Kamis, 12 November 2009

THAT WE CALL: QUALITY OF TIME

Siang itu saya beruntung banget bisa ketemu seorang Direksi sebuah Bank terkenal di tanah air ini. Sebut saja Ibu A. Selama ini saya menebak-nebak, Ibu A adalah orang pintar. Dari gelarnya aja sudah ketahuan, Doktor alias Sarjana S-3. Nggak heran kalo si Ibu berhasil duduk di kursi empuk sebagai Direktur.

Ternyata Ibu A memang pintar. Itu saya bisa simpulkan dari cara berbicara. Terus terang, saya selalu menyimpulkan seseorang itu pintar atau bodoh dari bagaimana orang itu berbicara. Ini memang relatif, sih. Tapi menurut saya, orang pintar pasti tahu apa yang dibicarakan. Pilihan kata-katanya sangat baik dan relevan dengan apa yang dibicarakan. Terminologi yang muncul saat bercakap-cakap cukup kaya. Misalnya ngomongin masalah ekonomi, maka si orang pintar akan tahu pasti soal definisi inflasi, indikator krisis ekonomi, atau tokoh-tokoh ekonomi. Meski nggak detail, doi tahu. Soalnya kalo detail, ya sudah masuk kategori Pengamat Ekonomi namanya. Padahal si Pintar ini bisa juga ngomong masalah lain. Politik misalnya.

“Ketahuan kalo orang pintar selalu banyak membaca....”

Cara bicara orang pintar kadang nggak “kikuk”. Maksudnya terjebak dengan kalimat yang dibuatnya, sehingga doi tiba-tiba berhenti dan cuma mengeluarkan kata-kata: “ee....aaa....hmmm....eee”. Orang pintar biasanya selalu mengalir kalimatnya. Gokilnya, kadang antara mulut dan otak saling balap-balapan (maksudnya cepat-cepatan). Nah, ini juga terjadi pada Ibu A. Doi sangat fasih dengan bidangnya. Of course dong, ah! Juga fasih bercerita tentang suatu hal lain di luar profesinya. Namun kalo doi nggak tahu tokoh yang kita bicarakan atau hal yang kita jelaskan, doi nggak sungkan-sungkan buat bertanya. Artinya, nggak sok tahu.

Memang nggak ada manusia yang sempurna. Ibu A boleh saya anggap pintar. Doi juga duduk di posisi strategis sebagai Direktur di Bank terkenal. Duit pasti sudah nggak jadi masalah. Ibaratnya, hidup ini begitu indah. Namun apa realitanya? Ada harga yang harus dibayar. Doi mennggaku, waktunya begitu sedikit. Untuk berjumpa dengan sang Suami dan anak, kudu pagi-pagi atau Sabtu-Minggu. Waktu-waktu itu pun bisa mungkin terjadi kalo Ibu A nggak dinas luar kota atau luar negeri.

“Waktu saya yang sedikit itulah yang saya manfaatkan sebagai quality of time,” papar si Ibu A yang rambutnya sudah tumbuh banyak uban itu.

Benarkah waktu kosong si Ibu A yang dimanfaatkan buat kumpul dengan keluarga layak disebut quality of time?

Quality of time atau waktu berkualitas saat ini lagi happening dibahas oleh kaum Urban. Kenapa kaum Urban? Soalnya, mereka yang tinggal di kota Metropolis kayak Jakarta ini miskin waktu. Kayak-kayaknya waktu 24 jam sudah nggak mencukupi lagi. Terasa masih kurang. Baru duduk di kursi kerja, eh sudah sore aja. Baru lunch sama klien, eh sudah harus menghadiri undangan dinner dengan klien lain.
Bagi mereka yang punya posisi terhormat (Manager and Above), waktu berkualitas kayak air di padang tandus. Artinya, sangat berharga. Namun waktu berkualitas mereka sangat relatif. Berkualitas terhadap siapa? Terhadap Bos, klien, atau keluarga. Sebab, masing-masing punya alasan terhadap waktu berkualitas.

Bagi yang workacholic, waktu berkualitas mereka adalah bilamana seluruh organisasi waktu on schedule. Meeting terjadwal dengan baik, nggak ngaret atau nggak di-cancel. Ini juga berlaku kalo berada di rumah. Acara keluarga juga kudu dijadwalkan, sehingga tahu kapan harus rekreasi dengan anak, kapan menyenangkan diri sendiri (maksdunya menjalankan hobinya), dan kapan mengurus sisa tugas di weekend. Hebatnya, mereka yang workacholic dan ketat dengan schedule, punya prinsip: “nggak ada schedule yang utama”. Nggak boleh pekerjaan mengganggu keluarga dan sebaliknya keluarga mengganggu pekerjaan.

“Kalo ada acara Harley Davidson, terpaksa saya harus meninggalkan keluarga saya,” ucap temen saya yang doyan naik Harley. “Keluarga saya mah sudah ngerti hobi saya ini....”

Lain lagi waktu berkualias buat Family Man atau Family Woman. Meski posisi sudah tinggi, keluarga tetap Number One. Prinsip mereka ini, kantor nggak boleh mengganggu urusan keluarga. Hebatnya, kalo ada jadwal kantor yang bentrok dengan acara keluarga, si Family Man atau Family Woman selalu menggeser atau mereschedule-nya.

“Kalo posisinya Owner atau Direktur Utama mungkin bisa seperti itu. Maksudnya mengalahkan jadwal kerja dengan jadwal keluarga supaya nggak bentrok. Tapi kalo posisi di kantor cuma Kroco nggak mungkin kali?”

Nggak! Saya berani taruhan. Mau Owner dari perusahaan, Pengusaha, Direktur Utama, Manager, atau Kroco, kalo jiwanya sudah nggak Family Man atau Family Woman, tetap aja waktunya cuma buat kerja, kerja, dan kerja. Kalo nggak kerja, ya ngurusin diri sendiri. Kalo nggak ngurusin hobinya, ya bergaul dengan teman-teman yang sama interest-nya tanpa melibatkan keluarga: Istri dan Anak.

Saya punya banyak contoh seorang Owner yang ternyata nggak punya waktu buat keluarga. Padahal duitnya nggak berseri. Yang ada dalam otaknya, kalo nggak diversivikasi bisnis, mengembangbiakkan duit, atau hura-hura bareng teman-temannya. Saya juga punya contoh, mereka yang berada pada posisi kelas rendahan di kantor, tapi tetap bisa menjadi Family Man. Setiap hari, setiap detik selalu memantau kondisi keluarga, entah itu menghubungi Istri atau Anak.

Menomorsatukan keluarga daripada kantor bukan berarti kita nggak produktif. Bukan pula berarti merugikan kantor, lho. Saya diajarkan (meski belum diterapkan 100%) oleh Bos yang berjiwa Family Man, sebaiknya jangan sampai kita merugikan perusahaan. Artinya, urusan kerjaan, ya kudu fokus ke kerjaan. Kalo ada yang berhubungan dengan keluarga, jangan memanfaatkan fasilitas kantor. Nah, ini seringkali terjadi (saya juga melakukan dan ada usaha buat menghentikan), telepon bermenit-menit buat keperluan keluarga, pake komputer kantor buat ngetik tugas anak, ngeprint pake kertas kantor sampai setengah rim, pake kamera liputan buat merekam ulangtahun anak, mengambil kursi properti yang nggak dipake lagi buat ditaro di rumah, dan masih banyak contoh lain yang kayak-kayaknya najis kalo dilakukan.

“Ah, munafik, lho!”

Memang sih sulit dihindari. Anda pun boleh menuduh saya munafik (padahal saya sudah nnggaku melakukan juga, cong!). Tapi kata temen saya yang Family Man bilang, dengan memilah-milah fokus, maka kita bisa dianggap sukses. Sukses sebagai Karyawan, sukses pula sebagai Kepala Keluarga.

Namun perlu diingat, Family Man dengan waktu yang berkualitas berbeda. Mereka yang mengkampanyekan diri sebagai Family Man, belum tentu memiliki waktu berkualitas buat keluarga. Apakah dengan mengajak jalan-jalan bersama keluarga ke Bali selama liburan disebut sebagai waktu berkualitas? Apakah dengan menghubungi anak setiap hari si Karyawan bisa dikatakan memiliki waktu berkualitas. Eit! Nanti dulu, cong! Analogi waktu berkualitas bukan begitu, cong! Inilah yang menurut saya kudu dipertanyakan lagi konsep waktu berkualitas oleh kita semua. Dalam hal ini waktu berkualitas buat keluarga, lho, karena konteks kita memberikan perbedaan Family Man dengan Quality of Time itu.

Menurut saya, waktu berkualitas adalah waktu dimana kita selalu siapa kapan saja dan dimana saja. Ketika Anak kita butuh bantuan buat menggerjakan PR, kita siap saat itu juga. Ketika Anak curhat dan butuh berjam-jam teman ngobrol yang bisa dijadikan shoulder to cry on, kita ada di sampingnya. Atau ketika orangtua kita tiba-tiba harus dibawa ke rumah sakit, saat itu juga membawa orangtua kita ke rumah sakit dan menunggunya tanpa harus resah dan gelisah dengan pekerjaan.

Apakah anak kita bisa menunda menangis ketika baru di-PHK (baca:Putus Hubungan Kekasih) dan menunggu kita pulang kerja? Apakah kita bisa meminta orangtua kita agar menunggu kita selesai tugas baru pergi ke rumah sakit? Apakah tega mengambil raport Anak atau melihat Anak kita manggung di sekolah tanpa kehadiran kita? Padahal Anak kita butuh kita pada saat itu.

That’s real quality of time! Kita ada pada saat keluarga kita membutuhkan, either Istri kita, Anak kita, or Orangtua kita.

Sekali lagi, quality of time bukan dimiliki oleh mereka yang mennggaku diri sebagai Family Man. Quality of time adalah sebuah waktu yang benar-benar berkualitas. Nggak ada pekerjaan yang mengganggu keluarga. Ketika bekerja, nggak ada lagi masalah keluarga yang mengganggu pekerjaan. Begitu ada masalah keluarga, dengan segera orang yang memiliki waktu berkualitas segera bisa menemukan solusi.

Kira-kira target saya bisa punya waktu yang berkualitas kapan ya? Nah, Anda kapan, Cong?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar