Kamis, 12 November 2009

MALAIKAT PENCPOT GIGI

Persoalan gigi ternyata belum kelar. Cerita yang kali ini saya share bukan gigi sepeda, bukan pula nama grub band bernama Gigi yang dikomandoi Armand Maulana itu. Gigi yang saya maksud di cerita ini adalah gigi anak pertama saya, Anjani.

Sejak beberapa hari lalu, Anjani ngeluh, salah satu gigi yang ada di deretan atas paling pojok bergoyang-goyang. Dibilang begitu, saya jadi berpikir, kok gigi kena gempa juga ya? Bergoyang-goyang. Tapi pikiran norak itu tentu nggak saya bilang ke Anjani. Soalnya, kalo saya share, pasti anak pertama saya ini tambah panik. Yaiyalah, mendapatkan gigi bergoyang-goyang bak Inul Daratista aja pasti sudah panik, apalagi saya godain dengan canda yang menurutnya nggak penting itu.

“Itu tanda-tanda kamu sudah besar, Kak,” ucap saya seolah menghibur.

Namanya orang sakit gigi, hiburan dalam bentuk apapun pasti nggak akan mempan. Orang yang sakit gigi pasti lebih fokus pada gigi yang bergoyang-goyang, daripada cerocosan kami semacam saya yang sok ngocol, tapi bikin orang mau muntah. Walhasil, Anjani terus memanggapkan mulutnya, sementara tangan kanannya menggoyang-goyangkan gigi yang mau copot itu. Berharap dengan bantuan goyangan tangan, gigi itu bisa copot.

Untungnya, anak pertama saya ini tetap doyan makan. Artinya, biar ada satu gigi yang sudah mau copot, oglek-oglek, Anjani tetap makan teratur tiga kali sehari. Saya salut dengan kemampuan beradaptasinya ini, di tengah gigi yang menyusahkan, ia mampu memasukkan seluruh unsur makanan halal yang dibuat istri saya dan Asisten kami ke dalam mulutnya. Ini artinya, Anjani memiliki teknik makan tingkat tinggi.

Anjani pasti tahu teknik makan ketika sakit gigi. Kalo gigi yang mau copot berada di kanan, memasukkan makan kudu di sebelah kiri. Dengan menggunakan gigi kiri, makanan yang berupa daging, sayuran, buah-buahan, dan lain-lain bisa dikunyah dengan nyaman. Yang pasti, pada saat makan, fokus harus segera diubah dari gigi yang sakit ke gigi yang relatif sehat.

Nggak semua orang seperti anak pertama saya ini. Saya percaya itu. Banyak anak-anak yang ketika mendapat gigi yang sakit, males makan. Meski mereka menawarkan makanan ini-itu, dari gado-gado, pecel, sampai McDonnald, tetap ditolak mentah-mentah oleh si pemilik gigi sakit. Situasi kayak begini bukan cuma pada saat persoalan gigi bergoyang-goyang alias gigi mau copot kayak Anjani, tapi pada saat sariawan, sarinande, gusi bengkak, atau gusi kempes juga begitu. Ogah makan!

Setelah makan, setelah perut kenyang, persoalan gigi tetap menjadi fokus utama. Digoyang-goyang lagi. Lagi-lagi berharap dengan menggoyang-goyangkan dengan tangan, gigi copot-pot. Padahal belum tentu, kecuali...

“Papa tarik aja gimana giginya?” tawar saya pada Anjani.

Anjani manyun. Mulutnya berubah menjadi bimoli alias ‘bibir monyong lima senti’. Ia rupanya nggak suka dengan cara saya yang pernah dilakukan ayah saya dahulu kala. Ketika masih kanak-kanak, saat gigi saya oglek-oglek mau copot, ayah saya mencabutnya dengan menggunakan tangannya. Tapi cara mencabutnya super cepat, sehingga nggak terasa sakit. Padahal sih sakit juga. Perih juga.

Cara mencabut gigi konvensional dengan mencabut cepat dengan tangan itu nggak manjur buat anak-anak zaman sekarang. Mereka pikir terlalu primitif barangkali. Ya, mungkin juga sih. Wong waktu saya diperlakukan kayak begitu –maksudnya dicabut giginya- oleh ayah saya, saya masih bertelanjang dada dan pakai koteka, kok. Sorry, just kidding!

“Pake tang gimana?” tawar saya lagi.

Tawaran itu jelas lebih gokil lagi. Mau mau Anjani dicabut giginya pake alat yang biasa dipergunakan oleh orang bengkel? Kalo pake gergaji mungkin mau. Ah, nggak mungkin juga! Lagi pula mau digergaji gimana gigi? Kecuali urat-urat yang melekat di gigi itu yang digergaji. Tapi kan nggak ada gergaji yang ukuran kecil. Masa mulut Anjani digergaji dulu, baru urat-uratnya yang digergaji? Sadis amat sih!

“Kalo begitu kakak tidur dulu deh. Moga-moga besok gigi kakak sudah copot.”

Anjani setuju. Alhamdulillah. Terus terang cukup terganggu juga kalo persoalan gigi menjadi persoalan dunia. Tapi sebenarnya saya bisa memaklumi, karena kalo flashback ke masa kanak, saya pasti akan menderita lahir bathin dengan persoalan gigi ini. Anda juga kan? Makan susah, tidur susah, pup pun ikut-ikutan susah. Meski kami kita menasehati dengan sejuta kata-kata, bahwa gigi yang copot itu tanda kedewasaan, toh kita pasti tetap nggak bisa terima. Gigi sakit ya gigi sakit. That’s it!

“KUKURUYUK!!!!”

Itu tanda ayam berkokok. Artinya, hari sudah pagi. Kalo hari sudah pagi, kita kudu bangun dari tidur. Nah, ketika saya sedang pulas-pulasnya tidur, Anjani teriak-teriak kegirangan. Saya pikir gempa, ternyata anak pertama saya ini melompat-lompat kegirangan.

“Pap, gigi Anja ssudah copot!”

“Wah, bagus kalo begitu. Mari kita rayakan dengan mengundang tetangga kiri-kanan gimana?”

“Ih, Papa!”

Rupanya saya ngelindur. Bahasa saya dengan bahasa Anjani belum connect. Maklum, saya capek banget. Malam sebelumnya, saya habis shooting. Sebelumnya lagi, saya harus mengantarkan istri kesana-kemari. Sebelumnya lagi, saya makan nasi (emang makan nasi bisa cape juga ya? Perutnya cape kali ya?). Pokoknya body saya belum 100% back to normal gitu, deh, sehingga apa yang dikatakan anak saya ini, saya jawab dengan sukses, maksudnya sukses ngawur.

Tapi sekarang saya sudah sadar. Sudah connect. Apa tadi katamu anakku? Coba ulangi lagi, Papa mau dengar.

“Gigi Anja sudah copot, Pa! Ini dia giginya...”

Anjani memberikan sebuah tisu yang ssudah terlipat-lipat nggak rapih. Di pingir tisu itu ada sedikit darah yang kebetulan berwarna merah (memangnya ada ya darah berwarna hijau?). Saya segera membuka lipatan demi lipatan tisu itu. Eng! Ing! Eng! Rupanya yang dibungkus oleh tisu itu adalah sebuah berlian saudara-saudara, eh salah! Maksudnya gigi! Yap! Ternyata benar, gigi Anjani benar-benar sudah copot. Gigi yang beberapa hari lalu bergoyang-goyang bagai gempa berkekuatan 7,2 skala Richter itu sudah copot.

“Tuh kan Papa bener. Kalo kamu tidur, gigi itu pasti akan copot...”

“Kok bisa ya?” tanya Anjani seolah memancing pengetahuan saya.

Terus terang saya nggak ngerti penjelasan ilmiahnya apa, yang menyebabkan gigi bisa copot selagi kita tidur. Meski saya belum pernah baca dalam literatur mana pun, tapi pertanyaan anak kami ini merangsang imajinasi saya. Sebagai orangtua, kita dituntut kreatif menjawab pertanyaan anak-anak.

“Itu perbuatan Malaikat Pencopot Gigi, Nak,” jawab saya sekenanya.

“Emang ada Malaikat Pencopot Gigi?”

“Ada, Nak!”

“Setahu Anja, yang ada Malaikat Penyampai Wahyu; Malaikat Pembagi Rezeki; atau Malaikat Pencabut Nyawa. Memang nama Malaikat Pencabut Gigi siapa, Pap?”

“Armand!” jawab saya spontan, karena yang terlintas di otak saya vokalis Gigi: Armand Maulana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar