni publik figure itu ya?" goda teman saya.