Kamis, 12 November 2009

BELAJAR JOROK DI WC “TRADISIONAL”

Setiap kali traveling dan nggak tahan buang hajat, pasti kita akan menepikan kendaraan kita buat cari kamar kecil atau kamar besar (istilah ini muncul, karena ada kamar khusus WC yang ukurannya cukup besar, seperti di KM 57 di tol Cikampek). Tindakan ini tepat! Sebab kata para ahli, menahan kencing sampai 3 jam lebih, akan berakibat buruk. So, kencinglah Anda sebelum dikencingin orang.

Kami juga seperti sebagian dari Anda. Tiap kebelet pipis atau buang air besar, pasti akan menepikan mobil dan cari Pom Bensin. Kalo kebetulan masih bisa ditahan-tahanin, ya berharap dapat Pom Bensin. Tapi apa jadinya kalo sudah nggak bisa tahan samsek alias sama sekali? Terpaksa cari WC “tradisional”.

Sebenarnya kami nggak boleh mengkategorikan WC yang ada di Pom Bensin dengan WC yang kami sebut “tradisional”. Kenapa? Wong sama-sama WC kok. Mau WC modern atau WC “tradisional” tetap sebagai alat pembuang kotoran, ya nggak? Bedanya barangkali karena struktur dan fasilitas yang ada di WC modern dan “tradisional”.

Kalo WC “tradisional”, bentuknya memang agak jorok. Ubin tempat berpijak terlihat tua. Banyak goresan-goresan yang membuat terlihat kumuh. Lalu WC-nya masih berbentuk jongkok dan juga banyak yang gompal-gompal di sekitar tempat kaki bertumpu. Dinding sekitar WC pun seringkali banyak tulisan-tulisan nggak sedap dipandang mata. Misalnya tulisan: “Kokom I Love You So Much” atau “Willy Top Abis 80” atau “Amel Maukah Kau Married Denganku?”. Masih banyak tulisan-tulisan yang norak kayak begitu. Selain tulisan, ada juga gambar-gambar nggak senonoh yang sering ada di tembok WC “tradisonal”.

Sebenarnya jorok itu relatif. Jorok menurut siapa dulu? Jorok menurut orkay atau orang kaya mungkin iya. Tapi kalo jorok versi orkam atau orang kampyung, belum tentu. Sebenarnya kami yakin, orkay menyebut jorok cuma atas dasar karena struktur bagunannya aja. Yang ubin dan WC-nya terlihat jorok itu tadi. Tapi kalo kita bandingkan dengan cara kencing atau pup, orkay atau para bule yang dianggap modern itu, ternyata lebih jorok yang kita duga kok.

Percaya nggak percaya, hampir tiap kali kencing, si orkay atau bule banyak yang nggak pernah disiram ujung kemaluan mereka dengan air. Kalo kebetulan ada tisu, paling-paling cuma dibersihin pake tisu. Begitu pula pada saat mereka melakukan aksi pup.

Di samping WC modern, biasanya nggak disediakan ember plus gayung. Bahkan keran pun kadang nggak disediakan. Jadi mereka membilas dengan menggunakan tisu. Masih untung kalo ada pancuran air kecil yang biasanya dibuat di tengah WC, dimana cara mengeluarkan air tinggal diputar alatnya. Coba kalo nggak ada air, apakah mereka bisa kita sebut sebagai manusia modern yang jorok?

Kami termasuk orang sok modern yang masih setia dengan WC “tradisionil”. WC-WC yang nggak ada keran, ember, dan gayung, kami anggap norak. Nggak memanusiawikan orang-orang yang mau membuang hajat, entah itu sekadar buang air kecil maupun besar. Begitu pula kalo kami ketemu dengan tempat buang air kecil yang nggak bisa mengeluarkan air dengan cara dipencet, wah menyebalkan sekali. Tahu kan ada tempat kecing yang kita baru meninggalkan tempat kencing itu baru mengeuarkan air secara otomatis? Itu model tempat kencing paling kami benci.
Meski sudah sedikit mampu, kami mengajarkan anak-anak supaya belajar sesuatu yang dianggap jorok. Maksudnya, belajar nggak harus dari sesuatu yang ‘wah’. Konteks di sini soal WC “tradisional” ini. Dengan mempelajari ke-“tradisionil”-an sebuah WC yang dianggap jorok itu, maka kapan pun dan dimana pun kita mau buang hajat, nggak perlu pilih-pilih. Nggak perlu nahan buang air besar atau kecil sampai mendapatkan WC yang agak modern.

Filosofis WC “tradisionil” bisa berkembang ke sikap kita. Dengan belajar “jorok”, kita akan siap belajar hidup “susah”. Dari hidup yang nggak punya apa-apa. Dari sebuah WC yang duduk, menggunakan flush, selalu kering lantainya, menjadi hidup “kampungan” dan dianggap miskin. WC duduk berganti WC jongkok. Dari menggunakan flush yang tinggal pencet otomatis keluar air belajar pada WC yang cara menyiramkan hajat kita dengan cara disiram dengan air.

Kami bilang ke anak kami, banyak orkay yang begitu nggak kaya lagi, susah untuk menurunkan harga diri. Hidungnya sudah terbiasa mendonggak ke atas. Terlalu sombong. Mereka (orkay-orkay yang biasanya anak generasi ketiga dimana perusahaan Kakek dan Ortunya sudah bangkrut) mulai belajar miskin. Tapi mereka sudah terlanjur malu belajar. Gengsinya sudah terbentuk sekeras batu.

Orkay-orkay yang sok jaim meski sudah miskin, nggak mau belajar hidup susah. Yang ada, begitu mau buang air kecil atau besar, kudu cari Pom Bensin. Padahal jaraknya masih jauh dan akibatnya kudu nahan berjam-jam di dalam mobil. Saking nggak mau “membumi”, yakni dengan mencari WC-WC “tradisional” yang banyak di sepanjang jalan.

Kemarin ketika piknik ke jalan kampung yang nggak ada Pom bensin, kami memaksa anak kami buang air kecil di WC “tradisional”. Dasar anak modern, mereka ogah buang air kecil maupun besar di WC “tradisional”. Setelah kami kasih pengertian soal berani jorok, anak kami berani buang air di WC “tradisionil”. Namun saat itu kami punya kejadian yang menggelikan.

“Kenapa Pa?” tanya anak kami begitu melihat saya keluar dari WC “tradisional”, karena nggak jadi buang air kecil.

“Mau muntah...” jawab saya.

“Papa akhirnya nggak tahan juga ya ngelihat WC jorok?” goda anak kami.

“Bukan begitu. Tapi kebetulan Papa dapat WC yang joroooook banget. Ada kotoran yang mengambang. Pasti pelakunya nggak menyiram setelah membuang kotoran itu. Bau banget!”

“Emang Papa ada di WC nomor berapa?”

“Nomor 9...”

“Hehehe...itu kan bekas punyaku...”

“Jadi tadi kotoran kamu?”

“Hehehe...iya Pa.”

“Pantesan dari baunya Papa agak familier. Kamu kok jorok banget sih?”

“Kan disuruh Papa belajar jorok?”

Matilah saya di-skak oleh anak saya kayak begitu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar