Senin, 21 September 2015

SEKOLAH YANG SELALU "BERGEJOLAK" - a story about SDN Rawamangun 12 Pagi (SD Lab School)

Sudah beberapa bulan ini, kami nggak sempat berkunjung ke sekolah Anjani. Terakhir kali, ketika di sekolah anak kami ini mengadakan acara dalam rangka kedatangan Menteri Kehutanan MS. Kaban yang mengkampanyekan pohon di sekolah. Lho bukannya setiap hari mengantar? Yap! Betul! Setiap hari saya mengantar Anjani ke sekolah, tetapi nggak sampai ke gerbang sekolah.

Kebetulan pagi ini, kami menyempatkan diri berkunjung ke sekolah Anjani. Buat saya ada hal yang menarik dari kunjungan saya. Selain ada surat kesepakatan bersama antara Kepala Sekolah dengan Ketua RT yang sebelumnya saya sempat ceritakan di cerita saya sebelum ini, ada pula soal surat edaran yang dikeluarkan Komite Sekolah yang ditempel di sebuah papan pengumuman yang dikasih nama Berita Aktual.

Surat bernomor KS-Sek/105/XI/2009 yang ditandatangani oleh Ketua Komite Sekolah (Hj. Elvawaniza), Sekretaris (Ina Sutedjo), dan diketahui oleh Kepala SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi (Drs. Yitno Suyoko, MM) ini berisi mengenai permintaan sumbangan. Sebenarnya surat ini diberikan kepada seluruh murid sekolah per tanggal 18 November 2009 lalu, tetapi kebetulan kami belum sempat membaca.


Papan sekolah yang masih menggunakan SDN Percontohan Rawamangun 12 Pagi, belum ada embel-embel RSBI. Masih malu mengakui kali ya? Soalnya menurut saya sih belum layak. Masa cuma gara-gara sekolah ini dihuni oleh murid-murid dari golongan the have alias orang-orang kaya jadi pake embel-embel RSBI? Gengsi dan malu nggak mau disamakan kayak SD-SD Negeri lain. Yang terpenting bukan RSBI-nya, tapi kualitas guru dan prestasi muridnya. 

Dalam surat itu, pihak sekolah yang diwakili oleh Komite Sekolah menghimbau partisipasi seluruh orangtua murid agar membayar uang bulanan senilai Rp 140.000 (seratus empat puluh ribu) per bulan, terhitung mulai bulan Juli sampai November 2010. Sebelumnya, pada bulan Juli sampai November 2009, orangtua murid wajib menyetor Rp Rp 700.000 (tujuhratus ribu rupiah), yang sebenarnya juga merupakan masuk ke dalam agenda minta-minta sumbangan yang kalo di sekolah Anjani dinamakan Sumbagan Peduli Pendidikan Bulanan (SPPB). Selain uang SPPB ini, orangtua dari murid baru juga diwajibkan membayar uang senilai Rp 6.200.000 (enam juta dua ratus ribu rupiah).

Itulah uang bayaran anak kami di sekolah Sekolah Dasar Negeri Rawamangun 12 Pagi yang berada di kompleks Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jakarta ini. Murah? Yap, Alhamdulillah murah! Setidaknya buat ukuran kami dan beberapa orangtua lain. Bahkan barangkali beberapa orangtua akan mempertanyakan soal uang bayaran ini.

“Nggak salah?”

“Kok murah amat!”

“Labs School kan sekolah favorit? Keren! Kok bayarannya murah banget!”

Biasanya yang mempertanyakan begitu adalah orangtua-orangtua kaya. Mereka yang nggak punya masalah dengan uang. Yang punya mobil lebih dari tiga –satu mobil buat suami, satu mobil buat istri yang biasa dipakai jalan-jalan atau arisan, satu mobil lagi dipergunakan buat pembantu yang akan mengantar-jemput-. Mereka yang memberikan anak-anak mereka sebuah Blackbarry, sementara teman-teman SD-nya cuma punya Nokia seharga 700 ribuan perak.


Ruang kelas sekolah yang katanya merintis berstandar internasional.

Para orangtua kaya ini yang memang seringkali mengacaukan dunia “persilatan”, maksudnya mengacaukan dunia pendidikan. Nggak cuma soal mengajari anak-anak agar nggak komsumtif atau memiliki jiwa kapitalis, tetapi juga soal bayaran sekolah. Mereka inilah yang kerap mengejek orangtua-orangtua murid yang memperjuangkan hak mereka, yakni bersekolah secara gratis tanpa dipungut biaya sepersen pun dari sekolah.

Iya, SD anak kami memang dikenal sebagai SD Lab School. Semua orangtua tahu, Lab School itu punya pencitraan yang luar biasa keren. Dianggap sekolah favorit. Katanya lagi, pendidikannya bagus. Padahal kalo Anda tahu, SD Lab School itu nama aslinya SD Negeri Rawamangun 12 Pagi, tahu?! Artinya, SD Lab School itu sama aja kayak SD-SD Negeri lain yang Anda biasa lihat.

Orangtua-orangtua kaya itulah yang ingin merubah SD Negeri Rawamangun 12 Pagi ini menjadi sekolah elit. Sekolah yang kelihatan mahal, dimana citranya nggak kayak sekolah-sekolah inpres atau SD-SD biasa lain. Caranya? Berawal dengan tidak mau mengambil dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Anda tentu tahu dong, yang namanya SDN itu mendapatkan BOS?


Ini satu tempat yang paling nggak saya suka. Kenapa? Di tempat ini banyak ibu-ibu (kalo kebetulan nggak ada para pembantu) seringkali ngerumpi nggak penting, bukan ngerumpiin masa depan anak-anak mereka yang sedang belajar. Saya bahkan pernah duduk dengan Ibu-Ibu yang mengumpulkan uang arisan. Anda tahu uang arisannya berapa? Lebih dari satu juta! Di tempat ini pula Ibu-Ibu kaya membuat strategi agar para orangtua yang nggak mau bayar sumbangan dikucilkan dari pergaulan.
Depertemen Pendidikan (Diknas) sudah mengalokasikan dana buat kepentingan pendidikan yang lazim dikenal sebagai BOS. BOS ini diberikan pada SD sampai SMP. Komposisinya adalah SD yang berada di Kabupaten mendapat dana senilai Rp 397.000 per siswa per tahun. Jadi kalo ada sekolah yang jumlah siswanya 500 orang, ya tinggal dikalikan saja 500 siswa dikali Rp 397.000. Sementara buat sekolah yang berada di Kotamadya akan mendapatkan dana BOS senilai Rp 400.000 per siswa per tahun.

Sekolah tempat anak kami belajar, sejak awal mendapatkan dana BOS. Saya masih ingat pertama kali masuk, para orangtua dikumpulkan oleh Kepala Sekolah. Selain mempresentasikan mengenai hal-hal apa yang sudah dilakukan dan apa yang akan dilakukan sekolah ini, Kepala sekolah secara tidak langsung mem-brainwashed orangtua-orangtua yang baru memasukkan anak mereka ke SDN Rawamangun 12 Pagi ini agar mengerti, bahwa BOS nggak cukup. Dana BOS nggak bisa menjadikan sekolah memiliki fasilitas yang diinginkan bersama.

Terus terang saya nggak mengerti, fasilitas seperti apa yang diinginkan. Komputer? Lab bahasa? AC? Lagi pula siapa yang menginginkan itu? Saya, kami, atau para orangtua kaya itu? Aneh!

Ujung-ujung dari brainwashed itu, Kepala Sekolah mengharapkan BOS nggak diberikan di sekolah ini. Soalnya kalo dana BOS diturunkan, maka pihak sekolah nggak boleh meminta sumbangan lagi pada orangtua murid. Sebaliknya kalo sekolah nggak mengambil dana BOS, maka pihak sekolah yang diwakili oleh Komite Sekolah bisa menarik sumbangan sesuai dengan kebutuhan sekolah.

Kejadian lima tahun lalu itu, masih memberkas di otak saya. Terjadi tarik menarik antara orangtua murid. Ada yang setuju dana BOS nggak diambil, banyak yang tidak. Sementara kami abstain. Yang setuju, biasanya adalah para orangtua kaya yang saya ceritakan di awal tadi nggak masalah dengan uang dan ingin menjadikan sekolah ini sebagai sekolah semi swasta, bukan kayak SD-SD biasa. Sebagian dari mereka juga sudah punya anak yang kebetulan masih bersekolah di situ. Sementara yang menentang atau tetap menginginkan dana BOS diambil kebanyakan orangtua-orangtua kelas menengah. Tetapi ada pula yang sebenarnya orangtua dari golongan mampu juga, lho, yang biasanya mereka tampil humble alias rendah hati.

Sejujurnya kami nggak bisa menyangka, kejadian 4 tahun lalu itu mengenalkan kami pada sebuah sekolah yang ternyata selalu saja “ribut”. Maksudnya, SD Negeri Rawamangun 12 Pagi ini selalu punya masalah dalam pengelolaan keuangan, sehingga cukup mengganggu dalam perjalanan ajar-mengajar di sekolah anak kami. Bagaimana perasaan Anda ketika anak Anda pulang dan mengatakan begini:

“Pap, kata Bu Guru besok raport Anjani nggak dikasih, karena Anjani belum melunasi uang sumbangan?”

“Ma, mulai besok Anjani bawa baju ganti, karena AC di sekolah mati. Kata Pak Guru, kalo kita nggak bayar uang sumbangan, AC-nya nggak bakal dibenerin.”

Buat saya, soal raport yang nggak diberikan atau AC mati sudah keterlaluan. Beberapa waktu lalu, ancaman-ancaman yang dilakukan pihak sekolah itu membuat sejumlah orangtua jengkel. Saya mengerti, supaya para orangtua mau membayar sumbangan, hal yang paling efektif dilakukan adalah dengan melakukannya pada anak didik. Gokil nggak?


Lembaran rekapitulasi Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS) SDN Rawamangun 12 Pagi Tahun 2009/2010. Totalnya Rp 4,2 miliar. Kalo bukan karena embel-embel Rintisan Sekolah Berstandar Internasional, nggak mungkin SD Negeri ini punya RAPBS gede. Paling-paling biayanya kayak SD-SD Negeri lain
Tragis memang yang terjadi di sekolah anak kami. Saya sempat menceritakan pada Anda, bahwa dalam waktu lima tahun bersekolah di SD Negeri Rawamangun 12 Pagi, sudah tiga Kepala Sekolah diganti. Pergantian ini konon diakibatkan gara-gara masalah uang. Coba Anda pikir, kalo dana BOS sudah diambil, artinya sekolah nggak berhak meminta sumbangan lagi dong? Nah, di sekolah anak kami aneh. Dana BOS diambil, sumbangan diambil. Yang menyesakkan, laporan keuangannya pun nggak transparan. Nggak heran sejumlah orangtua melakukan protes. Isu protes adalah Kepala Sekolah korupsi atau Komite Sekolah kongkalikong dengan Kepala Sekolah dalam melakukan pengelolaan dana operasional yang nggak transparan. Protes yang selalu muncul di media ini menghasilkan penopotan beberapa Kepala Sekolah.

Isu korupsi dana BOS memang bukan cuma di sekolah anak kami. Menurut Peneliti di bidang pendidikan Indonesian Corruption Watch (ICW), Febri Hendri, sekitar 60% sekolah menyelewengkan dana BOS (Suara Pembaruan, Senin, 29 September 2009). Dana BOS yang dikorup senilai 13,7 juta per sekolah. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), 6 dari 10 sekolah menyimpangkan dana BOS.

Guna menjadikan SD Negeri Rawamangun 12 Pagi ini semi swasta atau boleh meminta sumbangan, maka ditambahlah embel-embel Rintisan Sekolah Bertaraf International (RSBI). Dengan embel-embel ini, para orangtua yang mengharapkan bisa bersekolah gratis nggak bisa protes lagi. Sebab, Komite Sekolah selaku wakil sekolah sudah mengeluarkan surat edaran permintaan SPPB itu tadi, dimana terdapat landasan kebijakannya, yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Selain itu juga Peraturan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 060 Tahun 2009 Tentang Pedoman Menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah untuk TK, SDN, SMPN, dan Sekolah Luar Biasa Negeri Provinsi DKI Jakarta. Bahwa sumbangan siswa baru senilai Rp Rp 6.200.000 dan uang bulanan Rp 140.000.



Agar jadi Sekolah yang berstandar internasional, AC kudu dingin. Tetapi kalo ada sejumlah orangtua murid yang nggak mau bayar sumbangan, AC nggak bisa dibetulkan. Uang operasionalnya kurang. Biar dibilang standar internasional, ada kamera CCTV yang selalu memantau kondisi murid-murid (perhatikan di foto pojok atas kanan, itu CCTV). Luar biasa bukan?
Anda tahu? Buat menguatkan agar para orangtua mau membayar SPPB, di papan pengumuman berjudul Berita Aktual itu dipajang beberapa artikel tentang dana BOS, dimana seluruh artikel itu mengecam efektivitas dana BOS. Buat saya aneh. Kenapa yang dipajang cuma artikel yang kontra pada dana BOS? Ini yang menjadi pertanyaan besar dan jelas mengetahui bahwa sekolah dan Komite Sekolah lebih suka meminta SPPB ketimbang dana BOS, sehingga sekolah ini nggak menjadi sekolah gratis. Mana ada yang gratis di Jakarta ini? Kencing aja bayar!

Lucunya lagi, artikel-artikel yang ditempel di situ semua berasal dari koran Suara Pembaruan (SP). Ada SP tanggal 23 September 2009 berjudul: “Klaim Pendidikan Gratis Adalah Pembohongan Publik”. Lalu SP tertanggal 24 September 2009 dengan judul artikel “Mendiknas Harus Minta Maaf”; “Ubah Difinisi Sekolah Gratis” (SP, 25 September 2009); “Orangtua Termakan Sekolah Gratis” (26 September 2009); “Cabut Iklan Sekolah Gratis” (28 September 2009). Semua artikel tersebut ditulis oleh wartawan SP yang berinisial W-12. Cuma satu artikel yang ditulis oleh M-15, yakni artikel “Klaim Pendidikan Gratis Adalah Pembohongan Publik”. Lucu bukan? Patut dicurigai, jangan-jangan...


Artikel mengenai kritik terhadap BOS yang dipajang di papan pengumuman. Anehnya semua artikel ditulis koran Suara Pembaruan dengan tanggal yang berurutan. Kenapa dan ada apa ya? Saya jadi curiga!
Kenapa cuma SP? Kenapa nggak ada media lain yang mau menulis kalo BOS memang benar-benar nggak efektif? Koran besar kayak Kompas misalnya, Media Indonesia, Republika, atau sekelas Tempo nggak menulis kalo Pendidikan Gratis itu dianggap sebagai kebohongan publik? Aneh! Tapi ya begitulah kenyataan yang terjadi di sekolah anak kami. Demi ingin memungut SPPB, segala daya upaya dikerahkan agar orangtua-orangtua yang “usil”, yang ingin sekolah SD Negeri Rawamangun 12 Pagi ini benar-benar gratis, terpaksa harus ikut aturan, yakni membayar SPPB. Kecuali memiliki surat keterangan nggak mampu dari RT/RW –sebagimana point “c” di surat yang diedarkan Komite Sekolah tertanggal 18 November 2009-, maka orangtua tersebut benar-benar bebas dari SPPB atau sumbangan apapun.

Terlepas dari uang SPPB ini, kami merasa “terjebak” menyekolahkan anak kami di sini. Ini memang sangat pribadi, tetapi buat kami ini cukup signifikan. Bahwa niat kami menyekolahkan Anjani di sekolah ini tentu gara-gara pencitraan yang luar biasa dari SD yang dikenal sebagai SD Lab School ini. Sebagai alumni Lab School, jelas secara emosional, saya juga turut mempromosikan positif pada sekolah ini. Lebih dari itu, orangtua saya pun mendukung 100% kalo cucunya bersekolah di sini.

Tetapi pada kenyataannya, SD yang dahulu saya pernah belajar jauh berbeda dengan SD sekarang. Sejak pertama masuk, sekolah ini selalu “bergejolak”. Kayak-kayaknya baru kemarin saya berkenalan dengan Ibu Hj. Tien Yuniati S.Pd sebagai Kepala Sekolah, eh sudah diganti dengan Pak Drs. Sugeng Sulistyo, MM. Pd. Terakhir, anak saya membawa surat edaran, dimana Kepala Sekolah-nya sudah Pak Drs. H. Yitno Suyoko, MM.

Ada apa sih dengan sekolah SD Negeri Rawamangun 12 Pagi ini? Kok masalah nggak selesai-selesai? Inilah yang kami sebut dengan istilah “terjebak”. Kalo saja kami tahu ada sekolah bernama AT-Taqwa di kompleks UNJ lima tahun lalu, kami pasti lebih memilih di sekolah ini, yang sekarang menjadi sekolah anak kami kedua: Khaira. Selain nggak pernah “ribut”, diam-diam sekolah ini termasuk sekolah favorit, karena prestasi akademiknya. Ah, moga-moga di tahun-tahun terakhir Anjani sekolah ini, Pak Drs. H. Yitno Suyoko, MM bisa mengelola sekolah ini agar nggak "bergejolak" lagi. Apalagi dengan prestasi Pak Yitno yang sempat meraih prestasi sebagai Guru Teladan tingkat Provinsi DKI Jakarta tahun 2001 ini, kami selaku orangtua bisa berharap banyak.

22 komentar:

  1. Salam kenal Pak Brilianto.Postingan Bapak tentang kiprah komite di SD RSBi cukup membuka mata komite tentang persepsi orang tua perihal sumbangan pendidikan degn segala pernak perniknya.

    lain ladang lain belalang, lain pula dinamikanya

    http://komitesdnpolisi4.blogspot.com/2009/05/klarifikasi-untuk-warga-polpat-dan.html

    BalasHapus
  2. Menurut saya uang masuk ke sekolah seFAVORIT sdn ikip ini dg byran 6,2 jt sgt2 murah pak....bandingkan dg sekolah swasta yg sdh puluhan juta rupiah. apalagi spp cuma 140 rb/bulan, bandingkan dg al azhar yg sdh 600 rb padahal kualitas sd ikip ini tdk kalah dg sklh swasta tsb. th ini 2010 sebyk 15 siswa dr sd ikip yg diterima di smp 115 yg sgt susah tesnya bahkan lbh susah dr tes masuk smp labschool. Saya sgt ingin anak sy bs diterima di sdn ikip th 2010/2011 ini dg membayar segitu sy tak keberatan. Dulu 7 THN YG LALU (thn 2002)sy masukin anak PERTAMA sy di al azhar dg uang pangkal 10,5 jt....bayangkan!

    BalasHapus
  3. oya buat perbandingan saja....dr sdn besuki yg diterima di smpn 115 tebet(smpn terfavorit/ peringkat 1 se Jakarta) thn 2010 ini cuma 10 siswa. padahal biasanya dr sdn besuki yg plg byk. ini menunjukkan bhw sdn ikip lulusannya thn ini mengungguli sdn besuki. apa bpk tdk bangga? sy yg anaknya belum bersekolah di situ saja bangga lho.....

    BalasHapus
  4. Pak Muhammad...kita ini bicara Sekolah Dasar Negeri (SDN) bukan Sekolah Desar Swasta. Jadi pendapat awal Bapak yg membandingkan dg SD Al Azhar atau AS apalah sdh kurang tepat. Kalo mau bandingkan ya apple to apple lah....kecuali SD IKIP itu dirubah jadi swasta jadi SD apa kek, SD Swasta IKIP misalnya.

    Jgn mau BOS, tp msh minta dana dr ortu. Kalo bahasa anak mudanya: "abu-abu", "kelaminnya nggak jelas". SD Negeri atau Swasta sih? Kalo udah jelas swasta, ortu yg mau masuk SDN IKIP ini jadi sadar diri. "Elo masuk ke sekolah swasta, ya bayarannya gede, tahu?! Masak mau gratis."

    Soal bangga, awalnya saya bngga anak saya berhasil menyisihkan banyak anak2 yg mau masuk SDN IKIP. Tp melihat konflik yg gila2an, saya nggak bangga. Muak!

    Sekadar info, saya lulusan Lab School juga. Waktu sekolah SD Lab School dulu, saya bangganya minta ampun. Saya respek dg guru2 zaman dulu dan sistem pendidikannya. Bukan money oriented, tp bener2 idealis! Luar biasa bgt!

    BalasHapus
  5. Pak....saya cuma mau bilang bahwa sdn ikip itu tak kalah dg swasta. kl tdk mau bandingin dg sd swasta, skrg ayo bandingkan dg sdn besuki (menteng 01/ sekolah obama). sama2 sd negeri, sama2 sdh rsbi. uang sumbangan di besuki thn 2009/2010 rp. 6,5 jt, spp rp.350 rb. tp di sana gak ada ortu yg ribut, krn ortu di sana itu "berpendidikan" semua... kl bpk mau sekolah negeri gratis, ya...jgn masukin sdn ikip yg kelasnya sdh sekelas swasta dong... masukin sd reguler aja..kan byk...ada sdnp kayu putih 9 di pulomas, sdn gondangdia 3-5 di cikini, sdn 1-9 kebon manggis dll, byk koq sdn yg bener2 gratis...tp ya tau sendiri kualitasnya... jgn kita maunya berkualitas tp tak mau bayar/mendukung.....kl tdk mau byr...ya..bikin aja sekolah sendiri... atau homeschooling aja...diajarin sendiri aja anaknya, ga usah suruh org lain yg ngajarin....bisa berkualitas ga anaknya. hidup ini cuma pilihan kog....& pilihan itu sdh disediakan kemendinas utk bid pendidikan. Perlu bpk tau, anak pertama saya di terima di smpn 115 tebet kelas internasional, sy jg byr sumbangan rp 10 jt dg spp 527 rb perbulan. sy tdk keberatan koq asal anak sy dpt pendidikan yg berkualitas drpd sy masukin smp labschool yg lebih mahal tp kualitas blm tentu lebih baik dr smpn 115. bahkan byk temen anak sy yg tdk diterima di smpn 115 larinya ke smp labschool. Tp kl bpk mau masukin anak ke smpn yg gratis bisa ke smpn 216 di salemba atau smpn 109 di kodam. jd sebelum masukin anak ke suatu sekolah cari info yg byk pak..spy tdk kecewa & salah masuk.

    BalasHapus
  6. oya, bandingkan jg dg sdn rsbi menteng 02. kebetulan ada anak temen yg masuk situ thn ajaran 2009/2010. uang sumbanagan rp 4,5 jt spp rp 170 rb /bln. itu sklh katanya sdh rsbi tapi blm py lab bahasa & ruang kelas tdk pake ac melainkan kipas angin. dr segi kualitas jg setau sy msh di bawah sdn rsbi ikip & sdn rsbi besuki/menteng 01.

    BalasHapus
  7. UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 1 bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

    Imvestasi awal pendirian RSBI adalah memakai APBN yang sebagian besar berasal dari pinjaman Bank Dunia.Siapa yang bakal membayar angsurannya?, semua warga negara, mulai dari bentuk pajak barang konsumsi dapur warga marjinal hingga orang gedongam, atau beruapa pemotongan anggaran subsidi kaum miskin.Kalaulah sekolah RSBI dianggap ada jaminan mutu, lalu Siapa yang menikmati RSBI tersebut?,sebagian kecil anak anak dari kalangan the have.Alangkah fairnya jika investasi komulatif 100 RSBI dialokasikan kepada 1000 SDN reguler sehingga didapat efisiensi envestasi pendidikan dan pemerataan mutu pendidikan.dan pada akhirnya spirit pasal 5 ayat 1 sisdiknas di atas benar benar terwujud

    BalasHapus
  8. Thx utk Komunitas Orang Tua Polpot!

    Statement pak Muhammad ini luar biasa!

    Luar biasa pertama: "bandingkan dg sdn besuki (menteng 01/ sekolah obama). sama2 sd negeri, sama2 sdh rsbi. uang sumbangan di besuki thn 2009/2010 rp. 6,5 jt, spp rp.350 rb. tp di sana gak ada ortu yg ribut, krn ortu di sana itu "berpendidikan" semua"

    Luar biasa kedua: "kl bpk mau sekolah negeri gratis, ya...jgn masukin sdn ikip yg kelasnya sdh sekelas swasta dong... masukin sd reguler aja..kan byk."

    Baiklah kalo orangtua yg ribut di SDN IKIP dianggap gak "berpendidikan", sedang yg gak ribut itu "berpendidikan". Statement yg mantabs buat Bapak Muhammad yg berpendidikan.

    Statement luar biasa kedua itu memang sudah sering diungkapkan oleh orangtua-orangtua "berpendidikan". Kenapa nggak pilih SD Negeri yg gratis aja? Kenapa pilih SD Negeri IKIP? Sebenernya sudah saya tulis di atas, mirip kayak komentar Komunitas Orang Tua Polpat. Semua orang tua punya hak.

    Ssssttt sekadar info, RSBI itu sebenarnya cuma strategi aja supaya orangtua-orangtua yg gak "berpendidikan" itu mau bayar. Padahal SD Negeri IKIP menurut saya sih blm layak masuk kategori RSBI. Dari prestasi? Hmmmmm....no comment! Dari fasilitas dan bangunan gedung? Nanti saya tampilkan foto2 SDN yg katanya RSBI itu ya.

    BTW, aneh juga ya, kok anak saya yg sekolah di SDN IKIP, kok Bapak Muhammad yg "berpendidikan" ini sampai ngotot bela2in SDN IKIP ini? Hahahahaha....

    Mending sekolah di At-Taqwa aja deh Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu ketimbang Anda dibilang nggak "berpendidikan". Saya menyesal menyekolahkan anak saya di SDN IKIP ini....

    BalasHapus
  9. Maaf pak .Yang bapak Muhammad yang memberikan komentar sebelum saya ikut memberikan komentar, BUKANLAH SAYA.SAYA MUHAMAD YUSUF, bukan Mumammad,ada unsur kemiripan nama .Saya orang tua dan pengurus komite di salah satu SDN reguler GRATIS di Kota Bogor yang saat ini juga ikut mengkampanyekan "SDN Reguler tanpa RSBI ,tanap biaya mahal dan kewajiban menyumbang PUN bisa memberikan pelayanan pendidikan yang optimal".saya termasuk orang tua yang tidak setuju dengan RSBI.Boleh dibaca di postingan blog blog saya dan blog komite SDN Polisi 4 Bogor. Terima kasih pak Brilianto

    BalasHapus
  10. @komunitas ortu polpat :

    menamggapi komen anda yg pertama:
    bukankah yg membayar pajak lbh besar jg org2 yg kata bpk "the have" itu??...

    tp bukan itu masalahnya. Orang kaya itu bukan mencari "yg murah" tp mereka mencari kualitas. krn org kaya itu tdk kekurangan uang toh? & mrk pasti menjaga gengsi. Dulu sebelum ada RSBI, org2 kaya mana ada yg ngelirik sklh negeri.

    Jd kl ada org kaya yg mau nyekolahkan anaknya ke sekolah negeri itu pasti krn sekolah negeri itu sdh berkualitas spt sklh swasta. sklh negeri itu hrsnya berbangga diri.

    utk org miskin, apakah tdk boleh sklh di sekplah berkulitas? kl mrk pintar kan tetap bisa bersekolah di sklh RSBI & tdk perlu membayar asalkan mrk bisa memberikan surat keterangan tidak mampu kpd sekolah.

    Jd tdk ada diskriminasi di sekolah RSBI.

    BalasHapus
  11. To gokil dad

    Saya bkn membela SDN RSBI IKIP/Rawamangun 12, tp saya prihatin dg komen bpk ttg sklh tsb.

    Saya sendiri adalah pegawai swasta yg sangat ingin anak ke-2 kami bisa bersekolah di SDN IKIP krn kami tau kualitasnya.

    Thn lalu saya sdh survey & sdh melihat fasilitasnya.

    Dulu anak pertama saya pernah ikut pre olympiade matematika, & dr sklh anak saya tdk ada yg masuk final sdgkan dr SDN IKIP ada 2 org.

    Selain itu anak pertama saya yg skrg sekolah di SMPN 115 (semabels/SMP Negeri terfavorit di DKI jakarta)& kebetulan dia jg siswa berprestasi (srg dipilih ikut lomba2 mewakili sekolah, teman2 dia yg dipilih ikut lomba byk jg yg alumni dr SDN IKIP.

    Ada satu cerita yg ingin saya samapikan sbg perenungan bg Anda.

    Saya punya kenalan, dulu anak pertamanya dia masukkan ke SDN IKIP. Dia cerita kpd saya nbw dia sangat menyesal masukin anaknya ke SDN IKIP sehingga anak keduanya dia masukkan ke SDN Menteng 02 jakpus. Apa yg terjadi?

    Dia cerita kpd saya bhw dia lebih menyesal masukin anaknya ke SDN Menteng 02 krn ternyata SDN Menteng 02 lbh parah dr SDN IKIP!!!

    Jadi pak..... rumput tetangga mmg lebih hijau bukan?

    oleh krn itu, syukuri apa yg sdh Allah berikan kpd bpk & anak bpk. Byk ortu yg sgt ingin anaknya di terima di SDN IKIP tp tdk diterima shg mereka terpaksa cari sekolah lain yg belum tentu lbh bagus dr SDN IKIP & kl pun lbh bagus pasti dg bayaran yg lbh mahal.

    Yg perlu bpk sadari adalah :

    SEGALA SESUATU ITU ADA KELEBIHAN & KEKURANGANNYA, begitu jg dg sekolah anak dimana pun dan apapun sekolah itu.

    Apalagi kl hanya mencari kekurangannya. Tp cobalah berpikir lbh positif krn org yg berpikir positif selalu mencari kelebihan atau sisi baik dr sesuatu. Dan org yg selalu berpikir positif biasanya lbh bersyukur.

    ke SDI Attaqwa?... Kl anak saya tdk diterima di SDN IKIP baru saya akan mempertimbangkan ke sana. Saya jg sdh pernah survey ke sana & sdh lihat profil sklh itu di internet.

    Tahun lalu anak saya ikut lomba English story telling di LIA Pramuka. Dr SDI Attaqwa tdk ada yg masuk final tuh....sedang dr SD Negeri byk yg jadi juara. (Meskipun menang kejuaraan bukan tolak ukur kualitas suatu sekolah. Tapi paling tdk bisa memberikan sdkt gambaran ttg kemampuan SDM suatu sekolah dlm mengembangkan kemampuan & ketrampilan anak didiknya).

    Jadi...???
    Kami tetap lbh memilih SDN IKIP drpd SDI Attaqwa atau SDI Al Azhar sekalipun. Buat apa bayar lbh mahal kl dr harga yg lbh murah kami dapat kualitas yg sama.

    Pesan saya :
    Bayarlah pajaknya, awasi penggunaannya. Jgn krn gara2 gayus anda tak mau byr pajak!

    Bayarlah uang sumbangan di SDN IKIP, lalu awasi penggunaannya. Kl ada indikasi korupsi, baru lapor kemendiknas/polisi.

    Gitu aja kok repot.....

    BalasHapus
  12. Eugenika, Akhir Kekhilafan Pendidikan

    Berbagai strata

    Keinginan memperbesar peran serta masyarakat menyebabkan pelaksanaan sistem pendidikan terpecah menjadi berbagai strata kualitas lembaga pendidikan sesuai strata ekonomi masyarakat. Di satu sisi ada lembaga pendidikan dengan fasilitas pendidikan berkualitas super, di sisi lain lembaga pendidikan pemerintah memberikan fasilitas pendidikan gratis yang kurang memadai untuk kelompok masyarakat bertaraf hidup rendah.
    Maka, agar tidak ketinggalan dengan ”pebisnis” yang mengelola ”industri jasa pendidikan”, beberapa lembaga pendidikan pemerintah bermetamorfosa menjadi lembaga pendidikan pemerintah yang menyediakan layanan pendidikan berfasilitas khusus. Artinya, dengan biaya khusus dan hanya dapat dicapai oleh kelompok masyarakat berstrata ekonomi khusus pula.
    Tanpa disadari, terjadilah ”korupsi idealisme pendidik” dan ”pelecutan idealisme pendidik”.
    Sebagai pendidik, kita tak sepenuhnya dapat disalahkan atas apa yang terjadi karena ada tekanan memproduksi citra pendidikan yang berkualitas tanpa melihat makna pendidikan sebagai hak asasi manusia.
    Kita harus siap menerima bahwa pendidikan yang kita laksanakan akan menghasilkan manusia-manusia yang terbagi dalam berbagai predikat strata kualitas pendidikan.
    Predikat strata kualitas pendidikan yang berbeda memberi akses yang berbeda pula terhadap fasilitas penghidupan dan kehidupan. Manusia-manusia produk strata kualitas pendidikan baik akan mendapat fasilitas penghidupan dan kehidupan baik.
    Mereka menjadi kelompok masyarakat yang memiliki kualitas, harapan hidup, dan bereproduksi dengan baik serta mewariskan kesejahteraan hidup pada generasi berikutnya melalui strata kualitas lembaga pendidikan yang mampu dibiayainya.
    Sebaliknya, manusia-manusia produk strata kualitas pendidikan rendah akan mendapat fasilitas penghidupan dan kehidupan rendah pula. Mereka menjadi kelompok masyarakat dengan kualitas, harapan hidup, dan keinginan bereproduksi rendah, berpeluang lebih kecil untuk dapat mewariskan kesejahteraan pada generasi berikutnya.
    Seleksi alam telah terjadi dan eugenika akan menjadi kenyataan. Eugenika ini dipercepat lagi dengan adanya diskriminasi layanan kesehatan.
    Apabila kita tak ingin mengatakan eugenika sebagai akibat dari kekhilafan dalam pelaksanaan sistem pendidikan, mari kita hayati rasa ketidakadilan yang mengkristal sebagai akibat adanya perbedaan strata kualitas pendidikan ini.

    Tidak mudah merasakan kekhilafan ini, mungkin karena kita sedang dalam kemenangan melawan seleksi alam. Kesejahteraan dari pemerintah kepada para pendidik memberi peluang lebih baik untuk melewati seleksi alam ini. Namun, sebagai pendidik, kita bertanggung jawab terhadap semua kemungkinan dampak buruk kekhilafan pelaksanaan UU Sisdiknas.

    sumber:
    http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/15/04492555/eugenika.akhir.kekhilafan.pendidikan

    BalasHapus
  13. Jgn tertipu dg tulisan org2 kompas.

    Saat ini byk sekolah swasta baik dr yayasan islam maupun kristen yg tdk setuju dg ide RSBI sklh negeri krn dg adanya sekolah RSBI ini byk ortu yg dulunya melirik sklh swasta spt Al-Azhar, Penabur, Kanisius dll mulai melirik sklh negeri spt SDN RSBI Rawamangun 12 & Besuki, SMPN spt SMPN 115 & 49, atau SMA negeri spt SMA 8, 70 atau 28 yg kualitasnya bisa menyamai sekolah2 penabur, kanisius dll yg notabene biayanya bisa 2 kali lebih mahal dr sekolah RSBI.

    Bagaimanapun sekolah RSBI tetap lbh murah dr sklh swasta tsb padahal kualitasnya sama atau bahkan lbh baik.

    Utk sekolah reguler & SSN (selain RSBI)apakah semuanya tdk berkualitas baik?

    Banyaklah melihat & menelaah.

    Banyak sekolah negeri non RSBI (reguler/SSN) yg kualitasnya jg bagus spt :

    Utk SDN :
    SDN Tebet Barat 5, SDN tebet timur 15 & 19, SDN Kayu Putih 09, SDN Gondangdia 1, SDN Menteng 03 , SDN Johar baru & masih buannnyakkkkk lagi.

    Utk SMPN :
    SMPN 216 salemba, SMPN 109 kodam, SMPN 41 pasarminggu, dll

    Utk SMAN
    SMAN 8, SMAN 70 Bulungan, SMAN 81 Kodam, SMA 28 pasarminggu, SMAN 68 Salemba , SMAN 6 Blok M, SMAN 3 setiabudi dll (meskipun di SMAN ini ada jg kelas RSBI nya. Jadi siswa ortu bisa memilih utk mengambil program RSBI yg berbiaya mahal atau program reguler yg lbh murah.

    BalasHapus
  14. Saya senang sekali menemukan postingan anda dan bisa ikut memberi komentar menurut saya sangat berharga sekali bisa membaca tulisan anda, dan pada kesempatan ini akan saya manfaatkan untuk sumber referensi saya
    Terima kasih banyak telah berbagi, saya berharap anda terus semangat menulis topik selanjutnya
    Jasa Outbound Surabaya
    Jasa Outbound Pasuruan
    Jasa Outbound Malang

    BalasHapus
  15. Terima kasih informasinya sangat menarik dan bermanfaat . Super Onyx ingin berbagi informasi tentang kerajinan dari batu onyx dan batu marmer . Batu-batuan ini kita proses menjadi sebuah kerajinan , souvenir , maupun hiasan . Banyak contoh hasil kerajinan yang kita proses seperti Guci , Meja hias , Lampu hias , Hiasan dinding , Vandel , Vas bunga , Pembakaran dupa listrik , Patung , dll . Informasi lebih lanjut kunjungi situs
    http://www.jualbatuonyx.com
    Harga Batu Onyx Merah
    Jual Meja Marmer Kuno
    Harga Meja Marmer Dapur

    BalasHapus
  16. Saya ortu yg anak pertama saya masuk ke RSBI Rawalas 12 pagi. Saya kira dulu ini SD Labskul swasta.. trnyata pas tau Negri sedikit kecewa.
    Setau saya kalo SDN kan gratis yaa.. Tapi ini bayar bukan bayar spp tapi bayar donasi setiap tahun 2.4juta dan uang kas kelas 1juta s.d 1.7juta ... belom dengan uang2 lainnya...

    Anak saya 4 dimana hanya anak pertama saja yg masuk SDN ini...

    Jujur aja setelah saya menyekolahkan anak ke 3 dan ke 4 saya di sekolah international school dengan bayaran SPP 1.7juta perbulan dan uang pangkal per anak sbesar 15juta. Tanpa ada pungli2 lainnya (fasilitas keren teachers sangat perhatian dan berani memberikan tambahan pelajaran tanpa memungut biaya2 dengan alasan bahwa itu sdh mjd ttgjawab mereka)
    Saya jadi menyesal kenapa dulu saya masukkan anak 1 saya ini di rawalas (walo telat siy nyesalnya dah 4th pula). Menyesal karena masalah donasi yg kita sampaikan tdk sesuai dengan kondisi sekolah yg gitu2 aj. Iya dari tahun ke tahun selama anak saya msh sekolah di Rawalas .. yaa gitu2 aja .. gak ngerti knapa? Klo ditanya kenapa gitu2 aja.. jawabannya kan SD negri.. dimaklumi aj.. tp kalo ada yg nanya ttg donasi yg terlalu berlebihan yaa jawabannya sama seperti artikel di atas... katanya kurang dana BoS nya dan atau fasilitasnya yg lebih maju dari fasilitas SDN lainnya.

    Mangkanya saya merasa kasihan kalo ada OTM yg sangat kecewa ttg donasi ini tetapi ybs di kucili oleh2 otm2 yg "be have".. padahal kalo status nya SD negri kan stiap golongan bisa daftar jd jangan dikucili lahh.. jd ada gap yg gak baik antara OTM itu sendiri.

    Maksud saya disini.. andai Rawalas ini di awal memberikan informasi kepada para OTM bahwa di sekolah ini walau negri akan ada permintaan sumbangan untuk ini itu yg dirinci dengan detail seperti sekolah2 swasta .. akan lebih adil dan jelas.. jadi yaa gak abu2 gini. Jujur aja fasilitasnya ga sesuai dengan dana yg ditarik baik itu dari BOS maupun dari para OTM yaa...

    Saya pun karena sudah "terjebak" yg saya kira mmg SD Labskul jd dari TK SD s.d SMU mau nya 1 sekolah ini aja ternyata bukan.. jd yaa anak2 saya yg lain untuk sementara saya masukkan k sekolah dasar swasta lain. Karena gak mau "terjebak" spt anak pertama saya juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. mohon infonya untuk sekolah SD international dgn uang pangkal 15jt itu th brp ? kl blh tau apa nama sekolahnya, dimana ? untuk ukuran international terbilang murah, saya jd tertarik. sebelumnya slalu survey SD swasta biasa, pgn ke international tp takut biayanya fantastis. trimakasih sblmnya.

      Hapus
  17. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  18. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  19. mohon infonya update SDN Rawalas terbaru tahun 2019/2020

    BalasHapus
  20. Dulu jaman saya sd namanya sdnp komp ikip tapi ya nebeng nama sd labschool karena diapit tk smp sma labschool. Skr sy nyari sekolah model begini di daerah saya utk anak saya susah dapet yang bagus, pilihannya cuma sd katolik atau sd islam yang kurikulumnya lumayan daripada ga ada.

    BalasHapus