Selasa, 17 November 2009

OPERASI GIGI - episode # 2

Kalau saja tisu itu bisa bicara, mungkin ia akan berteriak kencang. Betapa tidak, tanganku meremasnya begitu kencang. Yang juga tak kalah seru, kakiku menendang-nendang pijakan sebuah kursi. Beruntunglah kursinya tak bisa bergerak. Kalau bisa, seluruh peralatan operasi berantakan karena tertimpa kursi.

Air mata menetes dari sela-sela mataku. Entah mengapa kali ini aku begitu cengeng. Padahal sebelumnya aku begitu meremehkan yang namanya operasi. Batinku waktu itu, operasi gak ada apa-apanya. Kenapa harus ditakutkan, apalagi operasi yang kujalankan ini cuma operasi gigi.


Nyatanya, operasi tetap saja operasi. Sakitnya minta ampun. Aku gak sangka, kenapa operasi yang dilakukan sore menjelang malam itu sampai sesakit ini? Benar-benar sakit.

“Masih sakit?” tanya drg Basuni AD.

Buat dokter, suntikan dua kali yang beberapa menit sebelumnya dianggap mampu membius rasa sakitku. Nyatanya nggak tuh! Aku melihat sendiri, dokter itu menancapkan jarum suntik berisi serum antisakit ke dua titik dekat gigi yang akan dicabut. Satu di gusi samping kanan, satunya lagi di samping kiri.

Sepuluh menit serum antisakit itu diharapkan bekerja. Saat-saat menunggu sepuluh menit, mata kananku melirik ke arah sebuah tatakan yang satu paket dengan bangku yang sedang aku tiduri ini. Di tatakan tersebut ada beberapa alat yang akan membantu operasi gigiku ini. Selain dongkrak, ada cermin kecil, dan yang menakutkan ada tang. Yap! Sebuah tang yang aku tahu selama ini cuma digunakan saat orang membangun rumah atau nge-bengkel.

Sepuluh menit berlalu. Bunyi bor itu membuat kupingku ngilu. Anda pasti bisa merasakan sepertiku, sama halnya saat seorang Pengebor tembok yang membunyikan alat itu untuk mengebor dinding tebal. Kali ini memang bukan dinding yang akan dibor, tapi gigiku. Memang kecil bornya, tapi nyerinya sampai ke kupingku.

“Aduh! Aduh!” Aku minta perhatian drg agar menghentikan aktivitas mengebor gigiku.

“Masih sakit?” tanya drg berkacamata tebal itu, yang dalam melakukan aktivitas sehari-harinya ditemani oleh seorang pria berusia 60-an tahun.

Aku sebenarnya ingin menjawab: Ya, iyalah sakit dok, masa ya iya dong!”



“Kumur...”
“Kumur lagi...”

“Lagi kumur...”

Lagi-lagi kumur. Itu memang aktivitas yang sudah lazim tiap operasi gigi. Begitu sang dokter kelar ngebor, ada serpihan gigi yang bertebaran di seputar gigi. Dengan begitu, kumur menjadi “makanan” lazim. Apalagi kalo gusi sampai mengeluarkan darah. Tak heran kalo berpuluh-puluh tisu sudah aku habiskan buat membasuh mulutku sehabis kumur.

Namun kumur tak menolong rasa sakitku, keperihanku atas operasi ini. Drg Basuni pasti bingung tujuh keliling dengan ketidakmampuanku menahan keadaan tersebut. Tapi apakah cuma aku yang tak bisa menahan sakit? Apa baru kali ini drg ini mendapatkan pasien yang terlalu manja, tak dapat menahan sedikit saja rasa perih?

Semanja itukan aku? Yang aku tahu, aku adalah tipe orang cuek yang tough. Bisa menahan rasa sakit, mulai dari sakit hati sampai sakit kepala. Untuk kali ini, sakit gigi, kenapa aku dianggap mudah menyerah? Aku tipe survivor. Pantang menyerah. Sekelumit perjalanan hidupku menyerah pada saat aku diputuskan cinta oleh seorang wanita yang aku sayangi tapi dia ternyata lebih sayang pada pria lain.

Ada lagi yang cerita hidupku yang aku anggap menyerah dan tak akan pernah mau lagi melakukan, yakni naik Kora-Kora dan Halilintar. Cukup satu kali seumur hidup aku merasakannya. Buatku dua permainan di Dufan itu bikin wajahku seputih mayat. Pucat! Meski ditawari uang ratusan juta, aku pasti akan menolak naik dua permainan itu. Bodoh? Barangkali begitu. Tolol? Ya, mungkin saja. Terserah apa kata orang. Aku malah berkata sebaliknya. Ngapain ngantri bermeter-meter untuk sebuah permainan yang bikin jantung gak jelas maunya apa...

Kalau tidak salah, sudah hampir enam sampai tujuh suntikan yang sempat ditusukan ke gusi samping dekat gigiku yang mau dicabut itu. Bahkan yang aku rasakan, ada satu suntikan yang khusus disuntikan di tengkorak gigi, supaya aku tak memohon drg itu menghentikan operasinya karena tak bisa menahan rasa sakit.

Kesulitan yang dialami dokter satu ini bikin keringatku semakin menetes banyak. Kalau diliterkan seperti lazimnya penjual air keliling yang menggunakan gerobak, mungkin keringatku mencapai dua ember. Tapi ember kecil, lho. Untunglah dokter tak menyerah. Meski jam sudah meninggalkan angka enam yang sebelumnya masih bercokol di angka lima, dokter dan asisten masih sibuk mengobok-obok gigiku.

“Akhirnya selesai juga!”

Bukan main girang sang dokter, sama halnya dengan aku. Operasi selesai juga. Sambil menunjukan pecahan gigi terakhirku sebesar biji jagung. Gigi yang ternyata berada sedikir di dalam gusi, sehingga sulit untuk dijangkau oleh tang dan dongkrak sekalipun.

“Kalau gigi ini gak diambil, Bapak pasti akan selalu kesakitan,” jelas drg Basuni.

Syukurkan kalau begitu. Aku tak perlu repot-repot bolak balik ke dokter gigi kalau penyebab kesakitan itu sudah dicabut. Sungguh bukan maksudku untuk melepaskan kepergianmu oh gigi. Itu karena kamu nakal dan mungkin juga karena kesalahanku. I wish I could save you soul.

Mungkin beberapa tahun lalu, pada saat terakhir aku ke dokter gigi, nasihat dokter ada benarnya. Buat orang seusiaku, hal yang paling bijak adalah memeriksa gigi selama enam bulan sekali. Mau gigi itu tak ada masalah, apalagi ada masalah, check gigi setiap enam bulan wajab hukumnya. Untuk usia di atas 40 tahun, bahkan dianjurkan memeriksa gigi tiga bulan sekali.

Jangan anggap remeh gigi. Gigi memang cuma gigi. Sebuah kumpulan tulang kalsium yang kuat dilapisi email. Tapi di bawah gigi, ada sekumpulan syaraf-syaraf yang bisa membuat otak kita, kuping kita, atau anggota tubuh kita menjadi tak punya arti lagi. Seperti kesakitanku. Yang sakit memang gigi, tapi sakitnya sampai ke gedang telingga. Makanya kalau anda sakit gigi, jangan coba-coba naik pesawat, karena dijamin Anda akan kesakitan dan nangis sepanjang perjalanan. (*)

1 komentar:

  1. Mungkin ini bisa menjadi masukan buat anda.
    Perlu anda ketahui, bahwa banyak hal yang mempengaruhi keberhasilan dari tindakan pembiusan lokal, antara lain :

    1.    Variasi anatomi tulang rahang.
    Pada beberapa pasien, ada yang memiliki anatomi (struktur) tulang rahang yang tidak biasanya. Sehingga hal ini menyulitkan pencarian saraf-saraf yang akan dibius.

    2.    Jenis obat bius lokal yang digunakan.
    Ada obat bius lokal yang memiliki zat pemercepat durasi bius lokal, ada juga yang tidak.

    3.    Kadar keasaman jaringan.
    Semakin asam jaringan, semakin menghambat blokade saraf.

    4.    Efek obat bius lokal pada aliran darah, nosiseptor (reseptor nyeri), dan sensitisasi pusat pada gigi dengan kondisi yang sedang meradang.
    Pada gigi yang sedang sakit, efek obat bius lokal biasanya menjadi kurang efektif.

    5.    Faktor psikologis pasien.
    Pasien yang merasa cemas atau takut saat pembiusan lokal, dapat mempengaruhi ambang rangsang sakitnya. Sehingga pasien cepat merasa sakit.

    Jika seluruh faktor di atas dapat diatasi dengan baik oleh dokter gigi, maka hal selanjutnya yang dapat mempengaruhi lama kerja obat bius lokal adalah:

    1.    Ikatan obat bius lokal dengan protein plasma
    2.    Kecepatan absorpsi (penyerapan) obat bius lokal
    3.    Banyaknya pembuluh darah perifer di daerah pemberian

    BalasHapus