Kamis, 12 November 2009

EXISTING PARENT, BUKAN EXISTING MONEY

Bagaimana rasanya begitu Anda pulang kerja pukul sebelas malam, tiba-tiba di meja makan Anda melihat sebuah pancake? Mungkin buat Anda biasa saja. Nothing special. Namun kalo di atas pancake itu terdapat sebuah surat dari anak Anda yang terdapat secarik kertas surat. Di kertas surat tersebut terdapat tulisan yang isinya seperti ini:

”Hai Papa & Mama. Ini Kakak dan Adik buatkan pancake untuk Papa dan Mama. Maaf kalo pancake-nya jelek. I love you. Always love you”.

Buat kami, surat bisa bikin hati kami klepek-klepek alias itu so sweet, isn’t it? Yap! Ternyata kami kerja siang malam nggak sia-sia. Mereka mengerti, untuk apa kami bekerja, dan untuk apa kami menghubungi mereka setiap waktu, meski di tengah-tengah sebuah pekerjaan. Itu semua buat mereka, buat anak-anak kami. Dan Alhamdulillah, mereka sangat menghargai kami. Mereka mengerti kami.

Pancake dan secarik surat itu juga menjadi motivasi. Nggak ada satu pun orangtua yang nggak ingin dicintai anak-anak mereka? Kecintaan mereka terhadap kami ini, yang membuat kami tetap semangat dan optimis. Meski begitu, kami juga tetap merasa di-warning. Mereka boleh jadi mengerti untuk apa kami bekerja keras. Namun, mereka pasti nggak akan pernah mengerti, mengapa bekerja harus sampai larut malam. Bukankah pergi kerjanya sudah dari pagi? Lantas sampai kapan berangkat pagi pulang malam akan berakhir?

Di zaman sekarang, butuh tantangan tersendiri untuk berangkat pagi, tapi pulangnya sore hari. Kecuali Pegawai Negeri atau Pegawai Swasta yang bukan seperti kami, barangkali masih bisa kerja sebelum magrib atau istilahnya 9 to 5 (baca: nine to five). Bayangkan, terkadang saya harus shooting, dimana jadwal shooting-nya dari pagi sampai malam, bahkan kebanyakan mulai shooting malam hari. Istri pun begitu, sibuk dengan laporan-laporan yang harus dibuat. Meski sesungguhnya pasti ada cara dan bisa dilakukan. Namun pertanyaan selanjutnya yang kita harus jawab adalah, berapa jam dalam sehari Anda berkomunikasi dengan anak? Atau setidak-tidaknya berjumpa dengan anak Anda di hari kerja? Lima jam? Dua jam? Atau mungkin lebih parah lagi: limabelas menit?

Beberapa waktu lalu istri saya sempat bercerita, mengenai seorang rekan kerjanya yang memiliki orangtua “aneh”. Sebut saja Tika. Orangtuanya sibuk berat. Kabarnya mereka adalah pengusaha yang seringkali pergi ke luar kota maupun ke luar negeri. Nggak heran, sejak kecil Tika selalu ditinggal orangtuanya. Saking sibuknya, kalo ingin menjumpai orangtuanya, Tika harus bikin appointment. Kalo kebetulan orangtuanya nggak ada appointment dengan yang orang lain, atau kebetulan tidak sedang pergi ke luar negeri, Tika berhasil bertemu dengan orangtuanya. Kalo nggak? Tika akan hidup dengan kesendiriannya.

Buat saya, kisah Tika cukup “aneh”. Masa untuk menjuampai orangtua sendiri kudu bikin appointment? Memangnya dokter praktek? Namun kisah itu nyata, real, bukan rekayasa. Orangtua yang hidup di kota besar dengan seorang anak seperti Tika, ternyata sudah menjadi santapan sehari-hari.

Mungkin Anda yang memiliki anak yang masih kecil-kecil, belum merasakan betapa “sepi”-nya jiwa anak Anda. Sebab, Anda belum pernah menanyakan pada mereka face to face, heart to heart. Cobalah tanya mereka. Pasti mereka akan berkata dengan jujur. Bahwa mereka begitu menunggu Anda pulang ke rumah, mengharap kesibukan Anda segera berakhir, merasakan sentuhan Anda, berkolaborasi dengan Anda yang mahir main gitar dan anak Anda main piano, atau mengaji bersama setelah selesai sholat.

Coba tanyakan apa yang anak-anak Anda inginkan? Dalam hati yang terdalam, anak-anak Anda pasti ingin Anda menjadi inspiring parent atau orangtua yang menginspirasikan hidup mereka. Bukan matrealistis parent, atau shopping parent, atau lebih parah lagi menjadi gosip parent maupun sinetron parent yang selalu mengajak anak mereka berkumpul dengan televisi dan menonton program-program yang nggak penting, seperti sinetron atau infotainment.

Inspiring parent adalah orangtua yang tumbuh bersama. Dimana anak-anak diajarkan bagaimana mengisi PR matematika, membuat kue di dapur, mengerjakan tugas sejarah maupun bahasa Indonesia, maupun mengajiari bagaimana membuat layang-layang atau enggrang.

Inspiring parent bukanlah hour parent, bukan appointment parent, bukan pula parent yang mengejar karir dimana selalu “membual” dengan alasan demi masa depan anak-anak, padahal ujung-ujungnya untuk ambisi pribadi.

Inspriring parent tidak harus menjadi ibu rumah tangga. Sebab, menjadi ibu rumah tangga nggak menjamin komunikasi dengan anak bisa efektif. Ingat, lho! Komunikasi yang efektif bukan cuma kuantitas, tapi kualitas. Tentang kuantitas, saya banyak menjumpai ibu rumah tangga yang tetap nggak sempat punya waktu mengantar anak sekolah, yang selalu menjadi ratu gosip ketika menunggu anak sekolah, yang selalu mementingkan arisan dengan sesama ibu rumah tangga lain, ketimbang mengerjakan PR bersama anak-anak mereka.

Inspiring parent bukan cuma mencari uang untuk memasukkan anak Anda ke sekolah terbaik dan termahal. Bukan pula memberikan sebuah mobil sedan kepada anak Anda yang digunakan untuk pergi sekolah atau mengajak anak jalan-jalan ke luar negeri. Semua itu seringkali nggak bisa membelanjakan jiwa anak Anda, yang tetap merasakan kesepian. Yang mereka butuhkan adalah kehadiran orangtua. Existing parent. Sayangnya yang sering terjadi only existing money.

Terus terang saya ngeri sekali membayangkan anak-anak kami merasa kesepian. Gara-gara jiwa mereka sepi, mereka mencari pelampiasan yang kami dan barangkali Anda sebagai orangtua sangat takutkan. Narkoba, misalnya. Atau teman pria atau wanita yang kemudian mengantarkan anak Anda ke seks bebas.

Terus terang saya nggak bisa membayangkan, tiba-tiba blue tooth handphone saya menyala. Ada kiriman video mesra dari seorang teman. Mungkin kalo video mesranya itu orang lain kayak Miyabi. Tapi kalo yang muncul adalah wajah anak Anda? Naudzubillah min dzaliq! Jangan sampai terjadi, deh! Jangan sampai terjadi pula anak kami kesepian dan lebih mempercayai pacarnya ketimbang orangtuanya, sebagaimana kejadian Rico Ceper beberapa waktu lalu.

Di saat saya menggoes sepeda menuju rumah, tiba-tiba handhone saya bergetar. Kalo cuma sekali-dua kali barangkali nggak saya ladeni. Yang terjadi justru getarannya berkali-kali, yang membuat saya merasa terganggu dan terpaksa harus menggentikan laju kendaraan seli saya.

Rupanya telepon dari rumah.

“Assalamu’alaikum!”

“Kumsalam! Papa lagi dimana?”

Rupanya Khaira yang menelepon. Putri kedua kami. Tumben-tumbenan ia menghubungi saya, biasanya justru saya yang sering menghubunginya. Selama ini, ia memang terkenal “pelit” nelpon. Bukan musuhan dengan saya, tapi Khaira memang malas berbasa-basi di telepon. Ia lebih suka ngobrol di rumah. Barangkali kalo via telepon takut pulsa teleponnya mahal kali ya? Hebat juga kalo pemikirannya sampai sejauh itu.

“Kenapa, Nak?”

“Papa pulangnya cepat ya. Adik mau pup sama Papa...”

Oalah! Kok mau pup harus nunggu saya pulang ke rumah? Memangnya nggak ada Asisten kami yang bisa menemaninya pup? Ah, saya jadi ingat, sehari sebelumnya, saya berhasil membuat nyaman Khaira. Maklum, Khaira itu sudah sekali pup. Biasanya kalo mau pup, ia seperti orang autis, menyendiri. Tapi berkat kesabaran kami, perlahan-lahan Khaira mau pup, apalagi kalo saya melakukan aksi berpantomin di depan dia terlebih dahulu, sehingga membuatnya tersenyum atau tertawa. Wah, jangan-jangan anak saya ini bukan ingin pup, tapi pengen melihat saya berpantomin ria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar