Jumat, 22 Desember 2017

KUCING ITU BERNAMA KARA

Kara, begitu nama kucing peliharaan anak saya. Dinamakan Kara, karena warna bulunya persis kayak nama merek produk santan. Putih. Harumnya sih nggak kayak santan, tetap bau kucing. Cat lovers pasti tahu dong bau kucing kayak gimana?

Namun, dalam setahun ini Kara sudah dua sampai tiga kali dimandikan di tempat pencucian mobil. Ups salah! Maksudnya tempat pencucian hewan peliharaan. Nah, karena dimandikan, bau Kara nggak kayak bau kucing, tetapi kayak bau pakaian yang baru dikasih pengharum. Wangi.

 

Jumat, 20 Mei 2016

SAHABAT ANAK SAYA ITU MENINGGAL...

Anak saya menangis dengan seseggukkan. Begitu sampai dari kantor, anak saya langsung memohon agar ia bisa diizinkan ke RS Cipto Mangunkusumo. Padahal saya baru saja pulang dari kantor dan belum juga masuk ke dalam rumah.

"Pah, aku minta izin diantar ke Cipto. Temanku sekarang dalam kondisi kritis. Teman-teman sudah di ICU sekarang," ujar anak saya sambil menangis seseggukkan, Air matanya mengucur.

"Teman kamu itu siapanya kamu?" tanya saya.

Terus terang, saat itu kepekaan saya pada perasaan anak kurang sekali. Seharusnya pertanyaan tersebut tidak saya tanyakan. Namun, sungguh, pertanyaan itu keluar dari mulut saya, gara-gara saya merasa aneh melihat anak saya. Kok teman saja begitu terluka? Menangis begitu haru? Air mata keluar begitu deras? Ada apa? Siapa dia?

"Dia sahabat aku, Pah," jelas anak saya.

Dengan setengah terpaksa, akhirnya saya mengantarkan anak saya ke RS Cipto. Saat itu sudah malam. Ya, sekitar pukul 8 malam. Lalu lintas tak begitu padat, Makanya kami tiba di RS Cipto relatif cepat. Padahal biasanya jalanan di sekitar Cipto, macet.

"Papa nggak usah nunggu. Takut kelamaan," ujar anak saya.

Saya pun pulang.

Dua jam berlalu. Telepon saya berdering. Dari suara telepon terdengar suara anak saya yang kembali sesegukkan.

"Pah, temanku meninggal..."

"Innalillahi wa inna ilayhi roji'un..."

Sejak berita meninggal, ada perasaan sedih sudah berprasangka negatif pada teman anak saya yang almarhum. Saya menyesal. Jika melihat catatan di blog anak saya, ia sahabat yang telah banyak mengingatkan hal-hal positif. Terus terang kami memang tak mengizinkan anak kami pacaran. Alasan itu yang awalnya membuat saya berprasangka negatif saat anak saya nangis sesegukkan. Sebagai orangtua, kami melarang pacaran, karena pacaran haram, dosa. Namun, saya percaya, anak kami sampai kini berhasil menjaga kehormataannya. Dan almarhum sekadar sahabat, cuma teman curhat.

Maafkan Papa ya, Nak...

Sabtu, 07 Mei 2016

ORANG YANG KERJA DI BANK DOSA NGGAK, PAH?

Ada kisah yang menarik lain di long wiken ini yang hampir saya lupa ceritakan. Ini terjadi saat saya mengantarkan anak saya meningap di rumah teman. Kami berdiskusi soal "masalah berat" dengan cara santai. Seperti biasa, saat diskusi di dalam mobil dalam perjalanan.

"Nak, lihat mobil itu," ujar saya pada anak.

Ada sebuah mobil berada di jajaran mobil lain yang sedang berhenti saat lampu merah. Saya menunjuk mobil tersebut dan mengatakan, bahwa kami ingin membeli mobil tersebut. Namun, sayang, mobil tersebut nggak ada tipe otomatiknya.

Saat ini mobil kami sudah berumur 4 (empat) tahun lebih. Biasanya, begitu sudah tahun ke-3, kami sudah sibuk mencari mobil baru. Saya dan istri memang sudah punya "kebijakan" itu. "Kebijakan" ini lantaran, karena kami nggak paham mesin. Nggak paham gimana membetulkan mobil ketika mogok. Makanya, buat menjaga hal-hal yang nggak diinginkan, kami selalu ganti mobil setiap 3 tahun sekali. Mohon dipahami. Apa yang saya ceritakan tanpa bermaksud buat pamer. Sama sekali tidak.

Kami bukan orang yang berlebih harta (baca: kaya raya). Saya bukan konglomerat atau pengusaha kelas kakap yang punya bisnis beromset miliaran. Saya masih pegawai. Istri saya nggak kerja. Namun, rezeki yang diberikan Allah selalu ada. Alhamdulillah. Namun, kami berusaha agar "kebijakan" ganti mobil tiap 3 tahun sekali terjadi. Ya, setidaknya sudah tiga kali kami menjalankan ini.

"Papa nggak mau pinjam uang lagi di bank, Nak," ujar saya membuka diskusi. "Kamu tahu, tiap beli mobil baru, Papa dan Mama selalu pinjam di bank. Itu sama aja Papa dan Mama berhutang. Dengan berhutang, Papa dan Mama juga dikenakan bunga.."

Saya pun menjelaskan dengan ringan, bahwa bunga di bank itu adalah riba. Dalam agama kami, Islam, riba adalah haram. Ustad siapa pun mengatakan, riba itu haram. Oleh karena haram, saya mengatakan pada anak saya, bahwa kali ini saya ingin membeli mobil secara kontan.

"Makanya Papa dan Mama cari mobil yang sesuai dengan dana yang ada," jelas saya. "Dana yang ada buat beli mobil baru, ya mobil itu, Nak..."

"Tapi nggak ada otomatik ya, Pah?" tanya anak saya.

"Iya, Nak. Kamu kan tahu kasihan Mama kalo nggak pake mobil otomatik harus kesana-kemari, jemput kamu..."

Anak saya mengangguk.

Mobil menjadi "pintu masuk" membicarakan soal riba. Alhamdulillah, saya berhasil memberikan info penting tentang satu hal itu. Saya berharap, anak saya mengerti betapa bahayanya riba. Allah melalui Rasulullah SAW mengajarkan pada kita, bahwa kita membeli sesuai dengan KEBUTUHAN dan KEMAMPUAN kita. Jika kita nggaak mampu, ya nggak usah maksa. Nggak perlu menjeratkan diri pada riba.

"Trus orang-orang yang kerja di bank itu dosa nggak, Pah?"

Pertanyaan anak saya ini sungguh cerdas. Namun, tentu saya harus hati-hati menjawab, karena sangat sensitif. Saya cuma bisa berdoa, semoga teman-teman saya yang bekerja di bank segera diberikan hidayah dari Allah Ta'ala.

"Insya Allah, mereka yang bekerja di bank yang ada kata syariah nggak berdosa, Nak," jawab saya diplomatis.

Mobil saya akhirnya sampai di depan pintu pagar teman anak saya. Waktunya kami berpisah. Sambil mengucap salam, saya berdoa agar anak-anak saya selalu menjadi anak yang sholehah. Mereka selalu menjadi orang yang menurut perintah Allah Ta'ala. Apa yang dikatakan Allah di Al-Qur'an nggak diprotes. Dan selalu menjadi orang-orang yang bersyukur. Aamiin.