Kamis, 12 November 2009

ADEGANNYA MARAH-MARAH TERUS

Keberhasilan film Petualangan Sherina sembilan tahun lalu belum bisa tertandingi oleh film-film bertema anak sesudahnya. Baik Garuda di Dadaku maupun King, kedua film produksi tahun 2009 ini belum menunjukkan keberhasilan dalam jumlah penonton. Film-film itu pun belum mampu menyaingi keberhasilan Laskar Pelangi (2008) yang menurut catatan perfilman nasional mampu menembus angka lebih dari 4 juta penonton dan sempat diputar lebih dari sebulan di bioskop.

Baiklah kalo belum saatnya men-judge kedua film tersebut kurang berhasil secara komersil. Namun dari segi cerita, baik film Garuda di Dadaku dan King ternyata juga cuma mampu menyisakan sedikit kesan. Setidaknya hal tersebut diungkapkan secara jujur oleh kedua anak kami. Kata mereka, kedua film itu terlalu banyak menampilkan adegan “kemarahan”. Kalo film Garuda di Dadaku yang marah-marah adalah Pak Usman (diperankan oleh Ikranegara), yakni Kakeknya Bayu (diperankan Emir Mahira). Gara-gara Pak Usman nggak suka Bayu yang merupakan cucu satu-satunya, bercita-cita jadi Pemain bola. Sedang di film King, yang marah-marah adalah Bapak-nya Guntur (diperankan oleh Mamiek Prakoso), karena Guntur (diperankan oleh Rangga Raditya) kalah terus setiap kali bertanding badminton.

Rupanya tokoh yang kerap marah-marah, paling nggak disukai oleh kedua anak kami. Kebetulan kami memang nggak pernah memperlihatkan diri marah-marah di depan mereka. Maksudnya marah-marah dengan mengeluarkan intonasi tinggi, mata melotot, dan di jidat kami ada kerutan-kerutan. Tradisi kami nggak mengajarkan itu. Apakah kami nggak pernah marah-marah? Oh, tidak! Kami pernah marah. Tapi marah kami bukan marah konvensional yang dilakukan oleh orangtua kami atau kayak Pak Usman dan Bapaknya Guntur. Nah, kesan marah-marah konvensional yang ada di adegan film Garuda di Dadaku dan King itulah yang paling mereka nggak suka.

Wajarlah kalo mereka mengganggap Petualangan Sherina dan Laskar Pelangi masih lebih baik. Soalnya kedua film itu nggak menampakkan salah satu anggota keluarga yang marah-marah. Lha kan kisahnya beda? Memang sih beda. Memang pula si Penulis memasukkan adegan kemarahan sebagai bentuk ketegangan. Tentu nggak akan tegang kalo nggak ada konflik, which is kebencian sang Kakek yang nggak suka sepakbola itu, ya nggak? Nggak akan menarik kalo si Bapak nggak marah-marah ketika Bayu selalu kalah bertanding badminton. Tapi apakah kemarahan satu-satunya cara agar cerita dalam film menegangkan? Saya rasa nggak juga deh!

Tokoh yang memaksakan kehendak juga nggak menarik buat anak kami. Tokoh Heri (diperankan oleh Aldo Tansani) yang merupakan sahabat Bayu boleh jadi Tokoh yang luar biasa. Mengapa? Meski cacat, dia memiliki kepercayaan diri tinggi. Teman-temannya banyak. Mungkin hal itu gara-gara dia anak orang kaya yang dermawan. Yang paling hebat, dia bisa menjadi orang yang paling ngotot menjadikan Bayu sebagai Pemain bola sukses. Dengan segala upaya, si Heri ingin mewujudkan mimpi Bayu. Sampai-sampai mencarikan uang pendaftaran senilai jutaan rupiah itu agar Bayu bisa masuk klab Arsenal. What a perfect friend!

Di King, tokoh Raden (diperankan oleh Lucky Martin) nggak beda dengan Tokoh Heri di Garuda di Dadaku. Sebagai seorang sahabat, Raden selalu memaksakan Guntur agar bisa menjadi Pemain bulutangkis hebat. Kalo Tokoh Heri bisa menggunakan upaya kelebihan materinya, sebaliknya dengan keterbatasan materi, Raden menggunakan kemampuan mencurinya. Dia lihai mencuri balon-balon gas yang dijual Pedagang, dimana benang dari balon gas itu dimanfaatkan buat mengganti senar raket badmiton yang putus. Raden juga lihat mengambil senar gitar milik salah seorang penduduk kampung. Last but not least, Raden juga sempat mencuri gebukan kasur milik Nenek-nya. Sekali lagi semua itu dilakukan demi Bayu. Another perfect friend!

Terus terang, niat pemunculan kedua tokoh itu di dua film itu baik, yakni mengajarkan persahabatan. Namun terus terang kami jadi ragu-ragu memutuskan Tokoh itu sebagai Tokoh baik. Kenapa? Melakukan kebohongan atau tindak kriminal bukan contoh yang baik. Untunglah, anak-anak kami cukup pintar. Mereka memang nggak suka dengan kedua Tokoh tersebut. Kalo pun suka, mereka cuma suka pada saat adegan-adegan lucunya saja. Adegan Guntur betemu dengan Liem Swie King asli, misalnya. Raden sempat pingsan dan tubuhnya yang lemah bergelantung di tubuh Bapaknya Guntur. Ketika bertepuk tangan, tubuh Raden “pasrah” begerak kesana-kemari.

Sebenarnya lokasi film King luar biasa. Punya potensi buat dieksplorasi. Ari Sihasale sebagai Director sempat beberapa kali memunculkan panorama yang luar biasa dari ketiga tempat di Bondowoso, Banyuwangi, Situbondo, dan Kudus. Namun kayak-kayaknya Ari bingung memilih: mengekpoitasi keindahan alam atau cerita. Nggak heran kalo view cuma ditampilkan sepenggal-sepenggal. Adegan-adegan pun terlihat penuh sesak. Jadi terlihat banyak pesan yang ingin disampaikan sehingga adegan demi adegan terlalu cepat berlalu.

Pesan soal ketidakmampuan Bapaknya Guntur membelikan raket belum selesai, muncul pesan berikutnya, yakni pesan soal biaya pendaftaran klab bulutangkis. Padahal pemberian teman wanita Guntur memberikan raket saat pertandingan antarsekolah bisa menjadi sebuah romantisme tersendiri. Atau pengumuman Guntur yang berhasil mewakili kampungnya buat ikut audisi di klab Djarum Kudus, yang seharusnya bisa lebih menarik. Sekali lagi, film King memang terlalu banyak pesan yang hendak disampaikan, sehingga anak-anak kurang merasa terhibur. Tentu niat mulia Producer atau Director adalah, film King disukai oleh semua anak-anak. Bukankan target audience King buat anak-anak?

Anyway, tentu ada hal yang paling diingat dari kedua film itu, terutama film Garuda di Dadaku. Apakah itu? Nggak lain nggak bukan adalah lagu soundtrack-nya yang berjudul sama, dimana iramanya dicuplik dari lagu Apuse Kokondao. Lagu itu selalu dinyanyikan anak-anak saya, sebagaimana mereka menyanyikan lagu Laskar Pelangi karya Nidji. Kalo film King adalah minat anak-anak buat jadi Pemain bulutangkis sekaliber Taufik Hidayat. Menurut Kompas (11/07/09), selain kejuaraan Indonesia Terbuka Super Series, peluncuran buku Liem Swie King, dan film King memotivasi anak-anak ikut audisi beasiswa bulutangkis yang dilakukan oleh Persatuan Bulutangkis (PB) Kudus.

Audisi diikuti oleh anak-anak berusia 12-15 tahun. Mereka kudu melewati tiga tahap. Kalo bisa lewat tahap ketiga, Peserta audisi bakal masuk karantina. Kalo udah masuk karantina, itu artinya mereka diterima sebagai anggota PB Djarum dan mendapat fasilitas penginapan, makanan, lapangan, dan perlengkapan latihan. Selain itu, mereka juga dibebaskan dari biaya pendaftaran dan akomodasi kalo mengikuti turnamen. Bagi mereka yang berstatus Pelajar, ada tiga sekolah yang menjalin kerjasama dengan klab PB Djarum ini. Mereka cukup bayar iuran sekolah. Hayo siapa orangtua yang nggak ngiler? Termasuk Bapaknya si Guntur yang Tukang marah-marah itu.

Kompas mencatat, kalo tahun 2008 lalu, audisi serupa diikuti oleh 445 peserta. Di tahun 2009 ini, peserta audisi meningkat menjadi 700 orang. Mereka nggak cuma datang dari Pulau Jawa. Tapi ada juga yang berasal dari Solok, Medan, Samarinda, maupun kampung Wakil Presiden RI periode 2004-2009, H. Jusuf Kalla, yang kemarin dengan legowo mengatakan kemenangan pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono-Boedino dalam Pilpres 2009 ini.

Berikut interview saya dengan kedua anak kami. Saya coba memancing pendapat serta kesan mereka setelah menyaksikan film Garuda di Dadaku dan King selama liburan kemarin. Kebetulan kedua anak kami ini juga sempat menyaksikan film Petualangan Sharina dan Laskar Pelangi. Semua kami tonton di bioskop, bukan via DVD bajakan. Soalnya kami menghargai film nasional. Good or bad dalam hal kualitas cerita atau produksi kedua film itu, toh mereka yang membuat film adalah saudara-saudara kita juga, ya nggak?

Dalam interview ini, saya adalah Brillianto (B), sedang anak saya Anjani (A) dan Khaira (K). Oh iya, A berusia 10 tahun, sementara K usianya baru 4 tahun. Kebetulan keduanya paling gila nonton film, baik nonton di bioskop, DVD, maupun via televisi kabel. Let’s see what they said about those movies.

B : Menurut kalian film Garuda di Dadaku dan King itu tentang apa?

A : Tentang anak yang bermimpi ingin menjadi pemain bola, tapi Kakeknya nggak suka. Soalnya sepakbola di Indonesia nggak bermutu. Kalo film King bercerita tentang anak bernama Guntur yang Bapaknya ingin dia menjadi Pemain bulutangkis. Soalnya Bapaknya nggak bisa jadi pemain bulutangkis. Tapi Guntur selalu dimarahin kalo kalah dan mendapatkan hukuman lari dan sit-up lebih dari seratus kali.
K : Bola. Bulutangkis.

B : Suka nggak?

A : Nggak suka, karena Kakek-nya marah-marah terus. Masa sih mau jadi Pemain bola aja nggak boleh? Memangnya kenapa? Lagi pula, itu kan mimpinya kita, bukan mimpi Oranglain. Kita kan harus mengapai mimpi kita sendiri.

Aku juga nggak suka temannya Bayu yang terlalu memaksa. Nggak enak aja, masa maksa? Dia kan teman sendiri dan kita nggak mau dipaksa.

Di film King juga aku nggak suka kalo Bapak-nya marah-marah terus. Kan untuk jadi Pemenang nggak harus dimarah-marahin? Lagipula nggak setiap pertandingan harus menang terus. Ada yang menang, ada juga yang kalah. Yang penting, kalo kalah harus terus berusaha.

Aku juga nggak suka si Raden yang suka mencuri barang orang lain. Tapi aku suka dia selalu menolong Bayu untuk mencapai cita-cita Bayu.

K: (Film King) Nggak suka. Soalnya ada yang rambutnya gondrong (maksudnya pemeran Raden yang berambut kribo). Ada yang marah-marah (maksudnya Bapaknya Bayu dan Pelatihnya). Pialanya kan sebenarnya ada uang, tapi begitu di buka nggak ada uang.

(Film Garuda di Dadaku) Suka. Soalnya ada Kakeknya yang bisa pingsan. Terus anak Kakeknya sedih kalo Kakeknya pingsan.

B : Apa yang menarik dari kedua film itu?

A : Yang bagian belakang pas Bayu menang di pertandingan sepakbola. Semua orang menyanyikan lagu Garuda di Dadaku. Kalo film King yang paling menarik pas Bapaknya mengatakan rasa bangga. Soalnya sebelum-sebelumnya adegannya Bapaknya marah-marah terus.
K : (diam)

B : Kalo dibandingkan dengan film Petualangan Sherina dan Laskar Pelangi?

A : Kalo Petualangan Sherina lebih seru, karena petualangannya dengan teman-teman. Lari-lari. Makan. Dikejar-kejar Penjahat. Kalo Laskar Pelangi pemandangannya indah. Kawan-kawan dan Bu Gurunya kompak dan selalu bergembira. Tapi ada sedihnya pas Kepala Sekolahnya meninggal.

Di King memang ada pemandangannya yang indah, tapi terlalu cepat diambil gambarnya. Kalo di Garuda di Dadaku pemandangannya cuma perkampungan. Pokoknya yang paling bagus Laskar Pelangi.
K : (diam)

B : Kalo Om-Om dan Tante-Tente mau bikin film anak-anak lagi, sebaiknya film anak-anak seperti apa?

A: Ceritanya harus lucu. Terus ceritanya juga bisa bikin anak-anak tahu mana contoh yang baik mana contoh kurang baik. Marah-marahnya jangan terlalu berlebihan. Mungkin sedih-sedih sih boleh. Tokoh-tokohnya boleh ada yang nggak baik, tapi harus mengerti kalo perbuatan yang dilakukannya itu nggak baik.
K : (diam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar