Jumat, 01 Januari 2010

ACARA TAHUN BARU 2010: TIDUR!

Sejarah mencatat, untuk pertama kalinya saya nggak bertugas di malam tahun baru. Padahal beberapa tahun, saya selalu mendapatkan tugas dari kantor buat melakukan live report. Terakhir, selama dua tahun berturut-turut, saya dan tim produksi melakukan coverage buat acara dzikir nasional yang dilakukan oleh Ustadz Arifin Ilham yang berlangsung di Masjid At-Tien, Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Entah saya harus mengucap Alhamdulillah atau Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun buat perkara nggak bertugas di tanggal 31 Desember tahun 2009 ini. Tentu kalo soal tugas, semua terserah pada atasan. Saya mah siap setiap saat kalo diperintah. Tentang persoalan apa yang pantas diucap, saya juga nggak ngerti. Satu hal yang pasti, saya dan keluarga memang sejak dahulu kala nggak pernah punya event reguler dalam menyambut pergantian tahun.



Sejak kecil, orangtua saya nggak pernah mengajak saya nonton pesta kembang api di Monas, Ancol, apalagi di bawah Big Band di London atau di kota New York City. Dari tahun ke tahun, saya selalu melawati acara tahun baru dengan biasa-biasa saja. Maklum, dahulu kala uang jadi persoalan serius. Artinya, daripada menghabiskan uang cuma buat satu malam, bahkan beberapa jam, mending nongkrong di depan televisi atau di teras rumah memandangi langit yang penuh dengan kembang api.

Barangkali kebiasaan dari kecil yang membuat saya dan keluarga saat ini juga nggak begitu ngotot merayakan tahun baru. Buat saya dan istri, new year’eve isn’t a big deal. Nah, kalo satu persepsi kayak begini, saya layak mengucap: Alhamdulillah. Saya bersyukur istri saya satu pikiran dengan saya soal merayakan tahun baru.

Kalo ditanya soal duit, Alhamdulillah kami masih bisa merayakan di tempat-tempat yang perlu bayar. Namun persoalannya bukan membayar atau tidak membayar. Ya balik lagi, buat saya dan istri, tahun baru isn’t big deal. Apalagi tahun baru yang kita rayakan ini tahun baru masehi, bukan tahun baru agama kami.

Selain faktor kebiasaan, barangkali karena setiap pergantian tahun saya selalu mendapatkan tugas siaran langsung, sehingga sudah menjadi kebiasaan meyambut tahun baru sebagai hal yang biasa. Nothing special.


Sebuah spanduk acara dzikir di tahun baru yang diadakan di masjid Istiqlal, Jakarta, yang dipajang di Pancoran. Saya salut sekali dengan keluarga atau anak-anak muda yang setiap tahun baru selalu melewati dengan cara berdzkir. Mereka ini tahu, tanpa Allah, kita nggak akan bisa sehat, sukses, dan bahagia di dunia ini dan kelak di akhirat.

"Malam tahun baruan kita ngapain, Pap?" tanya Anjani.

"Tidur!" jawab saya spontan.

"Lho kok tidur? Kemana gitu?"

"Memangnya mau kemana?"

"Nonton kembang api dimana gitu..."

"Ah, buka aja jendela rumah kita, kamu pasti akan melihat kembang api bertebaran dimana-mana."

Alhamdulillah, kedua anak kami mengerti kalo tahun baru nggak perlu dirayakan. Nggak perlu ditunggu detik demi detiknya. Kita cukup tahu, bahwa beberapa orang merayakan dan beberapa orang lain tidak merayakan sebagaimana kami.

Itulah akhirnya, di pergantian tahun 2009 ke 2010 ini, saya dan keluarga melewatkan tahun baru dengan cara molor alias tidur. Kami tidur di sebuah kasur pegas berukuran 150 X 200m berempat dempet-dempetan alias berdesakan. Buat kami, ternyata lebih seru. Coba gimana nggak seru kalo gaya tidur masing-masing beda-beda. Ada yang tangan ke atas, sehingga ketiaknya menempel di wajah orang yang tidur di sebelah. Ada pula yang jidatnya beradu dengan jidat orang di sampingnya. Pokoknya seru abis! Lebih dari itu, atraksi molor di pergantian tahun juga irit. Sebab kita nggak perlu mengeluarkan dana sepersen pun. Cukup mengeluarkan bunyi suara dari kerongkongan bertanda "ZZZZ", plus air liur dari sudut mulut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar