Jumat, 23 Juli 2010

BELAJAR KORUPSI DARI DALAM MOBIL

Pagi itu saya berhasil menjalankan mobil tepat pukul 06 lewat 5 menit. Dengan hitungan waktu berangkat ini, sudah dipastikan kami tidak akan terjebak kemacetan. Maklumlah, meski dari rumah kami di Cempaka Putih Barat ke sekolah Anjani dan Khaira di Rawamangun jaraknya dekat, namun seringkali kami berhadapan dengan kemacetan. Apalagi kalo kami baru menjalankan mobil dari rumah pukul 06.20, sudah diduga, Anjani akan terlambat.

Begitulah rutinitas yang sudah menjadi komitmen kami: mengantarkan anak-anak ke sekolah. Seperti di cerita-cerita saya sebelumnya, saya memang punya komitmen, setiap pagi wajib antar anak-anak sekolah whatever it takes! Mau badan pegal, mata ngantuk, tetap antar sekolah. Kenapa? Di saat antar sekolah, kami bicara menjalin komunikasi dengan anak-anak, termasuk dengan istri.

Apa saja bisa kami obrolkan dalam mobil. Soal grup Korea yang digila-gilai oleh Anjani, juga soal pacar-pacar Khaira. Pagi kemarin, kami ngobrol soal korupsi. Saya senang banget ketika Anjani bertanya soal korupsi. Sebab, kebetulan di hari sebelumnya, saya mendapat pengalaman soal korupsi.

"Pa, korupsi itu apa?"

Sebagai bapak dua orang anak yang berusia 11 tahun dan 6 tahu, tentu jawaban atas pertanyaan itu harus sesederhana mungkin. Nggak mudah lho menyederhanakan kalimat untuk anak-anak. Makanya saya pun memberi jawaban begini:

"Nak, segala sesuatu yang bukan milik kita itu tidak boleh diambil. Kalo kita ambil, itu namanya mencuri, mengerti?"

Anjani mengangguk. Rupanya anak saya kedua Khaira (6) juga ikut-ikutan mengangguk. Padahal tujuan saya menjelaskan ini cuma untuk putri saya pertama Anjani (11). Itulah yang bikin saya exciting. Artinya, pembahasan korupsi di dalam mobil menuju ke sekolah ini juga untuk Khaira. "Mantabs," pikir saya.

Lanjut saya, bahwa setiap orang yang mencuri adalah berdosa. Saya mencontohkan, kalo saya membuat program TV, ada uang untuk shooting program itu. Taruhlah Rp 500 ribu. Ternyata, untuk membuat program TV hanya membutuhkan uang Rp 350 ribu. Artinya, ada sisa uang Rp 150 ribu. Nah, sisa uang itu kan bukan milik saya, tetapi milik perusahaan TV itu.

"Kira-kira uang itu Papa harus kembalikan atau tidak?" pancing saya.

"Kembalikan," jawab Anjani.

"Kalo uang itu Papa ambil gimana?" pancing saya lagi.

"Itu namanya Papa mencuri!" ujar Khaira.

Saya tersenyum. Bangga. Anak-anak saya mulai tahu arti korupsi yang sangat sederhana.

Saya jelaskan lagi, bahwa saat ini banyak sekali orang yang ditangkap polisi, karena mencuri uang yang bukan milik mereka. Mereka itu sudah punya gaji, tetapi masih mencuri uang yang sebenarnya punya perusahaan atau tempat kerja mereka.

"Nah, itu yang dinamakan korupsi. Kalo orang yang melakukan korupsi dinamakan koruptor, mengerti?"

Anjani dan Khaira mengangguk bersama-sama.

Ketika bekerja di stasiun TV jadi broadcaster, saya sering sekali hampir terjebak dalam kasus korupsi. Saya jelaskan pada anak-anak, bahwa kesempatan saya korupsi di stasiun TV. Sebagai Executive Produser, saya berhak membuat anggaran untuk shooting dan mengalokasikan dana untuk ini dan itu, termasuk honor artis atau pengisi acara.

Beberapa teman saya (mohon maaf!) memanfaatkan jabatan untuk korupsi. Entah itu mengambil honor artis atau narasumber, maupun memasukkan program TV ke stasiun televisi tersebut, meski program tersebut tidak layak tayang. Terakhir, saat saya bekerja di lembaga kepemerintahan, saya pun sempat berdiskusi mengenai dana Bantuan Sosial (Bansos), dimana dana itu bisa dimanfaatkan sebagai celah untuk korupsi. Bayangkan! Dana Bansos per tahun Rp 500 juta. Kalo saya sudah biasa "maling", tentu akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang dari dana itu. Mencuri 10% sampai 20% dari dana itu lumayan kan?

"Kakak dan adik nggak mau kan Papa masuk penjara?" tanya saya seperti menguji.

"Ya, nggak mau lah!"

"Nah, makanya kita harus bersyukur. Meski Papa dan Mama tidak punya uang banyak, tetapi kita masih bisa punya mobil, punya rumah, bisa sekolahkan kakak dan adik, dan masih bisa jalan-jalan, ya kan?"

Anjani dan Khaira mengangguk.

Alhamdulillah, aank-anak kami sekarang mengerti korupsi. Saya sebagai Papa-nya dilarang oleh kedua anak kami masuk penjara, karena mencuri uang yang bukan haknya. Kalo mencuri waktu? Ah, anyway, ternyata belajar korupsi bisa dimana saja, termasuk di dalam mobil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar