Selasa, 08 Desember 2009

BERBAKAT JADI GURU

Menjadi guru itu nggak mudah, lho, apalagi kalo yang diajar itu anak-anak kecil. Nah, ini saya alami ketika diminta mengajarkan di sekolah anak saya, Khaira, di TK Ar-Taqwa. Adalah Ibu Soffie, guru putri kedua kami, yang meminta saya mengajar soal proses produksi pembuatan berita sampai ditayangkan di televisi.

Saudara-saudara sekalian, jangan menduga apa yang saya ajarkan itu njilemet. Memang sih, temanya cukup berat, apalagi buat anak-anak TK. Namun tema yang berat ini kudu dibuat ringan. Begitu pesan Ibu Soffie. Tantangan bukan? Alhamdulillah, saya berhasil membuat teman-teman Khaira dan juga murid-murid TK lain enjoy dengan pemaparan saya.


"Kamera itulah yang merekam gambar, sehingga wajah kalian bisa terlihat di televisi," jelas saya.

Tentu setelah menjelaskan soal proses, saya membuka sesi tanya jawab. Rupanya ada beberapa anak yang nafsu ingin bertanyanya besar sekali, sementara murid-murid yang lain nampak kebingungan. Saya tebak, anak-anak yang bengong ini belum ngerti atau bahkan bingung dengan segala penjelasan saya yang sebenarnya sudah ringan sekali.

"Camera itu terbuat dari apa sih Om?"

"Beli kameranya dimana, Om?"




Boleh jadi kemampuan mengajar ini merupakan darah yang diturunkan dari Bapak saya. Yap! Bapak saya adalah seorang guru olahraga dan kesehatan. Beliau lulusan Sekolah Guru Olahraga (SGO) di Surabaya dan kemudian melanjutkan gelar kesarjanaan di Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK), Institut Keguruan Ilmu Pendikan (IKIP) yang sekarang sudah diganti menjadi Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Sejak sebelum saya lahir, Bapak saya mengajar. Entahlah apa yang membuat Bapak doyan mengajar. Saya pikir, beliau ngajar cuma sekadar buat cari makan. Atau kalo mereka yang menjadi guru saat ini kebanyakan sekadar batu loncatan atau profesi terakhir dari pada nganggur. Istilahnya: iseng-iseng berhadian. Gokil ya? Buat Bapak saya mengajar ternyata adalah pengabdian. Nggak peduli gaji kecil atau fasilitas nggak ada, ia tetap mengajar dengan enjoy.


Darah mengajar itulah yang menurun pada saya, sehingga pada saat berhadapan dengan anak-anak, saya bisa "berakting" ala guru. Oleh karena anak-anak enjoy mendengarkan penjelasan saya kalimat demi kalimat, saya pun ikut enjoy. Saking enjoy-nya, dengan penuh harap saya ingin diberikan kesempatan lagi buat mengajar. Ya, itung-itung amal lah, soalnya nggak dibayar. Bukankah luar biasa sekali kalo kelak anak-anak TK yang saya ajar ini beberapa tahun kemudian ketemu saya dan mengatakan: "Thanks ya Om dahulu sudah mengenalkan saya pada dunia televisi". Ah, betapa bangga rasa hatiku kalo hal tersebut benar-benar terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar