Kamis, 19 November 2009

DEMI MENGALAHKAN INTAN

Kesadaran menjadi pemimpin ternyata bisa tumbuh dengan sendirinya. Ini dialami sendiri oleh putri kedua saya, Khaira. Ia ingin sekali memimpin teman-teman sekelasnya. Keinginan ini selalu saja diucapkan setiap hari. Sebagai orangtua, tentu saja saya harus mengakomodir keinginan Khaira. Toh, keinginan tersebut cukup positif.

Sebagai pemimpin kelas, seorang murid akan mengatur teman-temannya berbaris. Seperti di Taman Kanak (TK) lain, sebelum masuk kelas, murid-murid wajib berbaris dengan rapi. Biasanya pemimpin akan memberi aba-aba dengan kata-kata: “siap”, “gerak”, “lencang muka”, “maju”, dan “jalan”. Setelah benar-benar rapi barisannya, sebelum masuk kelas, pemimpin juga berkewajiban memimpin baca doa.

Terus terang, ketika seumuran Khaira, saya tidak pernah punya keinginan jadi pimimpin kelas, bahkan ketika duduk di SD sampai SMU, saya pun tidak tertarik menjadi ketua kelas. Sebab, pikir saya, menjadi pemimpin atau ketua kelas itu ribet. Harus ini dan itu. Nah, saya itu malas kalo mengerjakan ini dan itu. Barangkali saat itu jiwa kepemimpinan saya belum tumbuh, sebagaimana Khaira sekarang ini.

Kalo melihat latarbelakang saya yang ogah jadi pemimpin ketika seusia Khaira, pasti Anda sudah bisa menebah dari mana asal jiwa kemimpinannya tumbuh. Yap! Pastilah dari istri saya. Memang benar, istri saya ini tergolong wanita yang senang berorganisasi. Sampai sekarang pun ia aktif berorganisasi. Sedikitnya ada dua organisasi yang ia ikuti, yakni pertukuran pemuda kapal Asean dan toastmaster.

“Siapa yang datang lebih awal, akan jadi pemimpin,” kata Bu Lina.

Begitulah ucapan guru Khaira di TK. Bu Lina dan guru-guru lain di TK anak kami ini memang menerapkan aturan, mereka yang menjadi pemimpin harus datang lebih awal ke sekolah. Ini artinya, Khaira harus datang lebih awal sebelum teman-temannya hadir. Kalo jam sekolah resmi untuk TK adalah pukul 07:00 wib, maka Khaira harus datang 06:30 wib, at least 06:45 wib.

Buat saya, bangun pagi butuh tantangan ekstra. Bukan saya malas bangun pagi, bukan. Wong saya rata-rata bangun pukul 04:15 WIB -sebagaimana alarm dua handphone saya yang selalu saya set sebelum tidur- untuk melakukan kewajiban saya sholat subuh. Tapi masalahnya, setelah bangung subuh, saya tidur lagi. Kalo sudah tidur lagi, malas banget bangun. Apalagi kalo malam sebelumnya, saya harus shooting atau pulang larut malam, bahkan larut pagi, wah, males banget kalo dibangunin pagi-pagi.

“Pap, adik sudah siap!”

Selalu saja Khaira membangunkan pada saat saya masih betah untuk tidur. Saya masih senang bergumul dengan guling kesayangan saya dan selimut tebal. Padahal sebenarnya pada saat dibangunkan, waktunya nggak pagi-pagi banget, yakni pukul 06:00 wib. Sayang sekali, jam segitu mata masih terpejam dan sulit terbuka. Namun sebagai bentuk tanggung jawab plus komitmen sebagai orangtua, saya mau nggak mau harus memaksakan diri bangun pagi. Walhasil, dalam kondisi setengah hidup, saya menggantarkan Khaira sekolah.

“Papa mandi dulu apa enggak?” tanya Khaira.

“Kalo mandi kenapa? Kalo nggak mandi kenapa?” tanya saya balik.

“Kalo mandi jangan lama-lama ya, Pap!”

Warning putri kedua saya ini cukup beralasan. Pasalnya, tiap kali saya mandi dulu, pasti akan telat. Pengalaman-pengalaman sebelumnya sudah membuktikan. Baru mengusap-usap sabun ke badan dan muka, anak kami selalu memanggil: “Sudah belum mandinya, Pap?”. Mending panggilanya itu sekali atau dua kali, ini mah berkali-kali, sampai saya keluar kamar mandi baru berhenti panggilan itu. Bahkan pernah baru masuk ke kamar mandi, sudah ada panggilan agar segera menyelesaikan mandinya.

Supaya tidak terlambat, saya terpaksa mengalah. Sebagai tanda mengalah, saya tidak mandi pagi. Cukup cuci muka, cuci kaki, dan langsung tidur, eh salah, maksudnya langsung masuk mobil.

Nyatanya di dalam mobil, persoalan tentang “harus buru-buru”, belumlah selesai. Saya dipaksa oleh Khaira agar ngebut sengebutnya. Sekali lagi, ini agar tidak telat dan tentu saja agar bisa mengalahkan teman-temannya, sehingga putri kedua saya ini menjadi pemimpin kelas. Walhasil, saya seringkali membawa mobil dengan kecepatan 60 km/ jam ke atas di tengah kepadatan lalu lintas.

Bukannya ketakutan, Khaira malah justru ketawa cekakak-cekikik melihat cara saya membawa mobil. Saya malah sering diminta anak saya ini melakukan zig-zag. Katanya, mirip roller coaster. Halah!

Saya anggap Khaira memang anak yang pemberani. Padahal karakternya nggak tomboi-tomboi amat. Bahkan ia cenderung feminin, karena masih menikmati item-item yang berhubungan dengan feminin: boneka, suka banget berpenampilan ala Princess, dan juga sering berdandan. Meski feminin, Khaira suka banget main trampolin, flying fox, dan permainan yang menantang nyali.

“Asyik! Intan belum datang!”

Begitu sampai di pelataran parkir sekolahnya, Khaira selalu saja mencari sebuah mobil Daihatsu warna hitam. Mobil itu adalah mobil Intan. Siapakah Intan? Intan nggak lain adalah teman sekelas Khaira yang menjadi pesaingnya menjadi pemimpin. Selama ini putri saya selalu dikalahkan oleh Intan. Padahal rumah Intan jauh dibanding rumah kami.

“Ih, Intan begitu sih,” kata Khaira, kecewa begitu melihat Intan datang lebih dahulu dibanding putri kami.

Lucu juga sih, Intan yang pertama datang, malah dipersalahkan oleh anak kami. Saya sih ketawa-tawa saja mendengar kekecewaan Khaira, karena sesungguhnya kalimat kekecewaannya nggak pantas diberikan pada Intan. Sebab, nggak ada aturan siapa yang bangun lebih pagi, nggak boleh datang ke sekolah lebih awal, ya nggak? Ya, namanya juga anak-anak.

Berkali-kali, Khaira mencoba untuk mengalahkan Intan, namun selalu saja kalah. Padahal saya tahu banget, putri kami ini selalu bangun pagi, yakni pukul 04:30. Buat saya, anak kecil bangun jam segitu luar biasa banget! At least mengalahkan Papa dan Mama-nya yang sehabis subuh tidur bablas nggak bangun lagi kalo nggak dibangunin anak-anaknya.

Kekalahan demi kekalahan menancapkan jiwa fighter-nya. Ia harus mengalahkan Intan. HARUS! Dengan mengalahkan Intan, ia akan menjadi pemimpin. Memang nggak ada nama temannya yang lain yang menjadi pesaing beratnya selain Intan. Tapi jangan salah duga, yang membuat Khaira luar biasa, meski kesal selalu dikalahkan Intan, namun Khaira berteman dekat dengan Intan. Ini artinya apa? Artinya, meski ada kompetisi, jiwa sportif kudu terjaga. Hebat juga ya anak-anak zaman sekarang?

Dan suatu pagi, Khiara gembira bukan main. Mobil Daihatsu warna hitam milik orangtua Intan belum nampak. Saya dicium habis-habisan oleh Khaira, karena berhasil membawa mobil dengan supercepat dan datang lebih awal ke sekolah. Saya puas kalo Khaira puas. Sebab, keinginannya untuk jadi pemimpin di kelas jelas akan terwujud. Nggak apa-apalah naik mobilnya kayak kesetanan. Nggak apa-apalah saya bela-belaain belum mandi, mata setengah terbuka, nyawanya pun belum sepenuhnya terkumpul, karena masih ngantuk. Semua demi Khaira.

Tapi....

“Khai, kayaknya Intan sudah datang deh,” kata saya pelan, karena mulai merasakan aura bakal nggak enak.

“Mana?! Mana?!” Khaira mencari-cari sosok Intan yang saya maksud itu.

“Itu!”

Benar, Intan sudah datang. Busyet! Kok tadi nggak kelihatan, sekarang tiba-tiba muncul? Jangan-jangan Intan itu mahkluk ruang angkasa kali. Saya dan Khaira saling bertatapan. Saya melihat raut wajah Khaira yang nampak kecewa. Sedih juga saya melihatnya.

“Tuh kan, Papa sih! Papa bangunnya nggak pagi-pagi. Besok Papa bangunnya lebih pagi lagi ya? Nggak usah mandi! Pokoknya adik harus mengalahkan Intan!”

Khaira, Khaira. Akan sepagi apa lagi ya saya dibangunkan putri saya ini demi untuk mengalahkan Intan itu? Apakah Khaira nggak tahu kalo Papa-nya ini memang sudah nggak sempat mandi lagi? Well, demi anak, saya rela melakukan apa saja!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar