Bulan Juli 2012 ini adalah mens
Anjani yang ketiga kali. Saya ingin betul peristiwa mens pertama cukup
menghebohkan. Ya, harap maklumlah, namanya juga baru pertama ‘belajar’ mens,
jadi ia belum siap.
Persoalan mens ini sebetulnya
sudah lama ditungggu-tungga sejak lama, yakni sejak 2011. Kok begitu? Yap!
Sebab, teman-teman Anjani rata-rata sudah mens. Bahkan ada yang sudah mens
sejak akhir 5 SD. Nah, Anjani sekarang baru saja masuk kelas VIII atau 2 SMP.
Mens pertama di bulan April 2012 itu, saat Anjani masih di kelas VII atau 1
SMP.
“Nanti kalo Anjani mens, kabari ibu ya?” pesan ibu saya, atau
neneknya Anjani.
Ibu saya ingin saat putri kami pertama
ini mens, membuat nasi kuning. Entahlah, ini tradisi turun temurun atau memang cuma
sekadar keinginan ibu saya. Oleh kerena itu, saya mengiyakan keinginan ibu saya
itu.
Hari-H tiba. Hari mens ‘sedunia’
datang juga. Pagi itu, Anjani heboh, karena celananya terdapat tanda merah,
akibat darah mens. Saya pun segera menghubungi pemadam kebakaran, eh salah
menghubungi ibu saya.
“Ibu, datang ya ke rumah kami, karena ada perayaan besar-besaran...”
Bohong! Bukan kalimat itu yang
keluar dari mulut saya. Yang benar cuma sekadar melaporkan diri kalo Anjani
mens. That’s it.
Selain kehebohan melihat darah
yang keluar, Anjani merasa jijik dengan celana yang terkena noda itu. Sebagai
wanita yang sangat berpengalaman dan profesional di bidang mens, istri saya
santai saja menanggapi kehebohan Anjani dengan celana bernoda mens itu.
“Kamu cuci sendiri celananya,” ujar istri saya.
“Anja jijik, Ma.”
“Lah, itu kan darah kamu, masa sama darah sendiri jijik?”
“Nih, Mama ajarin cara mencucinya...”
Istri saya pun mengajari cara
mencuci.
“Mama kok nggak jijik sih?” tanya Anjani sambil mengreyitkan dahinya.
Tanda jijik.
Anjani akhirnya mau mencucikan
celana yang terkena noda itu sendiri. Awalnya, ia masih jijik. Memegang celananya,
seperti memegang sesuatu yang sangat sangat menjijikan. Cara membersikkannya
pun tidak dikucek-kucek agar noda darah di celana itu hilang, tetapi cuma disiram-siram
pakai air.
“Kalo disiram begitu mah yang ada cuma ngabisin air, bukan nodanya
hilang,” protes istri saya. “Coba
dikucek-kucek dong, Nak.”
Akhirnya Anjani pun mau
mengucek-ngucek. Saya tahu, itu dilakukan dengan berat hati.
Alhamdulillah, kini peristiwa kehebohan pertama telah berakhir.
Kini Anjani sedikit banyak sudah punya pengalaman bagaimana meng-handle noda
darah pada celana pada saat ketahuan mens. Namun, tentu saja di mens ketiga
ini, tidak ada lagi kiriman nasi kuning yang lezat dari ibu saya. Saya baru akan
menikmati beberapa tahun lagi, menunggu putri kami kedua, Khaira, mens.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar