Sabtu, 02 Oktober 2010

BULLYING DALAM KARYA "KECIL-KECIL PUNYA KARYA"

“Kamu, tuh, tikusnya!” jawab Aurell.
“Kamu punya otak, enggak? Kalau punya, letaknya di mana?” ejek Farhan lagi.
“Punya! Di kaki! Puas kamu!” jawab Aurell kesal.
“Oh, pantesan beloon banget! Puas!” balas Farhan.


Penggalan dialog itu saya ambil dari buku seri Kecil-Kecil Punya Karya karya Maryam (12 tahun) berjudul SheKeFaRellOr. Anda sudah baca? Atau anak Anda sudah punya koleksi salah satu seri Kecil-Kecil Punya Karya terbitan DarMizan ini? Saya tidak tahu dengan Anda, tetapi saya pribadi kaget bukan kepalang ketika membaca buku ini. Kalimat-kalimat yang dibuat sang pengarang banyak negatif. Yang paling sering kata “O’ON” sebagai kependekan dari kata “BLOON” dan kata “KUTU KUPRET” yang mengganti panggilan untuk tokoh Diva.

Saya tidak habis pikir,-barangkali saya juga terlalu naif kali ya?- anak usia 12 tahun seperti Maryam sudah fasih mengelontorkan kalimat-kalimat negatif seperti itu. Padahal pengarang cilik ini berguru di sekolah yang relatif baik: Bina Islamic Boarding School, Bekasi, dimana pasti guru-guru mengajarkan hal-ha yang positif, sehingga murid-murid juga turut baik. Tentu kalimat-kalimat yang ada di buku SheKeFaRellOr berasal dari apa yang ia dengar dan rasakan.

Saya juga tidak habis pikir, mengapa DarMizan meloloskan salah satu seri Kecil-Kecil Punya Karya kisah yang kalimat-kaimatnya banyak negatif ini? Coba perhatikan lagi di halaman lain, yakni halaman 32.

“Oh, iya…kenapa aku jadi o’on begini ya?” gumam Kevin..
“Hi, Kev…! Memang sudah dari dulu kamu itu o’on!” celetuk Farhan..
“Yeee…! Kamu, tuh…dari lahir sudah jelek!” balas Kevin kesal.
“Huuu…! Kamu juga dari zaman purba sudah o’on kayak begitu,” sanggah Farhan.


Saya mengerti sekali, Maryam sekadar bermasksud ingin membuat cerita di situ sebagai upaya becanda antarteman, namun editor atau penerbit DarMizan harusnya mengerti, bahwa segmen pembaca Kecil-Kecil Punya Karya ini anak-anak. Bayangkan jika maksud hati menerbitkan buku yang edukatif, eh misinya tidak tercapai.




Menurut Diena Haryana dari Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa), kata-kata caci-maki atau mengejek seperti yang ada di karya Maryam itu termasuk salah satu tindakan bullying. Bullying merupakan istilah yang memang belum cukup dikenal luas oleh masyarakat di Indonesia. Meski begitu, perilaku bullying sebenarnya sudah ada dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan di dalam institusi pendidikan.

Bullying atau tindakan yang membuat seseorang merasa teraniaya atau direndahkan. Menurut Andrew Mellor dari Antibullying Network University of Edinburgh, bullying bisa terjadi dalam bentuk verbal, fisik maupun mental, sehingga orang tersebut takut bila perilaku tersebut akan terjadi lagi. Di institusi sekolah, ini dilakukan oleh mayoritas orang, baik yang dilakukan sesama siswa, alumni atau bahkan guru. Sayangnya, kasus-kasus ini jarang menguak ke permukaan. Sebab, guru, orang tua, bahkan siswa belum memiliki kesadaran, kapan terjadinya bullying. Kalaupun terjadi, jarang sekali yang mau membicarakannya.

Pada tahun 2007, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengeluarkan data yang cukup mengejutkan. Pada tahun itu dilaporkan terjadi 555 kasus kekerasan terhadap anak, 11,8 persennya dilakukan oleh guru. Tahun berikutnya, tahun 2008, bahkan lebih parah. Dari 86 kasus kekerasan yang dilaporkan, 39 persennya dilakukan oleh guru.

Itu baru pelaporan kasus, sementara menurut Nina, Yayasan Sejiwa mencatat korban akibat tindak kekerasan dalam rentang 2002-2005 adalah sebanyak 30 kasus, baik korban bunuh diri maupun percobaan bunuh diri di kalangan anak dan remaja berusia 6 sampai 15 tahun.

Masa Orientasi Siswa (MOS), pelantikan OSIS, penerimaan anggota ekskul, cheerleaders, atau latihan dasar kepemimpinan yang ada di sekolah, merupakan ajang bullying. Biasanya alumni yang melakukan. Bentuknya bisa berupa permintaan kakak kelas pada adik kelas dengan cara menekan perasaan atau bahkan menyiksa fisik. Bahkan terakhir yang heboh adalah masa orientasi di Paskibra tingkat DKI Jakarta yang masih belum selesai kasusnya. Dilaporkan oleh beberapa anggota Paskibra tahun 2010, senior mereka telah melakukan tindakan pelecehan atau tindakan yang mempermalukan.

Menurut Ketua Yayasan Sejiwa yang aktif memerangi bullying Diena Haryana, bullying menjadi momok menyeramkan karena dampaknya bukan hanya dapat dirasakan sekarang juga namun bisa muncul beberapa tahun kemudian.

“Contohnya, dari salah satu anak SMA yang kami dampingi, dia ketika dibentak gurunya langsung pingsan dan berkata-kata tidak jelas. Setelah diselidiki, ternyata sewaktu SD dia pernah di-bully dengan sangat keras oleh gurunya. Sampai sekarang, dia masih perlu pendampingan,” ujar Nana.

Tambah Nana, bullying di sekolah merupakan embrio kekerasan di masyarakat. Namun, demi ’nama baik’, tidak lebih dari 0,1 persen sekolah di Jakarta yang mengakui kalau di sekolah mereka terjadi bullying.

Mau tambah contoh lagi soal kehebatan bullying?

Fifi Kusrini (13) ditemukan tewas gantung diri di kamar mandi pada Juli 2005. Menurut ayahnya, gadis yang tinggal di Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat itu tak kuasa menahan malu, karena seringkali diejek teman-temannya sebagai anak tukang bubur.

Akhir hidup yang tragis juga dialami oleh Linda (15). Siswi salah satu SLTPN di Jakarta kelas II ini ditemukan tewas gantung diri di kamar tidurnya. Menurut orangtua Linda, ia tewas gara-gara tertekan oleh ejekan teman-temannya di sekolah, karena tidak pernah naik kelas.

Meski tidak sampai tewas, hal yang sama sempat dialami oleh Riska (14). Gara-gara mengalami depresi, karena sering diejek ”gendut” oleh teman-temannya di sekolah, ia nekad hendak bunuh diri. Untung saja orangtuanya, pasangan Bramono dan Tari, segera mengetahui putrinya itu yang sudah siap meloncat dari jendela kamar lantai 11 apartemen.

”Ada sekitar 30 kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri di kalangan anak dan remaja berusia 6 sampai 15 tahun yang dilaporkan media massa tahun 2002-2005,” ujar Nana.

Back to seri Kecil-Kecil Punya Karya berjudul SheKeFaRellOr karya Maryam (12 tahun) di atas tadi. Sebenarnya kalo saja penerbit atau editor DarMizan bisa lebih selektif, barangkali karya Maryam tersebut tidak akan lolos. Ya, at least kalimat-kalimat yang bernama bullying tersebut dieditlah. Toh, judul-judul lain di seri Kecil-Kecil Punya Karya banyak yang bagus, kok. Artinya dari segi cerita dan kalimat-kalimat di buku-buku lain tidak ada yang menggajarkan bullying pada pembaca. Misalnya The Eccentric School karya Riza (11 tahun), Pink Cupcake karya Ramya (12 tahun), dan beberapa karya lain yang kebetulan dimiliki anak saya.

Sukses terus untuk DarMizan dengan seri Kecil-Kecil Punya Karya! Untuk Maryam, kalo kebetulan membaca blog ini, terus berkarya ya sayang. Tapi saran Om, next time kalo bikin novel lagi, dialog-dialog dalam cerita kamu itu jangan kasar-kasar ya sayang. Om yakin, kamu pasti bisa! Sukses selalu!

+Paskibra Proklamasi 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar