Kamis, 12 November 2009

NANTI TUHAN NGGAK BISA DENGAR, LHO!

Sebagai mahkluk Tuhan, kami selalu mengajarkan pada anak-anak kami berdoa pada setiap kesempatan. Baik sebelum tidur maupun sesudah bangun tidur, mereka harus berdoa, termasuk saat sebelum maupun sesudah masuk ke kamar mandi. Tentu saja, kami nggak hanya memerintah, tapi memberi contoh pada mereka dalam berdoa.

“Kenapa sih kita harus berdoa terus-terusan?” tanya Khaira, Anjani kedua kami.

Pertanyaan Khaira itu sangatlah wajar. Sebagai anak yang baru berusia 5 tahun, berdoa yang selalu dilakukan terus menerus itu tentu membuatnya “menyusahkan”. Artinya, ia selalu harus mengucapkan kata-kata yang berupa kalimat doa, sebelum beraktivitas. Padahal namanya juga anak-anak, ia pasti selalu saja nggak punya cukup kesabaran untuk melakukan sesuatu tanpa harus berdoa. Tapi tiap kali tahu Khiara belum berdoa, kami selalu ingatkan untuk berdoa terlebih dahulu, dan itulah yang menurutnya “menyusahkan”.

Kami nggak ingin mengajarkan berdoa itu wajib secara vulgar. Makna wajib bagi anak-anak terlalu formal, dan kami nggak suka formalitas. Oleh karena itu, agar nggak nampak wajib atau formal, kami membungkus makna itu menjadi lebih menyenangkan. Kami selalu mengajarkan, bahwa berdoa itu buat diri kita juga. Buat kepentingan kita sendiri, bukan buat siapa-siapa.

“Supaya Malaikat-Malaikat yang ada di sekeliling kita bisa menjaga kita agar selamat,” ucap saya, mencoba membuat fantasi pada anak-anak kami, terutama Khiara.

“Memangnya ada Malaikat, Pap?” tanya Khaira lagi.

“Ada, dong!”

“Kok nggak kelihatan, Pap?”

“Kita memang nggak bisa melihat Malaikat, karena kalo nanti ada orang yang nakal sama adik, Malaikat akan membantu adik tanpa diketahui oleh orang yang nakal itu. Oh iya, ada lagi yang lebih tinggi dari Malaikat...”

“Apa tuh, Pap?”

“Tuhan.”

Sejak anak-anak kami kenalkan dengan yang namanya Tuhan, seketika kami selalu menampatkan Tuhan dalam berbagai kesempatan, yakni dengan cara berdoa. Dalam doa, nama Tuhan pasti akan selalu dibawa-bawa. Ketika hendak pergi jalan-jalan, begitu kami duduk di dalam jok mobil, kami selalu mengucap doa bersama-sama, kadang-kadang dengan suara keras. Ketika makan di sebuah restoran, saat makanan yang kami pesan ssudah tersaji di atas meja, kami pun selalu berdoa bersama-sama.

Suatu pagi, seperti biasa kami melakukan “ritual” makan pagi bersama. Pagi ini menu yang tersaji adalah mie. Kedua anak kami makan mie goreng, sementara saya dan istri makan mie rebus. Perlu diketahui, kami jarang sekali makan mie. Kami memang menerapkan aturan untuk nggak sering-sering makan mie, karena nggak bagus buat kesehatan. Kadar vetsinnya serta bahan pengawetnya bisa bikin jaringan di otak maupun asupan di tubuh kita jadi terganggu. Belum lagi bahan-bahan lain yang bisa bikin ginjal di tubuh kita bisa hancur lebur.

“Makan mienya sebulan sekali aja,” ingat istri saya ketika pertama kali menerapkan aturan makan mie.

Alhamdulillah, aturan itu benar-benar ditaati anak-anak kami. Mereka termasuk anak yang nggak tergila-gila dengan mie instan, termasuk snack-snack yang mengandung vetsin, semacam Chicki. Oleh karena ssudah sebulan, waktu perjumpaan kami dengan mie, maka menu Minggu pagi yang cerah ini adalah mie goreng dan mie rebus.

“Ayo kita berdoa dulu anak-anak,” ajak saya seperti biasa.

Suara Khaira paling keras di antara saya dan istri. Kalo soal doa sebelum makan, ia memang sudah fasih banget sejak usia 3,5 tahun. Umurnya sekarang ssudah 5 tahun. Artinya sudah 1,5 tahun lalu, Khaira hafal doa sebelum makan. Terkadang sebelum saya memberi instruksi berdoa, ia seringkali mendahului dalam berdoa.

Anjani pertama kami, Anjani, pagi ini nggak mengeluarkan suara sebagaimana Khaira. Ketika kami mengucapkan doa dengan mengeluarkan suara, Anjani justru meniup-niup mie gorengnya yang masih panas itu. Hal itulah yang membuat Khaira protes. Tindakan protes ini memang selalu ia lakukan ketika melihat ada sesuatu yang menurutnya nggak sejalan dengan pemikirannya.

“Kakak kok nggak berdoa sih?” protes Khaira.

“Sudah lagi!” kata Anjani membala diri.

“Kok nggak kedengaran?”

“Kakak berdoanya dalam hati, Dik,” jelas Anjani lagi.

“Kok berdoa dalam hati? Harusnya kan diucapkan. Nanti Tuhan nggak bisa dengar, lho!”

Saya dan istri cuma mesem-mesem saja mendenger celotehan Khaira. Bisa-bisanya berpikir kalo berdoa yang cuma dilakukan dalam hati pasti nggak akan bisa didengar oleh Tuhan, sedang berdoa yang diucapkan dengan suara keras akan didengar. Ah, ada-ada saja anak kami kedua ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar