Minggu, 14 Maret 2010

MAIN PASIR DI ANCOL

Tiba-tiba saja Khaira ingin main pasir. Keinginan ini terus terang sudah lama nggak saya dengar. Saya nggak tahu angin ribut apa yang membuat putri kedua kami ini nafsu banget ingin main pasir.

"Coba tanya Papa sana," kata istri saya pada Khaira.

Setiap kali salah satu anak kami ingin minta sesuatu atau ingin pergi ke tempat mana pun, selalu minta izin terlebih dahulu. Tergantung siapa orang yang pertama kali diajak bicara. Kalo yang pertama kali diajak bicara adalah saya, maka saya minya anak saya tanya ke istri saya. Sebaliknya begitu, kalo anak saya bicara dengan istri, maka saya yang akan ditanya terakhir.

"Boleh nggak adik main pasir di Ancol, Pap?"


Saya ingin sekali membuat goyonan begitu Khaira memohon kayak begitu. Saya ingin bilang, kenapa harus di Ancol? Main pasir kan nggak harus pergi ke Ancol. Main pasir bisa di toko matrial yang jual pasir. Kita bisa pergi ke situ dan main pasir di toko itu. Tetapi itu tergantu dari izin si pemilik matrial, diizinkan atau malah diusir. Yang pasti sih nggak mungkin diizinkan.

Baiklah kalo nggak diizinkan main pasir di toko material, gimana kalo saya belikan pasir di toko matrial segerobak lalu pasir diletakkan di halaman saya? Itu juga kayaknya nggak membantu ya? Masa halaman rumah saya yang asri itu mau ditimbun pasir? Kayaknya nggak ok banget, deh! Oleh karena nggak berkutik lagi, ya kayaknya Ancol jadi pilihan terakhir.

"Baiklah! Besok kita ke Ancol ya..."

Jauh sebelum permohonan main pasir ini, sebetulnya kita sempat melakukan hal yang sama. Tetapi peristiwa itu sudah lama sekali. Ya, kira-kira ada sekitar 200 tahun yang lalu. Eh, becanda kali! Nggak mungkin 200 tahun, wong kita aja umurnya belum sampai segitu dan kayaknya nggak mungkin. Lagipula 200 tahun yang lalu Ancol belum seperti sekarang. Masih jadi tempat jin buang anak.

Akhirnya sampailah juga kita di Ancol. Ketika kami ke Ancol, kendaraan di pintu masuk belum sepadat biasanya. Maklum, barangkali hari masih terlalu pagi buat mereka yang berrekreasi ke Ancol. Waktu di jam tangan istri baru menunjukan pukul 09.45 wib.

Seperti orang yang sedang merindu, begitu menginjakkan kaki di pantai Ancol, Khaira langsung berlari munuju pasir putih. Bersama Anjani dan asisten kami Ayeh, mereka membuat istana pasir. Mumpung mereka fokus pada permainan pasir-pasiran itu, kesempatan saya dan istri buat pacaran. Hahaha, menikmati angin Ancol yang sepoi-sepoi. Widih! Romantis banget! Kayak di Bali gitu, euy!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar