Kamis, 12 November 2009

HADIAHNYA APA MA?

“Kalo narinya bagus, Mama kasih hadiah.”

Ucapan istri saya itu rupanya memberkas di kepala putri saya yang kedua. Boleh jadi, sejak kalimat itu diucapkan, putri saya jadi sering menggerak-gerakkan anggota badan. Kepalanya digoyang ke kiri ke kanan dan diangguk-anggukkan. Entah itu di dalam mobil saat kami mengantarkannya sekolah, maupun pada saat kami rileks di rumah, putri saya terus menerus memperlihatkan gerakan-gerakan yang nggak lain adalah sebuah bentuk tarian. Belakang saya baru sadar, apa yang dilakukannya adalah sebuah upaya buat melatih gerakan tarian yang akan dibawakannya di pentas seni.

Yap! Anak kami akan manggung di sebuah pentas seni. Sebenarnya ini pentas kedua baginya. Namun agaknya pentas seni kali ini lebih berkesan buatnya. Kalo hasil investigasi saya, tarian yang akan dibawakannya di pentas seni itulah salah satu penyebabnya, yang membuatnya exited. Selebihnya, ya hadiah yang udah dijanjikan istri saya itu, yang memotivasi dirinya agar bisa tampil sebagus mungkin di pentas seni.

“Hadiahnya apa, Ma?” tanya anak kami.

“Pokoknya, adik nari dulu yang bagus, nanti Mama pasti akan kasih hadiah.”



Sejak mendapatkan sepucuk undangan dari sekolah tentang pentas seni itu, putri kami selalu menghitung hari. Kalo saya anologikan, kayak lagunya Krisdayanti berjudul Menghitung Hari. Inget kan? Meski waktunya masih dua minggu lagi, putri kami selalu bertanya. Sebuah pertanyaan berulang-ulang yang seolah-olah seperti mengabsen.

“Pentas seninya masih lama ya, Ma?”

Istri saya tersenyum.

Putri kami memang kayak nggak sabaran. Dia ingin segera mungkin unjuk kebolehan di atas panggung di depan para orangtua murid. Melenggak-lenggok sebagaimana dia lakukan setiap hari. Setelah itu, dapat hadiah deh! Sebenarnya yang terakhir itulah yang kemudian menjadi tujuan utamanya yang baru.

“Pentas seninya berapa lama lagi sih, Ma?”

“Besok ya, Nak.”

“Hore!!! Besok adik nari!”

“Iya, besok narinya yang bagus ya, Dik?”

“Kalo adik narinya bagus dapat hadiah kan Ma?”

“Iya...iya...”

“Hadiahnya apa Ma?”

Namanya anak kecil, selalu saja nggak sabaran. Selalu saja ingin sesuatu yang dia inginkan terkabulkan secara instan. Terkadang menyebalkan kalo lagi kena setan antisabar, kita jadi terpancing emosi dan marah-marah. Padahal nggak perlu sampai kayak gitu. Ngapain juga harus marah-marah? Namanya juga anak, ya nggak?

Sebenarnya, sikap konsistensi yang dimiliki anak seringkali kita butuhkan buat meraih kesuksesan. Tanpa konsistensi, nggak mungkin kita bisa sabar terus menerus bekerja keras meraih sesuatu. Sikap konsisten barangkali kita spesifikan lagi dengan sikap persistensi atau bahasa harafiahnya tanpa kenal menyerah. Begitu tahu ada reward atau sesuatu yang luar biasa, kita dengan tekad yang teguh mengejar sesuatu itu. Tanpa kenal lelah, antimengeluh, sabar, dan tentu saja berdoa pada sang Pencipta, sesuatu pasti bisa didapatkan.



Konsisten dan persisten juga terjadi pada anak kami. Guna mengejar sesuatu, dia selalu meminta-minta tanpa peduli apakah kami akhirnya akan memberi atau tidak. Buatnya, yang penting berjuang dulu dengan cara meminta, meski kadang pakai merengek-rengek yang nggak penting segala. Khusus pentas seni, dia nggak sampai merengek-rengek sih. Dia cuma konsisten tentang hadiah yang akan diterimanya. Dia juga persisten, apa yang dijanjikan istri saya harus benar-benar terjadi. Nggak heran bentuk konsistensi dan persistensi putri kami, sering mengingatkan soal hadiah.

“Hadiahnya apa sih Ma? Kalo adik narinya bagus dapat hadiah kan Ma?”

Pentas seni pun tiba. Dalam pementasan itu, putri kami menari di urutan tengah. Kasihan juga sih dia harus menunggu lama, sementara oleh Gurunya diminta hadir pagi-pagi. Saya melihat, wajahnya nampak lelah. Bukan lelah fisik, tapi lebih karena bosan menunggu. Dia duduk di sebuah bangku kecil bersama teman-temannya dengan pakaian tari. Sinar matahari yang menyengat dan mengenai sedikit bagian tubuh putri kami, membuat wajahnya makin nggak jelas.

“Adik kepanasan?”

Putri kami mengangguk.

“Mau minum?”

Putri kami mengangguk lagi.

Kasihan juga melihat putri kami duduk kepanasan di bangku kecil, sambil menunggu giliran menari. Kami jadi berpikir ulang, putri kami nggak perlu menari dengan bagus buat mendapatkan hadiah. Yang penting dia masih berminat tampil di atas panggung, itu udah luar biasa. Kasihan juga kalo masih diwajibkan menari bagus, sementara wajahnya udah menampakan keletihan plus kepanasan. Kumis-kumisnya yang dibuat dengan lipstik udah sedikit memudar, gara-gara tersapu oleh keringat di wajahnya.

“Kini kita panggilkan Tarian Kelinci yang ditarikan oleh murid-murid dari TK A!”

Begitu MC mengumumkan seperti itu, putri kami naik ke atas panggung. Rupanya anak kami menari Tarian Kelinci. Pantas aja kostumnya kelinci. Pantas aja, putri kami didandani mirip kelinci, ada garis-garis yang menyerupai kumis yang digambar di pipi kanan dan kiri putri kami. Kami nggak nyangka, putri kami menari dengan semangat yang gila-gilaan. Berlompat ke atas dan ke bawah. Bergoyang-goyangkan badan ke kiri dan kanan. Seru!



Kami rupanya terlalu pesimis ketika melihat putri kami nampak keletihan karena mununggu giliran menari dan kepanasan. Sikap pesimis ini agaknya perlu dihilangkan dalam kamus diri kita. Menurut pandangan kita, putri kami kayaknya nggak akan mampu menari dengan baik, eh ternyata justru sebaliknya: lebih semangat dari yang kami duga. Rupanya sesuatu yang diimpi-impikan menjadi sebuah motivasi yang kuat agar bisa berhasil.

“Adik dapat hadiah dong, Ma?”

“Iya sayang. Adik narinya bagus sekali!”

“Hadiahnya apa Ma?”

Istri saya mengeluarkan sebuah DVD dari dalam sebuah tas kertas. Begitu tahu judul DVD itu, putri saya langsung jingkrak-jingkrak kayak cacing kepanasan. Kami nggak nyangka kalo DVD yang kami berikan sebagai hadiah, membuat heboh. Dia sampai mengajak Pembantu kami buat nonton sama-sama. Sebuah DVD Laskar Pelangi yang udah diidam-idamkannya sejak lama. Rupanya film garapan Riri Riza yang kami tonton di Blitz itu begitu berkesan baginya.

“Mbak kita nonton yuk!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar