Jumat, 29 Januari 2010

MENJADI JURU KAMERA CILIK DI ACARA "WAHANA KEBAIKAN ALAM"

Begitulah nama acara yang diselenggarakan perusahaan Danone Aqua pada Sabtu dan Minggu, 30-31 Januari 2010 ini di Plaza Utara, Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Di acara kampanye masif jangka panjang ”Aqua untuk Keluarga Indonesia” (AKSI) yang berjudul Wahana Kebaikan Alam ini, ada salah satu lomba, yakni lomba menjadi reporter dan juru kamera cilik yang ada di wahana Sahabat Alam.

Di wahana Sahabat Alam ini, anak-anak yang tertarik menjadi reporter dan juru kamera bisa ikut. Sebelum diterjunkan atau praktek lapangan, mereka diajarkan teknik-teknik sederhana bagaimana menjadi reporter maupun juru kamera. Ketika ditawari pertama oleh panitia, anak kami pertama Anjani ditawari menjadi reporter. Tetapi ia ternyata tertarik menjadi juru kamera.


Nggak mau jadi reporter, pengennya jadi juru kamera.

"Adik mau kayak kakak dong, Pap," pinta Khaira.

"Memangnya adik mau jadi kameraman?" tanya saya.

Khaira menggeleng.

"Lho mau jadi apa? Mau jadi reporter?"

Khaira mengangguk.

Wahana Kebaikan Alam merupakan satu bagian dari proyek marketing public relations yang lazim disebut Corporate Social Responsibility (CSR). Aqua sebagai leading company buat perusahaan air minum mineral ingin menguatkan lagi brand awareness-nya, bahwa minuman Aqua benar-benar dihasilkan dari air penggungan. Melalui acara ini, perusahaan ini juga ingin mengatakan teknologi dalam mensterilisasi air mineral dan botol nggak perlu diragukan. Setidaknya info-info tersebut diubar di area seleksi.












Niat datang pagi supaya nggak bertemu dengan banyak penggunjung, eh malah ketemu rombongan anak-anak sekolah. Halah!


Yang paling diincar mayoritas pengunjung di event Wahana Kebaikan Alam, terutama anak-anak, adalah area terjaga seutuhnya dan area preservasi. Di area terjaga seutuhnya terdapat beberapa permainan, yakni permainan alirkan air, permainan giant puzzle, permainan buta-bisu-normal, bouncy castle, permainan blind soccer, dan beberapa permainan lain. Kami nggak sempat main di semua wahana, meski panitia memberi tiket permainan tanpa dipungut biaya sedikit pun. Maklumlah, semua permainan dikuasai oleh segerombolan anak-anak sekolah.

"Nanti kita pergi ke OutboundHolic lagi aja ya, Dik," rayu saya pada Khaira.

Anak kami yang kedua ini memang ngebet banget main flying fox. Kalo baca di kisah sebelumnya, Anda pasti tahu kalo kedua anak kami memang hobi banget main flying fox. Meski jenis kelaminnya wanita, mereka berani banget melakukan permainan yang cukup menantang dan lazim dilakukan oleh anak laki-laki. Namun sayang, keinginannya buat main flying fox kandas. Antreannya gokil-gokilan. Jumlah helm dan tenaga pengawas nggak seimbang dengan jumlah anteran. Kalo kami berada di belakang rombongan dua sekolah, sementara helm yang tersedia cuma 15-20 buah, kira-kira baru bisa main flying fox ba'da sholat azhar. Padahal kedua anak kami niat datang ke acara Wahana Kebaikan Alam ini cuma mau main flying fox. Namanya juga gretong alias gratis!

"Nanti kita ke OutbondHolic aja ya, Dik," ujar saya menegaskan kembali janji mengajak anak kami main flying fox sebagai pengganti nggak bisa main di acara Wahana Kebaikan Alam ini.


Panggung utama. Keren, kayak kita sedang menyaksikan panggung di kampung-kampung yang masih banyak pohonnya.

Di area preservasi, terdapat tempat yang cukup menarik, yakni melukis dengan bahan alam. Kalo anak-anak kita biasa menggunakan cat air yang merupakan percampuran produk kimia, maka di tempat ini warna-warna yang dibuat berasal dari bahan alami, yakni dari pencampuran daun-daun.

Selain melukis dari bahan alami, ada pula tempat yang mengajarkan anak-anak melakukan kreativitas dengan menggunakan bahan-bahan alami. Misalnya membuat kerajinan tangan dengan bambu. Meski nggak sebanyak penggunjung di wahana permaian, lokasi kreativitas dari alam ini menurut saya cukup menarik dan menjadi nilai plus acara ini.

Nilai plus lain, ada lokasi yang diberi judul terima kasih alam. Di sini para penggunjung, terutama anak-anak, diajak buat menanam tanaman. Meski tempat menanamnya terbatas, namun mereka diajak buat peduli dan mengerti bahwa dengan menjaga kelestarian alam, maka akan mengurangi polusi. Larangan merokok di seluruh area selama event berlangsung juga luar biasa, meski saya masih melihat satu-dua pengunjung nekad merokok, bahkan di pinggir wahana ada panitia juga tetap menghembuskan asap rokok.


Semua serba plastik. Berapa banyak plastik yang dihasilkan dalam dua hari event? Moga-moga tahun depan bisa mendapat solusi jitu agar meminimalisir penggunaan plastik agar benar-benar bersahabat dengan alam.



all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Jumat, 15 Januari 2010

KETAGIHAN BER-OUTBOND RIA

Punya dua anak perempuan ternyata menarik juga. Pertama, mereka bisa jadi sangat wanita sekali. Suka dandan, bergaya ala pragawati, suka Barbie, dan melanggak-lenggok bagai penari. Di satu pihak, mereka nggak takut melakukan aktivitas rada ekstreem yang biasa dilakukan oleh anak laki-laki.

Begitulah yang dilakukan oleh kedua anak kami, Anjani (10 tahun) dan Khaira (5 tahun). Salah satu aktivitas yang paling mereka gemari adalah flying fox. Kegemaran mereka ber-flying fox ini gara-gara dahulu kala pertama kali melakukan aktivitas yang sama di wisata Taman Buah Mekarsari, dimana di lokasi itu terdapat flying fox. Rupanya mereka ketagihan dan sampai sekarang tiap liburan, mereka selalu minta dimasukkan agenda melakukan aktivitas flying fox.


Anjani (10 tahun) di depan rute outbondHolic Taman Impian Jaya Ancol.













Khaira (5 tahun) tanpa pengawalan kami, dia begitu lincah menjalani rute yang ada di outbondHolic.

Liburan lalu, kami memutuskan buat mencoba outbondHolic Ancol Adventure Park yang ada di dalam Taman Impian Jaya Ancol. Kebetulan selama ke Ancol, kami belum pernah mencoba wahana ini. Nah, mumpung liburan, kami datang ke wahana yang berada dekat Pasar Seni Ancol.

OutbondHolic berdiri di lahan seluas lebih dari 1,5 hektar. Wahana ini didisain seperti kita berada di hutan yang ada jalur-jalurnya (trekking), dimana di situ terdapat dua lokasi atau istilahnya sirkuit. Sirkuit pertama buat anak-anak usia 6-12 tahun, sedang lokasi kedua buat orang dewasa yang berusia 12 tahun ke atas. Setiap sirkuitnya dibagi berdasarkan empat zona yaitu zona hijau, zona biru, zona merah dan zona hitam.Setiap zona terdapat kurang lebih tujuh sampai delapan games. Di tiap sirkuit, terdapat tim profesional yang akan membimbing peserta outbond buat melakukan trekking ke area outbond.


Permainan di outbondHolic yang penuh tantangan. Kalo anak yang nggak biasa berpetualang, nggak mungkin berani, apalagi anaknya berjenis kelamin perempuan.

Permainan di outbondHolic dimulai dari sirkuit yang sangat ringan sampai tingkat kesulitan yang paling tinggi. Semua ini dilakukan sepanjang 480 meter dengan ketinggian sekitar 7 lantai gedung bertingkat.

Wahana outbondHolic ini memang bukan cuma sekadar tempat rekreasi, tetapi punya tujuan mulia, yakni (1) leadership & followership (kepemimpinan dan kekompakan); (2) personal & team confidence (kepercayaan diri individu dan kelompok); (3) team work building (kerjasama kelompok); (4) problem solving & decision making (pemecahan permasalahan dan solusi); (5) mentality development (pengembangan potensi diri); (6) corporate development (pengembangan perusahaan); (7) team work building (membangun kerjasama kelompok); (8) positive mental attitude (membangun sikap mental professional); dan tentu saja fun (kegembiraan, kesenangan).



Ternyata pengalaman berkunjung ke outbondHolic Ancol makin membuat kedua anak kami tergila-gila pada hal-hal yang sifatnya petualangan. Bukan cuma flying fox, tetapi petualangan-petualangan yang menantang atau menaikkan adrenalin. Sebagai orangtua, kami sih asyik-asyik aja melihat anak kami melakukan aktivitas yang penuh petualangan dan seharusnya cuma dilakukan oleh anak-anak laki. Bukan kami mau melatih kedua anak kami yang perempuan ini menjadi anak tomboy. Tapi ingin menjadikan seorang anak perempuan sama tangguhnya dengan anak laki.


all photos copyright Brillianto K. Jaya & Sindhi Diah Savira

Selasa, 05 Januari 2010

PENGGILA ULAR TANGGA NUMBER ONE

Kalo ada satu permainan yang sedang digila-gilai oleh Khaira nggak lain nggak bukan adalah ular tangga. Tahu dong permainan ular tangga? Buat yang belum tahu, mari saya kasih tahu.

Ular tangga itu bukan permainan tradisional. Entah dari mana asal muasal ular tangga dan siapa penciptanya. Yang pasti bukan Tuhan Yang Maha Esa. Permainan ular tangga itu membutuhkan tiga alat. Pertama papan yang berisi kotak-kotak, dimana di tiap beberapa kotak ada perintah atau gambar. Misalnya ada perintah, maju dua langkah. Atau ada gambar, ular yang naik dari kotak nomor 10 menuju kotak nomor 30.


Inilah permainan ular tangga yang kebetulan kami dapat dari Alfamart. Tiba-tba ular tangga ini menjadi permain favorit Khaira.

Alat kedua adalah dadu. Dadu adalah sebuah kotak kecil, dimana pada tiap sisi dadu ada titik-titik yang jumlahnya berbeda-beda. Titik-titik ini sebagai pengganti angka. Jadi kalo titiknya ada tiga, itu sama saja angka 3. Titiknya lima, ya berarti angka 5. Yang terbanyak adalah enam titik.

Dadu ini berfungsi buat menentukan berapa langkah kita akan melewati kotak-kotak yang ada di papan ular tangga. Misalnya titik yang muncul adalah empat titik atau angka 4, maka kotak yang harus kita lewati sejumlah angka tersebut, yakni empat kotak. Begitu juga kalo kita mendapat titik dua, tiga, dan seterusnya. Tentu saja buat mengetahui berapa titik yang akan kita dapat, dadunya kudu dikocok terlebih dahulu. Oh iya, kalo dadu menunjukan enam titik atau kita mendapat angka 6, maka kita mendapat kesempatan buat mengocok dadu lagi.

Alat terakhir yang nggak kalah penting adalah kotak kecil yang harus dimiliki oleh masing-masing pemain. Kalo dalam catur ada raja, benteng, kuda, dan pion sebagai prajurit yang kudu dijalankan bergantian sesuai strategi pemain. Nah, dalam ular tangga milik anak saya ini nggak ada kayak di catur, tetapi kotak kecil. Buat membedakan antara pemain satu dengan pemain lain adalah dengan warna. Ada warna hijau, merah, hitam, dan putih.

Nggak ada hari tanpa bermain ular tangga. Siapa saja orang yang berada tepat di depan hidungnya, pasti akan diajak main. Bukan cuma kami berdua, para asisten di rumah, dan juga Akung dan Uti-nya pun harus selalu stand by kalo diajak main ular tangga.


Buat menjalankan permainan, ular tangga milik anak saya menggunakan kotak kecil kayak begini. Agar membedakan pemain satu dengan pemain lain, kotak kecilnya ditandai dengan warna.

Suatu hari, istri saya harus cepat pulang kantor. Ia ingin membuat kue pesanan dari temannya. Seperti biasa, ia menghubungi kedua anak kami, termasuk Khaira.

"Asyik, Mama pulang cepat!"


Istri saya tahu, anak-anak kami pasti akan senang kalo Mama-nya pulang lebih awal dari biasanya. Apalagi kalo tahu Mama-nya akan membuat kue, mereka pasti bakal exiting. Tapi kenyataan ternyata berbeda.

"Adik mau bantuin bikin kue ya?"

"Enggak!"

"Lalu kenapa adik suka kalo Mama bisa pulang cepat?"

"Adik mau main ular tangga sama Mama."


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Jumat, 01 Januari 2010

ACARA TAHUN BARU 2010: TIDUR!

Sejarah mencatat, untuk pertama kalinya saya nggak bertugas di malam tahun baru. Padahal beberapa tahun, saya selalu mendapatkan tugas dari kantor buat melakukan live report. Terakhir, selama dua tahun berturut-turut, saya dan tim produksi melakukan coverage buat acara dzikir nasional yang dilakukan oleh Ustadz Arifin Ilham yang berlangsung di Masjid At-Tien, Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Entah saya harus mengucap Alhamdulillah atau Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun buat perkara nggak bertugas di tanggal 31 Desember tahun 2009 ini. Tentu kalo soal tugas, semua terserah pada atasan. Saya mah siap setiap saat kalo diperintah. Tentang persoalan apa yang pantas diucap, saya juga nggak ngerti. Satu hal yang pasti, saya dan keluarga memang sejak dahulu kala nggak pernah punya event reguler dalam menyambut pergantian tahun.



Sejak kecil, orangtua saya nggak pernah mengajak saya nonton pesta kembang api di Monas, Ancol, apalagi di bawah Big Band di London atau di kota New York City. Dari tahun ke tahun, saya selalu melawati acara tahun baru dengan biasa-biasa saja. Maklum, dahulu kala uang jadi persoalan serius. Artinya, daripada menghabiskan uang cuma buat satu malam, bahkan beberapa jam, mending nongkrong di depan televisi atau di teras rumah memandangi langit yang penuh dengan kembang api.

Barangkali kebiasaan dari kecil yang membuat saya dan keluarga saat ini juga nggak begitu ngotot merayakan tahun baru. Buat saya dan istri, new year’eve isn’t a big deal. Nah, kalo satu persepsi kayak begini, saya layak mengucap: Alhamdulillah. Saya bersyukur istri saya satu pikiran dengan saya soal merayakan tahun baru.

Kalo ditanya soal duit, Alhamdulillah kami masih bisa merayakan di tempat-tempat yang perlu bayar. Namun persoalannya bukan membayar atau tidak membayar. Ya balik lagi, buat saya dan istri, tahun baru isn’t big deal. Apalagi tahun baru yang kita rayakan ini tahun baru masehi, bukan tahun baru agama kami.

Selain faktor kebiasaan, barangkali karena setiap pergantian tahun saya selalu mendapatkan tugas siaran langsung, sehingga sudah menjadi kebiasaan meyambut tahun baru sebagai hal yang biasa. Nothing special.


Sebuah spanduk acara dzikir di tahun baru yang diadakan di masjid Istiqlal, Jakarta, yang dipajang di Pancoran. Saya salut sekali dengan keluarga atau anak-anak muda yang setiap tahun baru selalu melewati dengan cara berdzkir. Mereka ini tahu, tanpa Allah, kita nggak akan bisa sehat, sukses, dan bahagia di dunia ini dan kelak di akhirat.

"Malam tahun baruan kita ngapain, Pap?" tanya Anjani.

"Tidur!" jawab saya spontan.

"Lho kok tidur? Kemana gitu?"

"Memangnya mau kemana?"

"Nonton kembang api dimana gitu..."

"Ah, buka aja jendela rumah kita, kamu pasti akan melihat kembang api bertebaran dimana-mana."

Alhamdulillah, kedua anak kami mengerti kalo tahun baru nggak perlu dirayakan. Nggak perlu ditunggu detik demi detiknya. Kita cukup tahu, bahwa beberapa orang merayakan dan beberapa orang lain tidak merayakan sebagaimana kami.

Itulah akhirnya, di pergantian tahun 2009 ke 2010 ini, saya dan keluarga melewatkan tahun baru dengan cara molor alias tidur. Kami tidur di sebuah kasur pegas berukuran 150 X 200m berempat dempet-dempetan alias berdesakan. Buat kami, ternyata lebih seru. Coba gimana nggak seru kalo gaya tidur masing-masing beda-beda. Ada yang tangan ke atas, sehingga ketiaknya menempel di wajah orang yang tidur di sebelah. Ada pula yang jidatnya beradu dengan jidat orang di sampingnya. Pokoknya seru abis! Lebih dari itu, atraksi molor di pergantian tahun juga irit. Sebab kita nggak perlu mengeluarkan dana sepersen pun. Cukup mengeluarkan bunyi suara dari kerongkongan bertanda "ZZZZ", plus air liur dari sudut mulut.

GIMANA SIRKUSNYA, DIK?: TAKUT SAMA BADUT...

Begitulah ucapan Khaira begitu kami minta komentarnya tentang pertunjukan sirkus yang baru saja kami tonton. Entah kenapa anak kami yang kedua ini begitu takut dengan yang namanya badut. Beda banget dengan anak-anak seusianya yang mengagumi badut.

"Badut itu kan lucu, Dik?" tanya kakaknya, Anjani.

"Tapi takut..."

"Nggak apa kok nggak gigit," bujuk Anjani lagi.

"Iya, tapi takut..."



Saat ini Oriental Circus Indonesia cuma satu-satunya sirkus yang ada di Indonesia. Umurnya sudah lebih dari 41 tahun. Limapuluh persen dari pemain sirkus beretnis Tionghoa. Setiap kali berkunjung ke Jakarta, OCI selalu main di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Sekali takut, tetap saja takut. Ya, begitulah Khaira. Saya dan istri saya memang belum mengetahui secara jelas apa yang menyebabkan anak kami ini nggak melihat sedikit pun kelucuan dari sosok badut. Biar saya bilang hidung badut lucu: merah kayak buah tomat, jawabannya pasti...

"Takut..."

Biar kami bilang sepatunya besar banget, lebih besar dari sepatu manusia biasa, jawabannya pasti...

"Takut..."

Meski Khaira takut dengan badut, hari ini bertepatan dengan hari pertama di tahun baru 2010, kami mengajak anak-anak dan dua asisten di rumah buat menyaksikan pertunjukan sirkus. Kami sudah yakin, mengajak Khaira buat nonton sirkus pasti nggak se-exiting mengajak dia pergi ke mal atau ke Amazon, Timezone, atau MOIland. Sebab, di sirkus pasti ada badut. Dan badut tetap menjadi musuh utamanya.

Terakhir kali, kami menonton sirkus beberapa tahun lalu. Saat itu, Anjani masih kecil dan anak kami kedua, Khaira, belum lahir ke dunia ini. Kini, Khaira sudah lima tahun. Artinya, sirkus yang kami tonton terakhir terjadi di tahun 2005. Lima tahun lalu, bo! Selama lima tahun, saya belum pernah melihat ada pertunjukan sirkus di Jakarta ini.



Menunggu atrean. Meski pertunjukan masih 4 jam, calon penonton rela antre menunggu tiket. Maklum, tiket pertunjukan selanjutnya sudah dijual 4 jam sebelum pertunjukan dan kalo baru datang pada jam petunjukan, biasanya nggak akan bisa dapat. Sambil mengisi waktu, ada yang menonton gajah.

Di sebuah lapangan luas di ujung Kelapa Gading, tepatnya di Lapangan Gading Mas, jalan Boelevard Raya, Kelapa Gading, Jakarta Utara, sebuah tenda raksasa berwarna-warni didirikan. Di situlah pertunjukan sirkus digelar oleh kelompok Oriental Circus Indonesia (OCI) dari tanggal 28 Desember 2009 sampai dengan 18 Januari 2010.

Sebelum membuat pertunjukan di Kelapa Gading, Jakarta Utara, OCI hadir di kota Depok, tepatnya di Jalan Margonda Raya. Pondokcina, sekitar 400 meter dari gapura Selamat Datang di Kota Depok 1. Di Depok, OSI menggelar pertunjukan dari tanggal 07-18 Desember 2009.


Inilah salah satu atraksi dari pemain akrobat asal Tashkent, Rusia.

Seperti juga di Depok, pertunjukan OCI di Kelapa Gading menampilkan atraksi manusia dan satwa. Kalo atraksi manusia menampilkan atraksi balet dengan memegang lilin sebanyak-banyaknya (di kaki dan di tangan), ada pula ketangkasan ber-salto di udara. Sementara atraksi satwa menampilkan kemahiran gajah, harimau, anjing pudel, dan simpanse.

Dalam sekali pertunjukan, baik manusia atau hewan, terdapat sedikitnya tiga kali atraksi. Misalnya gajah, atraksinya terdiri dari atraksi gajah tidur, gajah melewati orang, maupun gajah menganggat orang dengan belalai. Kalo saya perhatikan, banyak atraksi gajah yang "hilang". Saya masih ingat, ada atraksi gajah yang bertumpuk-tumpuk (gajah satu menumpuk badan gajah di depannya). Lalu atraksi penari yang melakukan kemahiran di punggung gajah.



Salah satu atraksi manusia dan hewan. Menurut saya, atraksi gajahnya jauh berkurang dibanding lima tahun lalu. Entah gajah yang sebelumnya sudah mati atau panitia sengaja nggak mengeluarkan atraksi lain, karena keterbatasan waktu.

Atraksi lain yang juga nyaris sedikit adalah pertunjukan badut. Lima tahun lalu, seingat saya, badut cukup berperan dalam menghibur di setiap jeda pegantian dari satu atraksi ke atraksi lain. Namun kali ini yang saya tonton, badut fungsinya cuma sekadar menari-nari sesuai irama yang disuarakan via speaker pada saat tim kerja sirkus sedang mempersiapkan peralatan buat penampil berikutnya.

Pertunjukan yang paling memukau memang dua penari balet dari Tashkent, Rusia. Dengan dua utas tali, mereka bisa mempertunjukan seni balet yang luar biasa. Nggak heran kalo brosur di OCI yang ditonjolkan justru dua penari balet asal Tashkent, Rusia itu. Lima tahun sebelumnya, saat saya terakhir menyaksikan OCI, yang menjadi tamu adalah pamain sirkus dari China.

Saat ini OCI merupakan satu-satunya sirkus keliling yang ada di Indonesia. Selain buat menghibur masyarakat, tujuan utama OCI adalah melestarikan satwa, serta memberikan pengetahuan kepada para pelajar di Indonesia.



Tempat WC-nya dan kedai penjual pop corn. Sekadar info, kalo Anda ke lokasi sirkus di Kelapa Gading, Anda terpaksa nggak bisa sholat. Kenapa? Panitia nggak menyediakan tempat sholat. Saya yakin beberapa pegawai dan pemain akrobat sirkus itu beragama Islam. Dengan nggak ada musholla "dadakan", saya yakin hampir semua pegawai sirkus ini nggak pernah sholat. Gara-gara nggak pernah sholat, maka para penonton yang nonton, jadi ikut-ikutan nggak sholat. Padahal kalo pertunjukannya pukul 18:30, ada waktu buat penonton yang mau sholat. Alhamdulillah saya menemukan tempat sholat "dadakan" di dalam kedai penjual pop corn ini.

OCI didirikan tahun 1967. Pendirian kelompok sirkus ini bertepatan setelah peristiwa Gerakan 30 September/ PKI. Oleh karena sejarahnya bertepatan situasi genting yang terjadi di tanah air, maka tujuan dari kelompok akrobatik ini adalah menghibur anggota Angkatan Bersenjata yang menumpas G30-S PKI serta masyarakat luas dalam rangka memulihkan situasi keamanan saat itu.

Pada saat itu OCI masih bernama Oriental Show berada dibawah naungan Pusat Pemberitaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pimpinan Brigjen Sugandi, dimana Kol. Komar sebagai Kepala Pengurus Oriental Show. Dalam perkembangan selanjutnya Oriental Show sering diundang oleh TNI Angkatan Udara Republik Indonesia untuk membawa misi hiburan dengan berkeliling mengadakan pertunjukan ke daerah-daerah guna memberikan hiburan yang sehat kepada warga TNI AU di daerah dengan menggunakan pesawat AURI, dimana pada saat itu Komodor Rusman sebagai Komandan Pangkalan yang memimpin langsung. Maka sejak saat itulah Oriental Show bergabung dengan Koperasi Angkatan Udara (Puskopau) di Lanud Halim Perdana Kusuma sampai saat ini. Sementara manajemennya di bawah kendali manajemen Taman Safari Indonesia.

Kalo dihitung-hitung, usia kelompok sirkus ini sudah 42 tahun. Wow?! Terus terang saya baru tahu kalo umur sirkus ini lebih tua dari umur saya. Anehnya, kenapa pada saat saya masih kecil dan sampai kuliah, nggak pernah mendengar atau diajak nonton sirkus ini ya? Entahlah!

Adalah keluarga Toni Sumampau, Jansen Manansang, dan Frans Manansang ini yang telah berjasa melahirkan OCI sejak tahun 1967. Mereka dengan konsisten mempertahankan eksistensi kelompok sirkus ini. Bahkan di awal berdirinya, OSI sempat tampil di sekolah-sekolah, kampung, dan tempat apa saja agar mereka bisa tampil.

Sebagai kelompok sirkus satu-satunya, OCI sudah berkeliling dari kota ke kota besar di hampir seluruh Indonesia, termasuk ke Dili saat masih masuk dalam NKRI. Namun, sampai kini entah kenapa OCI belum pernah beraksi di Irian Jaya.

Seperti juga kelompok-kelompok sirkus di luar negeri, para pemain OCI tinggal di karavan-karavan yang ada di sekitar lokasi pertunjukan. Saat ini, total anggota OSI kurang lebih mencapai 100 orang. Angka ini terdiri atas pemain, manajemen, hingga petugas keamanan. Dari 100 orang, ada 15 orang yang masih berstatus pelajar. Salah satunya Deborah (19).

Deborah sudah bergabung dengan OCI selama lima tahun. Selama itu dia sudah tampil di Sumatera, Jawa, dan Bali. Di Sumatera tampil selama dua setengah tahun, di Bali satu tahun, dan di Jawa satu setengah tahun.

"Saya belajar sirkus sejak usia lima tahun," kata Deborah. "Saya senang bekerja di sirkus. Sebab saya bisa menghibur masyarakat dengan keahlian saya." ujar pelajar SMA di Bogor dengan metode home schooling ini.

"Hebat ya, Dik, Om dan Tante-nya bisa melayang-layang di udara...," ucap saya seolah mengajak Khaira turut mengagumi para pemain akrobat udara yang berhasil menghibur para penonton dengan atraksi mereka.

"Tapi takut..."

"Apanya yang takut, Dik?"

"Badut..."

"Lho, tapi mereka kan bukan badut?" tanya saya penasaran.

"Iya, tapi mukanya kayak badut..."

Ah, cuma gara-gara wajah para pemain akrobat di udara yang dicorat-coret ala badut, Khaira tetap saja takut. Atraksi-atraksi yang dilakukan oleh mereka yang luar biasa itu seolah nggak menghibur dirinya. Ya, begitulah kalo Khaira fokus pada ketakutan daripada hal lain. Apa yang dirasakan Khaira, sebetulnya sadar nggak sadar seringkali terjadi pada diri kita. Kita selalu fokus pada hal yang buruk, padahal ada hal kecil yang jauh lebih luar biasa.


JADWAL SHOW "OCI"

Senin-Jum'at (3 kali show)
Pukul 14:00; 18:30; dan 20:15
Hari Minggu/ Besar (4 kali show)
Pukul 10:30; 14:00; 18:30; 20:15


HARGA TIKET (*)

VVIP Rp 200.000,-
VIP Rp 150.000,-
UTAMA Rp 100.000,-
Kelas 1 Rp 75.000,-
Kelas 2 Rp 50.000,-
Kelas 3 Rp 35.000,-

(*)Harga tiket wilayah Jakarta. Di Medan, harga tiketnya Rp 20.000 (kelas 3), Rp 30.000 (kelas 2), Rp 40.000 (kelas 1) dan Rp 60.000 (kelas utama) sampai Rp 75.000 (VIP) dan Rp 100.000 (VVIP). Harga tiket Medan ini, sama dengan harga tiket di Depok, Jawa Barat. Barangkali gara-gara ada pemain sirkus asal Tashkent, Rusia, harga tiket pertunjukan di Kelapa Gading jadi relatif lebih tinggi.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya