Kamis, 12 November 2009

AJIS, ROTI TAWAR, & ALAT PANGGANG ITU

“Nggak!”

Begitulah suara teriakan anak kami dari dalam rumah. Merespon suara klakson. Tiap kali roti tawar masih tersedia di kulkas, jawaban yang keluar dari mulut anak kami pasti ya itu tadi: “Nggak!”. Dan suara klakson itu? Yap! Suara klakson itu dibunyikan oleh Tukang Roti dari gerobak rotinya.

Klaksonnya mirip klakson sepeda. Ujungnya berbentuk terompet kecil. Untuk membunyikannya, ada karet berbentuk bulat yang menyimpan angin. Bukan angin kentut, tapi angin biasa yang nggak bau. Begitu kita pencet karet itu, seketika akan mengeluarkan bunyi yang lumayan memekakkan telingga.

“Tot! Tot!” Itu bunyi klaksonnya. Mirip nggak?

Ssudah beberapa tahun ini, anak kami tercinta langganan roti tawar. Tukang Roti-nya bernama Azis. Orangnya culun. Pake kacamata yang tebalnya seperti pantat botol. Bukan botol aqua, tapi botol teh botol. Bibirnya tebal setebal komik Jepang. Dia selalu pakai topi tiap jualan. Mungkin karena takut kepanasan. Atau takut kehujanan. Atau jangan-jangan menyembunyikan pitak di kepala gara-gara rambutnya botak.

Menurut tetangga, Azis punya nama panjang. Sebenarnya saya nggak peduli. Mau punya nama panjang kek, nama pendek kek, atau bahkan nggak punya nama sekali pun, saya nggak peduli. Namun belakangan, saya anggak peduli. Nama panjangnya benar-benar panjang. Mau tahu? Nama panjangnya Aziiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiisssssssss.



Tapi mohon jangan merendahkan Azis. Dia memang cuma Tukang Roti dan sudah berjualan selama 40 tahun. Bisa bayangkan 40 tahun berdagang roti? Ini benar! Saya nggak sedang merekayasa cerita ini. Angka 40 ini benar-benar saya dapatkan dari mulutnya yang nggak bisa tertutup itu.

“Gini-gini saya sudah berhasil meluluskan dua anak jadi Sarjana,” kata Asiz.

Luar biasa bukan Asiz ini? Makanya jangan meng-under estimate pria ini. Dia termasuk salah seorang Bapak yang menjadi inspirasi saya. Ingat, hal tanggung jawab pada keluarga dan kerja kerasnya, lho. Kalo dalam hal bau mulut, mohon maaf, saya nggak mau ikut kayak Asiz. Sekadar info, kalo Azis ngomong, bau mulutnya naudzubillah minjalik! Bau, bo! Nggak tahu yang salah di odolnya atau memang ada gigi berlubang sehingga mulutnya jadi ikut bau. I really don’t know.

Sekarang mari kita lupakan Azis. Sekarang scene buat anak kami. Anak kami memang cuma beli dari Azis seorang. Nobody else. Rotinya pun cuma roti tawar. That’s it! Nggak ada roti lain yang menarik minat anak kami selain roti tawar. Padahal di dalam gerobak Aziz ada berbagai jenis roti. Ada roti isi keju, roti isi susu, isi martabak, batu koral, maupun isi kelapa. Namun sekali lagi, anak kami cuma mau beli roti tawar, titik!

By the way ada yang tahu nggak kenapa dinamakan roti tawar? Padahal kalo saya beli, nggak pake ditawar-tawar lagi harganya, yakni tujuh ribu perak. Barangkali zaman dahulu roti berbentuk kotak ukuran 5x5 cm itu sering ditawar-tawar, jadi namanya sampai zaman modern gini masih roti tawar.

Anyway, anak kami memang tergila-gila makan roti tawar. Tentunya roti tawar yang dilapisi oleh mentega plus selai lain, la yau. Kalo nggak pakai selai rasa strawbery, pasti roti tawar akan dilapisi selai kacang. Kalo selain kacang juga nggak ada, entah itu karena habis atau dimakan kucing, ya dilapisi salep yang rasanya kacang (teutep!).

Dalam sehari, kedua anak kami pasti bisa menghabiskan tiga sampai empat tangkap roti. Walah?! So, jangan heran kalo anak kami jadi kurang begitu suka makan nasi. Sebenarnya nggak apa-apa juga sih, karena asupan roti dan nasi sama saja. Baik roti maupun nasi sama-sama mengandung karbohidrat. Selain itu, kami juga bisa mendidik anak kami supaya bertindak global. Nanti kalo harus keliling Amrik ato Eropa, kami ngga harus mikirin nasi untuk makan anak kami.

“Lama-lama anak kamu kayak bule makan roti terus,” komentar teman istriku.

“Ya begitulah...” jawab istriku enteng tanpa bermaksud menyombongkan diri. “Kami memang sedang mempersiapkan anak kami menjadi anak global, bukan anak yang selalu tergantung sama nasi”.

Konsep berpikir kami adalah nggak tergantung pada sesuatu yang sedari dulu ssudah membiasakan hidup kita “enak”. Padahal yang “enak” belum tentu 100% harus ditiru, ya nggak? Contoh nasi itu tadi. Kalo nggak ada nasi bukan berarti kita jadi nggak makan sama sekali dong? Misalnya gara-gara panen gagal, harga gabah menurun, petani ngamuk sehingga sawah-sawah mereka dibakar, stock nasi tentu akan berkurang. Kalo kita nggak tergantung nasi, maka semua beres. Bukankah makanan pengganti karbohidrat ada banyak?

Prinsip kami memang “aneh”. Kami nggak mau tergantung dengan sesuatu yang umum. Ketika orang tergantung pada nasi, kita membiasakan diri untuk pilih yang lain, yang kandungannya sama: kalo nggak roti ya singkong. Ini dilakukan untuk antisipasi kalo-kalo sawah kita ssudah nggak ada lagi gara-gara tergusur oleh gedung tinggi, apartemen, atau real estate. Ketika orang-orang tetap makan nasi putih, kami pilih nasi merah yang lebih banyak seratnya dibanding nasi putih itu.



Balik lagi ke cerita roti. Anak-anak kami lebih suka makan roti yang dipanggang. Setelah dilapisi selai, roti itu dimasukkan ke sebuah alat panggang berbentuk kotak. Kalau boleh cerita, alat pemanggang itu umurnya lumayan ssudah lama, ya hampir sepuluh tahun. Ada temanku yang menghadiahkan alat panggang berukuran 10 X 10 cm itu. Bentuknya lucu, bulat. Warnanya merah. Kalo dilihat dari jauh, alat panggang itu mirip apel. Kalo saja lagi lapar, kadang saya lupa membedakan antara buah apel dengan alat pemanggang. Bohong ding!

Sebelum kebiasaan makan roti anak-anak kami menggila, alat panggang itu sempat menganggur. Sedih juga sih kami nggak bisa memfungsikan alat panggang dengan sepenuh hati. Menyedihkan lagi, sampai dengan mereknya ssudah hampir hilang, alat itu belum pernah tersentuh, mirip dengan wanita yang masih perawan dan belum tersentuh oleh pria. Mungkin dahulu kalo bisa bicara, alat panggang itu akan menjerit: “Please use me! Please marry me..”

Alhamdulillah sekarang ada Ajis si Tukang Roti itu. Alat panggangnya jadi nggak dianggurin lagi deh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar