Minggu, 18 Oktober 2015

Papa dan Mama Bangga Nak



Itulah kata yang tepat yang saya berikan pada putri kami. Dengan kerja keras dan kerja tim yang kompak, putri kami dan dua temannya berhasil meraih juara ke-2 lomba aplikasi mobile edukasi tingkat nasional. Lomba yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ini berlangsung pada 16-17 Oktober 2015 ini di Semarang, Jawa Tengah.

Sekali lagi, kemenangan ini jelas membanggakan. Bukan cuma membanggakan kami, tetapi membanggakan untuk sekolah mereka. Sebagai wakil dari sekolah, mereka telah berusaha semaksimal mungkin dan alhamdulillah berhasil membawa sebuah piala.

Tentu, keberhasilan mereka berkat bantuan Allah swt. Melalui doa-doa yang dipanjatkan oleh kami sebagai orangtua, lalu kakek-nenek, pakde-bude, dan juga kakak-kakak di keluarga besar kami, Allah swt menggerakkan kekuasaan-Nya. Sebagai manusia, kita cuma bisa berusaha dan berdoa. Berbicara usaha, padahal putri kami dan tim sempat pesimis. Hal ini terjadi, ketika dewan juri menghentikan presentasi tim, karena durasi presentasi terlalu lama.

Tenang, Kak. Sekarang saatnya berdoa,” ujar saya mencoba menenangkan.

Namun, apa yang dipikirkan manusia, belum tentu kejadiannya akan sama. Rasa pesimis, ternyata tidak menjadi kenyataan. Meski saat presentasi dihentikan, juri menatapkan putriku dan tim berhasil meraih juara ke-2 lomba aplikasi mobile edukasi tingkat nasional. Alhamdulillah...

Papa dan Mama bangga sama kakak,” ujar kami.

Keberhasilan mereka membuat stasiun televisi +Surya Citra Televisi (SCTV) meliput dan membuat paket berita.


Rabu, 14 Oktober 2015

SELAMAT BERTANDING, NAK...

Sejak masuk SMK, aktivitas putri saya luar biasa padat! Awalnya kami cemas. Salah satu kecemasan kami adalah fisik. Maklumlah, jam istirahat putri kami jadi berkurang. Bayangkan saja, berangkat pagi, pulang sebelum magrib.

Kami selalu mengingatkan agar jangan lupa makan. Yang terpenting juga, jangan lupa sholat. Buat kami, setelah kita berusaha dan selanjutnya semua kita gantungkan pada Allah, masalah akan beres. Oleh karena itu, kami tak bosan-bosan untuk mengingatkan putri kami agar jangan lupa sholat.

Aktivitas putri kami bukan sekadar hura-hura, atau nongkrong dengan teman-teman sepulang sekolah. Ia lebih banyak mengikuti ekstra kulikuler. Lebih lagi, ia dipilih untuk ikutan membantu di Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Agenda harian makin padat ketika diminta sekolah untuk mengikuti lomba.


Sudah beberapa kali, putri kami diminta oleh Kepala Sekolah untuk mewakili sekolah dalam lomba. Sebagai orangtua, tentu saja kami bangga sekali. Kami tak pernah menargetkan putri kami untuk memenangkan perlombaan. Juara berapa pun no problem, bahkan sudah diminta sekolah untuk jadi wakil pun luar biasa.

Pagi ini, lepas subuh, saya mengantarkan putri kami ke Stasiun Kereta Api, Gambir, Jakarta Pusat. Ia dan kelima temannya hendak pergi ke Semarang, Jawa Tengah. Mereka akan mengikuti lomba "Bahan Ajar Mobile Edukasi 2015". Jadi, kelompok ini sudah membuat sebuah aplikasi mobile untuk bahan edukasi anak-anak SD. Saya sudah lihat karya mereka. Menarik sekali! Nah, karya aplikasi ini akan diikutkan lomba di Semarang.

"Habis ini aku mau diminta mewakili sekolah lagi untuk lomba english competition, Pa," ujar putri kami di dalam mobil.

"Wow! Luar biasa sekali!," ujar saya sambil mengemudikan mobil.

Sungguh, kami bangga dengan putri kami ini. Belum juga lomba di Semarang, sudah ada tawaran ikut lomba lagi. Sebelum di Semarang pun, ia juga sempat mengikuti beberapa lomba, termasuk lomba membuat film pendek bersama teman-teman sekolahnya. Hebat!

"Papa dan Mama cuma bisa berdoa pada Allah agar kakak selalu dalam lindungan-Nya. Selamat bertanding ya Nak..."





Jumat, 09 Oktober 2015

TIKUS DI RUMAH DAN FILM "RATATOUILLE"

"Pah, itu ada tikus," ujar Khaira.

Mendengar putri saya itu, seketika saya langsung menghentikan aktivitas saya: mengetik. Seekor tikus tergeletak di sebuah papan yang sudah ditaburi lem tikus. Putri saya menggeser badannya. Ia nampak geli.

"Kayaknya masih hidup.."

Iya, tikus itu masih hidup. Tetapi separuh badannya sudah lengket di papan yang berisi lem itu. Si tikus masih coba usaha melepaskan diri. Tapi tak jelas mampu.

Saya adalah pria yang takut pada tikus. Barangkali tak tepat dikatakan takut ya, tetapi geli. Setiap ada bangkai tikus di rumah, saya selalu minta pembantu saya untuk membuangnya. Kini, sang pembantu sudah tak ada di rumah. Jadi, mau tak mau tikus hidup yang terperangkap itu harus saya yang membuangnya.

Dengan rasa jijik, saya pun mencari plastik. Plastik ini untuk memasukkan tikus tersebut. Di tengah usaha saya memasukkan papan yang ada tikusnya itu, istri saya datang.

"Tadi kayaknya belum ada (tikusnya)?"

"Berarti tikusnya baru terperangkap," ujar saya sambil terus berusaha memasukkan papan berisi tikus ke plastik.

Alhamdulillah, dengan "penuh perjuangan", saya berhasil memasukkan tikus ke plastik dan segera membuangnya.

Kejadian tikus yang terperangkap ini menarik. Kenapa? Yakni saat putri saya sedang menyaksikan film Ratatouille di Indovision. Anda tahu kan film Ratatouille? Film ini mengisahkan seekor tikus dan seorang pria. Pria ini terbantu dengan seekor tikus, karena tikus tersebut "mengendalikan" si pria saat memasak di sebuah restoran.

Entah kenapa tikus di rumah terperangkap di saat film Ratatouille diputar. Saya berpikir, jangan-jangan tikus di rumah pengen nonton film tersebut, tetapi lupa ada jebakan yang kami pasang. Walhasil, apes lah hidup tikus kami di rumah. Oh iya, tikus ini adalah satu-satunya tikus yang sudah lama kami buru dan alhamdulillah pagi ini berhasil terjebak.


Rabu, 30 September 2015

BERKURBAN DI MAJALENGKA

Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, kami sekeluarga berkurban di Majalengka, Jawa Barat. Keputusan berkurban tidak di masjid atau menyumbang ke lembaga zakat, setelah saya dan istri melakukan rembukan. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, kami sudah lama tidak bersilaturahim dengan keluarga di Majalengka. Kedua, Idul Adha bisa dijadikan momentum untuk melakukan kurban di daerah luar Jakarta.

Alhamdulillah, dari 1 ekor domba, kami bisa membagikan 32 kantong daging ke tetangga di sekitar rumah saudara kami di Majalengka. Jika saat di Jakarta, istri dan anak saya tidak pernah memotong dan memasukkan daging kurban ke kantong plastik, di Majalengka mereka melakukan pekerjaan tersebut. Kalau saya kebetulan tiap tahun pasti membantu di masjid. Selain ikut serta menguliti kambing maupun sapi, juga membagikan daging.

 

JIKA TIDAK INGIN ANAK ANDA MEROKOK, YA ANDA JANGAN MEROKOK

Entah sudah berapa tahun saya berhenti merokok. Mungkin sepuluh tahun, atau lebih. Dulu, saya adalah perokok aktif yang bisa menghabiskan berbungkus-bungkus rokok dalam sehari. Sampai suatu saat saya sadar dan kemudian berhenti mengisap rokok favorit saya: Dji Sam Soe.

Saya tidak suka melihat anak SMP, SMA, bahkan SD sudah merokok. Ketidaksukaan saya membuat saya berpikir, mungkinkah anak-anak saya akan seperti mereka jika saya tetap merokok? Efektifkah saya melarang anak-anak saya merokok sementara saya tetap menjadi pecandu rokok? Jujurkah jika saya berbicara mengenai kesehatan pada anak-anak saya sementara saya masih mengisah asap Dji Sam Soe? Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian memacu saya berpikir keras.

Alhamdulillah, sejak kecil sampai menjadi ABG seperti sekarang ini, anak saya tidak pernah melihat saya merokok. Meski berjiwa rock n roll, saya ingin memberikan contoh pada anak-anak saya, bahwa papa-nya tidak suka merokok. Papanya punya komitmen menjaga kesehatan. Dan tentu saja, papanya akan marah jika anak-anaknya merokok.

"Rasanya pengen muntah...," begitu ucap putri saya tiap mencium ada asap rokok.

Menjadi orangtua sebetulnya mudah. Cukup memberi contoh, bukan sekadar perintah atau larangan. Jika tidak ingin anak Anda merokok, ya Anda jangan merokok.

cc +Jangan Merokok +keren tanpa rokok

Senin, 21 September 2015

SURAT DARI KOMITE SEKOLAH

Sekolah Anjani selalu saja ribut. Gara-gara ribut, Kepala Sekolah menjadi tumbal. Didemo dan ujung-ujungnya dicopot dari jabatannya. Dalam lima tahun bersekolah di SD Negeri Labs School saja, sudah tiga kali pergantian Kepala Sekolah.

Saat pertama kali masuk ke SD Labs School, Kepala Sekolah Ibu Hj. Tien Yuniati S.Pd dengan NIP: 130 416 106. Nama ini masih muncul per tanggal 19 Desember 2007, dimana foto-fotonya masih terpampang di kalender tahun 2008 atau Semester II tahun ajaran 2007/ 2008. Di kalender itu, ada foto Ibu Hj. Tien bersama Gubernur Sutiyoso yang pernah berkunjung ke sekolah ini. Tetapi pada kalender akademik tahun 2009-2010 yang ditandatangani per tanggal 13 Juli 2009, nama Kepala Sekolahnya sudah bukan Ibu Hj. Tien, tapi Drs. Sugeng Sulistya, MM.Pd (NIP: 131 465727). Saat tulisan ini diturunkan, Kepala Sekolah anak kami sudah berganti lagi, menjadi Drs. H. Yitno Suyoko, MM (NIP 131 360 587). Setahu saya, ada satu Kepala Sekolah lagi sebelum Ibu Hj. Tien, tetapi nama Kepala Sekolah-nya masih saya selidiki.

Asal muasalnya pergantian Kepala Sekolah apa lagi kalo bukan masalah uang. Gara-garanya, Komite Sekolah nggak pernah melaporkan secara detail sumbangan yang diberikan para orangtua murid. Maklum, sejak SD Labs School mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), orangtua diminta kesadarannya buat menyumbang sekadarnya buat operasional sekolah. Soalnya, dana BOS dianggap belum mencukupi. Belum bisa mengganti AC-AC di kelas yang seringkali ngadat, sampai nggak bisa membayar honor guru honorer.







Protes pun bergulir. Buat orangtua yang merasa kalo sudah ada dana BOS, ya sekolah nggak perlu minta ini-itu lagi alias gratis. Sekolah dengan dana apa adanya. Sementara buat orangtua-orangtua kaya, mereka tetap ingin anak-anak mereka nyaman. Nyaman dalam konteks ini bukan soal ajar-mengajar, lho, tetapi lebih kepada hal yang sebenarnya nggak penting juga, yakni memperbaiki AC yang rusak atau membayar guru honorer itu tadi.

Terus terang rada aneh, sekolah SD Negeri masa fasilitasnya ingin disamakan kayak sekolah swasta. SD tempat putri kami pertama ini bukan sekolah swasta. Kebetulan aja dikenal sebagai SD Lab School, padahal title sekolahnya SD Negeri. Yang bikin kacau memang para orangtua yang kelebihan uang, dimana mereka nggak ingin dana BOS diambil agar SD Labs School ini bisa disubsidi oleh para orangtua. Maksudnya, murid-murid yang belajar di sekolah ini kudu bayar uang pangkal maupun bulanan sebagaimana SD swasta lain.

Para orangtua kaya selalu mencibir pada orangtua-orangtua yang nggak mau bayar uang sumbangan sekolah atau bulanan. Mereka yang mencibir itu biasanya mengatakan: "Kalo mau gratis jangan sekolah di sekolah ini (SD Labs School-pen)."





Menurut saya pernyataan orangtua-orangtua kayak begitu aneh. Harusnya mereka berpikir terbalik, kalo mau sekolah yang nyaman pake AC yang superdingin, fasilitas kelas wahid, dll, ya jangan pilih sekolah di sekolah SD Negeri macam Labs School ini, dong! Pemerintah sudah menetapkan, yang namanya sekolah negeri, ya menerima dana BOS dan nggak boleh memunggut dana lagi dari para orangtua.

Lebih dari itu, SD ini dan barangkali SD-SD lain cukup aneh. Masa sudah ada guru tetap masih ada guru tidak tetap? Kehadiran guru tidak tetap ini pun dibebankan honornya pada orangtua murid, ya dari sumbangan itu. Ironisnya, (ini kata teman istri saya) kadang-kadang, guru tidak tetap yang biasa disebut guru honorer, guru pendamping, atau guru-guruan ini lebih rajin mengajarnya, sementara guru tetap asyik ngerumpi di ruang guru.

Tarik menarik pun terjadi. Sebagai perwakilan orangtua murid, Komite Sekolah pun nggak menjadi wakil orangtua-orangtua yang lebih memilih menggunakan dana BOS dan menjalankan operasional sekolah dengan dana apa adanya. Komite Sekolah lebih senang mengambil dana BOS, tetapi meminta kerelaan hati para orangtua murid untuk menyumbang. Soal ini, Kepala Sekolah seringkali tutup mata. Nah, inilah yang menyebabkan banyak orang menduga-duga, bahwa dana yang dikelola sekolah itu nggak transparan. Masa sudah dapat dana BOS, masih minta sumbangan? Makin gokil ketika sumbangan-sumbangan yang diminta pada para orangtua tidak dilaporkan bulanannya.

Penggunaan nama Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di sekolah Anjani, menurut saya adalah salah satu siasat agar SD Negeri Labs School  ini dianggap sebagai sekolah semi swasta. Jadi bisa dapat BOS, juga menarik sumbangan dari orangtua. Padahal sekolah anak saya ini belum mencerminkan sekolah RSBI, masih terlihat sebagai sekolah yang zaman saya dulu sebagai sekolah inpres. Kebetulan aja yang sekolah di sini banyak dari anak-anak orang kaya yang bermobil.

Protes memang selalu menghiasi sekolah putri pertama kami ini. Daripada terus diprotes oleh sebagian orangtua murid, pihak Komite Sekolah yang juga mengetahui Kepala Sekolah, belakangan ini menunjukan laporan penggunaan dana operasional. Meski begitu, ada sebagian orangtua murid masih menganggap laporan keuangan ini belum sepenuhnya mencerminkan ketransparanan sekolah yang penuh gejolak ini.


SDN Percontohan/ RSBI, Jl. Pemuda Kompleks UNJ, Jakarta Timur. Kode Pos 13220. Tlp/ Fax: 4701443. E-mail: sdnp_ikip_jakarta@yahoo.com


SEKOLAH YANG SELALU "BERGEJOLAK" - a story about SDN Rawamangun 12 Pagi (SD Lab School)

Sudah beberapa bulan ini, kami nggak sempat berkunjung ke sekolah Anjani. Terakhir kali, ketika di sekolah anak kami ini mengadakan acara dalam rangka kedatangan Menteri Kehutanan MS. Kaban yang mengkampanyekan pohon di sekolah. Lho bukannya setiap hari mengantar? Yap! Betul! Setiap hari saya mengantar Anjani ke sekolah, tetapi nggak sampai ke gerbang sekolah.

Kebetulan pagi ini, kami menyempatkan diri berkunjung ke sekolah Anjani. Buat saya ada hal yang menarik dari kunjungan saya. Selain ada surat kesepakatan bersama antara Kepala Sekolah dengan Ketua RT yang sebelumnya saya sempat ceritakan di cerita saya sebelum ini, ada pula soal surat edaran yang dikeluarkan Komite Sekolah yang ditempel di sebuah papan pengumuman yang dikasih nama Berita Aktual.

Surat bernomor KS-Sek/105/XI/2009 yang ditandatangani oleh Ketua Komite Sekolah (Hj. Elvawaniza), Sekretaris (Ina Sutedjo), dan diketahui oleh Kepala SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi (Drs. Yitno Suyoko, MM) ini berisi mengenai permintaan sumbangan. Sebenarnya surat ini diberikan kepada seluruh murid sekolah per tanggal 18 November 2009 lalu, tetapi kebetulan kami belum sempat membaca.


Papan sekolah yang masih menggunakan SDN Percontohan Rawamangun 12 Pagi, belum ada embel-embel RSBI. Masih malu mengakui kali ya? Soalnya menurut saya sih belum layak. Masa cuma gara-gara sekolah ini dihuni oleh murid-murid dari golongan the have alias orang-orang kaya jadi pake embel-embel RSBI? Gengsi dan malu nggak mau disamakan kayak SD-SD Negeri lain. Yang terpenting bukan RSBI-nya, tapi kualitas guru dan prestasi muridnya. 

Dalam surat itu, pihak sekolah yang diwakili oleh Komite Sekolah menghimbau partisipasi seluruh orangtua murid agar membayar uang bulanan senilai Rp 140.000 (seratus empat puluh ribu) per bulan, terhitung mulai bulan Juli sampai November 2010. Sebelumnya, pada bulan Juli sampai November 2009, orangtua murid wajib menyetor Rp Rp 700.000 (tujuhratus ribu rupiah), yang sebenarnya juga merupakan masuk ke dalam agenda minta-minta sumbangan yang kalo di sekolah Anjani dinamakan Sumbagan Peduli Pendidikan Bulanan (SPPB). Selain uang SPPB ini, orangtua dari murid baru juga diwajibkan membayar uang senilai Rp 6.200.000 (enam juta dua ratus ribu rupiah).

Itulah uang bayaran anak kami di sekolah Sekolah Dasar Negeri Rawamangun 12 Pagi yang berada di kompleks Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jakarta ini. Murah? Yap, Alhamdulillah murah! Setidaknya buat ukuran kami dan beberapa orangtua lain. Bahkan barangkali beberapa orangtua akan mempertanyakan soal uang bayaran ini.

“Nggak salah?”

“Kok murah amat!”

“Labs School kan sekolah favorit? Keren! Kok bayarannya murah banget!”

Biasanya yang mempertanyakan begitu adalah orangtua-orangtua kaya. Mereka yang nggak punya masalah dengan uang. Yang punya mobil lebih dari tiga –satu mobil buat suami, satu mobil buat istri yang biasa dipakai jalan-jalan atau arisan, satu mobil lagi dipergunakan buat pembantu yang akan mengantar-jemput-. Mereka yang memberikan anak-anak mereka sebuah Blackbarry, sementara teman-teman SD-nya cuma punya Nokia seharga 700 ribuan perak.


Ruang kelas sekolah yang katanya merintis berstandar internasional.

Para orangtua kaya ini yang memang seringkali mengacaukan dunia “persilatan”, maksudnya mengacaukan dunia pendidikan. Nggak cuma soal mengajari anak-anak agar nggak komsumtif atau memiliki jiwa kapitalis, tetapi juga soal bayaran sekolah. Mereka inilah yang kerap mengejek orangtua-orangtua murid yang memperjuangkan hak mereka, yakni bersekolah secara gratis tanpa dipungut biaya sepersen pun dari sekolah.

Iya, SD anak kami memang dikenal sebagai SD Lab School. Semua orangtua tahu, Lab School itu punya pencitraan yang luar biasa keren. Dianggap sekolah favorit. Katanya lagi, pendidikannya bagus. Padahal kalo Anda tahu, SD Lab School itu nama aslinya SD Negeri Rawamangun 12 Pagi, tahu?! Artinya, SD Lab School itu sama aja kayak SD-SD Negeri lain yang Anda biasa lihat.

Orangtua-orangtua kaya itulah yang ingin merubah SD Negeri Rawamangun 12 Pagi ini menjadi sekolah elit. Sekolah yang kelihatan mahal, dimana citranya nggak kayak sekolah-sekolah inpres atau SD-SD biasa lain. Caranya? Berawal dengan tidak mau mengambil dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Anda tentu tahu dong, yang namanya SDN itu mendapatkan BOS?


Ini satu tempat yang paling nggak saya suka. Kenapa? Di tempat ini banyak ibu-ibu (kalo kebetulan nggak ada para pembantu) seringkali ngerumpi nggak penting, bukan ngerumpiin masa depan anak-anak mereka yang sedang belajar. Saya bahkan pernah duduk dengan Ibu-Ibu yang mengumpulkan uang arisan. Anda tahu uang arisannya berapa? Lebih dari satu juta! Di tempat ini pula Ibu-Ibu kaya membuat strategi agar para orangtua yang nggak mau bayar sumbangan dikucilkan dari pergaulan.
Depertemen Pendidikan (Diknas) sudah mengalokasikan dana buat kepentingan pendidikan yang lazim dikenal sebagai BOS. BOS ini diberikan pada SD sampai SMP. Komposisinya adalah SD yang berada di Kabupaten mendapat dana senilai Rp 397.000 per siswa per tahun. Jadi kalo ada sekolah yang jumlah siswanya 500 orang, ya tinggal dikalikan saja 500 siswa dikali Rp 397.000. Sementara buat sekolah yang berada di Kotamadya akan mendapatkan dana BOS senilai Rp 400.000 per siswa per tahun.

Sekolah tempat anak kami belajar, sejak awal mendapatkan dana BOS. Saya masih ingat pertama kali masuk, para orangtua dikumpulkan oleh Kepala Sekolah. Selain mempresentasikan mengenai hal-hal apa yang sudah dilakukan dan apa yang akan dilakukan sekolah ini, Kepala sekolah secara tidak langsung mem-brainwashed orangtua-orangtua yang baru memasukkan anak mereka ke SDN Rawamangun 12 Pagi ini agar mengerti, bahwa BOS nggak cukup. Dana BOS nggak bisa menjadikan sekolah memiliki fasilitas yang diinginkan bersama.

Terus terang saya nggak mengerti, fasilitas seperti apa yang diinginkan. Komputer? Lab bahasa? AC? Lagi pula siapa yang menginginkan itu? Saya, kami, atau para orangtua kaya itu? Aneh!

Ujung-ujung dari brainwashed itu, Kepala Sekolah mengharapkan BOS nggak diberikan di sekolah ini. Soalnya kalo dana BOS diturunkan, maka pihak sekolah nggak boleh meminta sumbangan lagi pada orangtua murid. Sebaliknya kalo sekolah nggak mengambil dana BOS, maka pihak sekolah yang diwakili oleh Komite Sekolah bisa menarik sumbangan sesuai dengan kebutuhan sekolah.

Kejadian lima tahun lalu itu, masih memberkas di otak saya. Terjadi tarik menarik antara orangtua murid. Ada yang setuju dana BOS nggak diambil, banyak yang tidak. Sementara kami abstain. Yang setuju, biasanya adalah para orangtua kaya yang saya ceritakan di awal tadi nggak masalah dengan uang dan ingin menjadikan sekolah ini sebagai sekolah semi swasta, bukan kayak SD-SD biasa. Sebagian dari mereka juga sudah punya anak yang kebetulan masih bersekolah di situ. Sementara yang menentang atau tetap menginginkan dana BOS diambil kebanyakan orangtua-orangtua kelas menengah. Tetapi ada pula yang sebenarnya orangtua dari golongan mampu juga, lho, yang biasanya mereka tampil humble alias rendah hati.

Sejujurnya kami nggak bisa menyangka, kejadian 4 tahun lalu itu mengenalkan kami pada sebuah sekolah yang ternyata selalu saja “ribut”. Maksudnya, SD Negeri Rawamangun 12 Pagi ini selalu punya masalah dalam pengelolaan keuangan, sehingga cukup mengganggu dalam perjalanan ajar-mengajar di sekolah anak kami. Bagaimana perasaan Anda ketika anak Anda pulang dan mengatakan begini:

“Pap, kata Bu Guru besok raport Anjani nggak dikasih, karena Anjani belum melunasi uang sumbangan?”

“Ma, mulai besok Anjani bawa baju ganti, karena AC di sekolah mati. Kata Pak Guru, kalo kita nggak bayar uang sumbangan, AC-nya nggak bakal dibenerin.”

Buat saya, soal raport yang nggak diberikan atau AC mati sudah keterlaluan. Beberapa waktu lalu, ancaman-ancaman yang dilakukan pihak sekolah itu membuat sejumlah orangtua jengkel. Saya mengerti, supaya para orangtua mau membayar sumbangan, hal yang paling efektif dilakukan adalah dengan melakukannya pada anak didik. Gokil nggak?


Lembaran rekapitulasi Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS) SDN Rawamangun 12 Pagi Tahun 2009/2010. Totalnya Rp 4,2 miliar. Kalo bukan karena embel-embel Rintisan Sekolah Berstandar Internasional, nggak mungkin SD Negeri ini punya RAPBS gede. Paling-paling biayanya kayak SD-SD Negeri lain
Tragis memang yang terjadi di sekolah anak kami. Saya sempat menceritakan pada Anda, bahwa dalam waktu lima tahun bersekolah di SD Negeri Rawamangun 12 Pagi, sudah tiga Kepala Sekolah diganti. Pergantian ini konon diakibatkan gara-gara masalah uang. Coba Anda pikir, kalo dana BOS sudah diambil, artinya sekolah nggak berhak meminta sumbangan lagi dong? Nah, di sekolah anak kami aneh. Dana BOS diambil, sumbangan diambil. Yang menyesakkan, laporan keuangannya pun nggak transparan. Nggak heran sejumlah orangtua melakukan protes. Isu protes adalah Kepala Sekolah korupsi atau Komite Sekolah kongkalikong dengan Kepala Sekolah dalam melakukan pengelolaan dana operasional yang nggak transparan. Protes yang selalu muncul di media ini menghasilkan penopotan beberapa Kepala Sekolah.

Isu korupsi dana BOS memang bukan cuma di sekolah anak kami. Menurut Peneliti di bidang pendidikan Indonesian Corruption Watch (ICW), Febri Hendri, sekitar 60% sekolah menyelewengkan dana BOS (Suara Pembaruan, Senin, 29 September 2009). Dana BOS yang dikorup senilai 13,7 juta per sekolah. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), 6 dari 10 sekolah menyimpangkan dana BOS.

Guna menjadikan SD Negeri Rawamangun 12 Pagi ini semi swasta atau boleh meminta sumbangan, maka ditambahlah embel-embel Rintisan Sekolah Bertaraf International (RSBI). Dengan embel-embel ini, para orangtua yang mengharapkan bisa bersekolah gratis nggak bisa protes lagi. Sebab, Komite Sekolah selaku wakil sekolah sudah mengeluarkan surat edaran permintaan SPPB itu tadi, dimana terdapat landasan kebijakannya, yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Selain itu juga Peraturan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 060 Tahun 2009 Tentang Pedoman Menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah untuk TK, SDN, SMPN, dan Sekolah Luar Biasa Negeri Provinsi DKI Jakarta. Bahwa sumbangan siswa baru senilai Rp Rp 6.200.000 dan uang bulanan Rp 140.000.



Agar jadi Sekolah yang berstandar internasional, AC kudu dingin. Tetapi kalo ada sejumlah orangtua murid yang nggak mau bayar sumbangan, AC nggak bisa dibetulkan. Uang operasionalnya kurang. Biar dibilang standar internasional, ada kamera CCTV yang selalu memantau kondisi murid-murid (perhatikan di foto pojok atas kanan, itu CCTV). Luar biasa bukan?
Anda tahu? Buat menguatkan agar para orangtua mau membayar SPPB, di papan pengumuman berjudul Berita Aktual itu dipajang beberapa artikel tentang dana BOS, dimana seluruh artikel itu mengecam efektivitas dana BOS. Buat saya aneh. Kenapa yang dipajang cuma artikel yang kontra pada dana BOS? Ini yang menjadi pertanyaan besar dan jelas mengetahui bahwa sekolah dan Komite Sekolah lebih suka meminta SPPB ketimbang dana BOS, sehingga sekolah ini nggak menjadi sekolah gratis. Mana ada yang gratis di Jakarta ini? Kencing aja bayar!

Lucunya lagi, artikel-artikel yang ditempel di situ semua berasal dari koran Suara Pembaruan (SP). Ada SP tanggal 23 September 2009 berjudul: “Klaim Pendidikan Gratis Adalah Pembohongan Publik”. Lalu SP tertanggal 24 September 2009 dengan judul artikel “Mendiknas Harus Minta Maaf”; “Ubah Difinisi Sekolah Gratis” (SP, 25 September 2009); “Orangtua Termakan Sekolah Gratis” (26 September 2009); “Cabut Iklan Sekolah Gratis” (28 September 2009). Semua artikel tersebut ditulis oleh wartawan SP yang berinisial W-12. Cuma satu artikel yang ditulis oleh M-15, yakni artikel “Klaim Pendidikan Gratis Adalah Pembohongan Publik”. Lucu bukan? Patut dicurigai, jangan-jangan...


Artikel mengenai kritik terhadap BOS yang dipajang di papan pengumuman. Anehnya semua artikel ditulis koran Suara Pembaruan dengan tanggal yang berurutan. Kenapa dan ada apa ya? Saya jadi curiga!
Kenapa cuma SP? Kenapa nggak ada media lain yang mau menulis kalo BOS memang benar-benar nggak efektif? Koran besar kayak Kompas misalnya, Media Indonesia, Republika, atau sekelas Tempo nggak menulis kalo Pendidikan Gratis itu dianggap sebagai kebohongan publik? Aneh! Tapi ya begitulah kenyataan yang terjadi di sekolah anak kami. Demi ingin memungut SPPB, segala daya upaya dikerahkan agar orangtua-orangtua yang “usil”, yang ingin sekolah SD Negeri Rawamangun 12 Pagi ini benar-benar gratis, terpaksa harus ikut aturan, yakni membayar SPPB. Kecuali memiliki surat keterangan nggak mampu dari RT/RW –sebagimana point “c” di surat yang diedarkan Komite Sekolah tertanggal 18 November 2009-, maka orangtua tersebut benar-benar bebas dari SPPB atau sumbangan apapun.

Terlepas dari uang SPPB ini, kami merasa “terjebak” menyekolahkan anak kami di sini. Ini memang sangat pribadi, tetapi buat kami ini cukup signifikan. Bahwa niat kami menyekolahkan Anjani di sekolah ini tentu gara-gara pencitraan yang luar biasa dari SD yang dikenal sebagai SD Lab School ini. Sebagai alumni Lab School, jelas secara emosional, saya juga turut mempromosikan positif pada sekolah ini. Lebih dari itu, orangtua saya pun mendukung 100% kalo cucunya bersekolah di sini.

Tetapi pada kenyataannya, SD yang dahulu saya pernah belajar jauh berbeda dengan SD sekarang. Sejak pertama masuk, sekolah ini selalu “bergejolak”. Kayak-kayaknya baru kemarin saya berkenalan dengan Ibu Hj. Tien Yuniati S.Pd sebagai Kepala Sekolah, eh sudah diganti dengan Pak Drs. Sugeng Sulistyo, MM. Pd. Terakhir, anak saya membawa surat edaran, dimana Kepala Sekolah-nya sudah Pak Drs. H. Yitno Suyoko, MM.

Ada apa sih dengan sekolah SD Negeri Rawamangun 12 Pagi ini? Kok masalah nggak selesai-selesai? Inilah yang kami sebut dengan istilah “terjebak”. Kalo saja kami tahu ada sekolah bernama AT-Taqwa di kompleks UNJ lima tahun lalu, kami pasti lebih memilih di sekolah ini, yang sekarang menjadi sekolah anak kami kedua: Khaira. Selain nggak pernah “ribut”, diam-diam sekolah ini termasuk sekolah favorit, karena prestasi akademiknya. Ah, moga-moga di tahun-tahun terakhir Anjani sekolah ini, Pak Drs. H. Yitno Suyoko, MM bisa mengelola sekolah ini agar nggak "bergejolak" lagi. Apalagi dengan prestasi Pak Yitno yang sempat meraih prestasi sebagai Guru Teladan tingkat Provinsi DKI Jakarta tahun 2001 ini, kami selaku orangtua bisa berharap banyak.