Selasa, 02 Maret 2010

DUA PRIA DI ANTARA 15 IBU

Setidaknya judul di atas menggambarkan kejadian hari ini. Bahwa saya adalah salah seorang bapak dari dua bapak yang hadir menyaksikan anak kami menari di Taman Impian Jaya Ancol di Selasa ini. Saya dan seorang bapak, berada di antara 15 ibu yang mendampingi anak mereka menari.

Banggakah?

Pastilah! Saya berani jamin, semua anak ingin orangtua mereka melihat diri mereka tampil dalam suatu aktivitas, entah itu pertandingan olahraga atau pentas seni. Bukan cuma pada saat Sabtu atau Minggu, tapi pada saat weekdays, mereka ingin papa dan mama mereka eksis. Alhamdulillah, saya dan istri berhasil melihat Khaira tampil dalam sebuah perlombaan tari. Bukan main wajahnya ketika kami berdua ada dan melihat ia berlanggak-lenggok di panggung Pasar Seni Ancol.


Saya (berkacamata) menjadi supir teman-teman Khaira yang hendak berlaga di lomba nari Ancol.

Buat kami, sebisa mungkin setiap event 'besar', seperti perlombaan olahraga atau pentas seni, kami prioritaskan buat hadir berdua. Apalagi kalo pada saat menerima rapot, wah kami kudu hadir berdua lah yau. Nggak ada acara yang lebih penting daripada menerima raport anak. Nggak ada pekerjaan lebih utama ketimbang hadir ke sekolah buat mengambil raport. Sebab, kami ingin sama-sama mendengar apa kelebihan dan kekurangan anak kami.

Hari ini, pentas seni, dimana Khaira dan kewan-kawannya akan berlomba dengan sekolah-sekolah lain. Tentu jadwal menari sudah diketahui kami jauh-jauh hari. Itulah mengapa kami sudah siap sedia datang. Kebetulan saya bisa punya waktu setengah hari, dan istri kebetulan cuti. Kalo misal nggak mendapatkan izin dari atasan, kami tetap berusaha buat hadir melihat Khaira manggung. Kami yakin, kehadiran kami lebih penting daripada sekadar mendapatkan uang. Ngapain juga cari uang buat anak, sementara event yang dibutuhkan kehadiran kita nggak bisa kita berikan pada anak kita?

Seru! Seru banget! Sebelum pentas pun banyak kejadian yang bikin saya terharu plus bangga. Bahwa ternyata saya sangat dicintai oleh Khaira. Bahwa ia tahu siapa bapak-nya, apa kebiasaan saya, tingkah laku saya, dan mengenai saya, saya, dan saya lain.

"Papaku mah suka foto," kata Khaira pada teman-temannya di dalam mobil.

Pagi itu, mobil kami memang ditumpangi oleh teman-temannya Khaira. Ada tujuh orang yang ada di dalam mobil kami. Saya dan istri di bangku depan. Di bangku tengah ada empat orang anak, termasuk Khaira. Sisanya di bangku belakang ada tiga orang anak. Semua anak berjenis kelamin wanita. Mereka sudah didandani dengan memakai kostum tari.




Dalam perjalanan, saya sengaja menghidupkan CD yang berisi lagu-lagu anak. Eh, rupanya lagu itu menarik minat anak-anak menyanyi. Memang sih ada yang malu-malu, nggak menyanyi. Tapi dari ketujuh anak, rata-rata menyanyi. Nggak heran, di dalam mobil terjadi kehebohan yang luar biasa. Heboh yang dimaksud adalah berisik saudara-saudara. Tetapi saya suka. Kami suka kehebohan itu, karena dengan begitu mobil kami menjadi bermakna. Maksudnya apa ya?

Entah kenapa, tiba-tiba di tengah mereka menyanyi, kostum salah seorang teman Khaira copot. Kalo nggak salah kerudungnya deh. Nah, kebetulan kami nggak bisa membantu membetulkan. Maklumlah, mobil sedang melaju, sehingga butuh konsentrasi. Eh, Khaira mengluarkan kata-kata yang buat saya sangat menyejukan dan saya yakin kata-kata itu jujur, keluar dari hatinya.

"Nanti aja dibenerin kostumnya sama papaku," ujar Khaira. "Papaku kan jago!"

Terus terang saya nggak berpikir kata 'jago' yang anak kami maksud adalah saya mirip ayam jago. Atau saya sering minum jamu cap jago. Saya percaya, kata 'jago' yang Khaira maksud ya, saya adalah papa yang membanggakan buatnya. Widih! Kok narsis ya? Ah, terserahlah. Anda nggak boleh ngiri, tetapi Anda pasti bisa dan jauh lebih 'jago' dari saya.


Anyway, kata 'jago' sungguh memotivasi saya sebagai papa dari anak-anak kami, Anjani (11 tahun) dan Khaira (5 tahun). Mereka adalah bidadari kecil kami yang luar biasa. Jadi sungguh sangat sedih kalo kami menyia-yiakan mereka. Itulah mengapa kami bela-belain melihat dari dekat Khaira pentas. Dan rupaya kehadiran kami memotivasinya pada saat menari. Khaira menari dengan sangat luar biasa.

"Tapi adik belum dikasih piala, Pap," ujar Khaira polos.

Dalam hati saya berkata: "It's ok, nak. Tampilnya kamu di atas pentas, menari dengan penuh semangat, adalah jauh lebih berharga dari sekadar piala."

Bukankah piala bisa kita beli?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar